"Wajahmu jadi lebih cerah dan bercahaya, akhir-akhir ini? Apa yang terjadi, apakah mertuamu mendadak tobat?!" tanya Mila penasaran.
Keduanya kembali bertemu di kampus, tapi kali ini Karin tidak ke sana untuk bimbingan. Dia hanya keluar karena bosan dan menemani Mila. Sementara skripsinya sedang dilupakan begitu saja.
"Itu sih, kiamat juga tetap mustahil terjadi. Apa kau mau dengar ucapannya yang sudah seperti slogan promosi, 'hei, miskin. Jangan diam saja, lakukan pekerjaanmu dan sadar dirilah!' Ck, aku sebenernya kesal, tapi dia orang tua. Jadi aku iyakan saja," jelas Karin sambil memperagakan ibu mertuanya saat mengomel.
Mila sedikit terhibur dan terkekeh mendengar cerita sahabatnya itu. "Tapi kamu emang beneran miskin sih, Rin ...."
"Aku tahu, tapi nggak usah diperjelas juga," jawab Karin ikut terkekeh.
"Tapi sekarang katakan, kok wajahmu cerah nggak sayu-sayu amat seperti hari-hari pertamamu menikah?" tanya Mila yang ternyata masih penasaran.
"Oh, itu karena aku pake skincare mahal," jawab Karin seadanya.
"Wah, mulai perawatan nih sejak kapan?"
"Bukan sih, tapi selain itu aku juga udah nggak tinggal dengan mertuaku. Sekarang cuma berdua dan aku sering bosan kalau di apartemen sendiri, kamu tahu sendiri suamiku si jahat itu sibuk bekerja. Jadi aku putuskan untuk mulai menikmati hasil kerjanya saja, daripada cuma nikmati hasil kejahatannya doang, kan nggak enak," jelas Karin.
Tiba-tiba suasana berubah, sedikit mencekam walau nada suara Karin tak berubah saat menceritakannya. Mila paham, Karin tidak menikmati semua itu dengan baik. Dia hanya mencari pelarian agar tak berlarut dalam kesedihannya, dan Mila sendiri sudah merasakan hal itu jauh lebih dulu dari Karin.
"Itu bagus. Kita memang nggak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan, tapi apa salahnya melanjutkan hidup," jelas Mila.
*****
Karin meletakkan tas dan juga perlengkapan kuliahnya di atas meja. Kemudian bersandar sebentar ke sofa. Dia baru saja pulang, tapi belum sempat beristirahat, bel pintu membuatnya segera ke depan.
Cklek!
Karin membuka pintu dan menemukan sosok ibu mertuanya di sana. "Tante? Ada apa kemari, Tu-Mas Adrian belum pulang!"
Bukannya menjawab, Rini malah menyelinap masuk terlebih dahulu. Dia langsung ke ruang tamu dan duduk di sofa sambil melihat-lihat.
"Dasar pemalas, tempat sekecil ini masih tidak bisa kau bersihkan dengan baik!" ujar Rini langsung mengomel.
"Aku baru pula--"
"Itu bukan alasan, sebagai istri yang baik sebaiknya kamu melakukan tugas rumah tangga dengan baik. Apalagi wanita miskin yang karena anakku kamu menjadi kaya, seharusnya tahu dirilah, jangan tidak tahu malu!"
Karin langsung memijat pelipisnya. Setelah beberapa hari tidak bertemu dan tidak punya sasaran, akhirnya mertuanya itu meluapkan segalanya. Sial, Karin memang sepertinya dianggap sebagai pelampiasan amarahnya saja.
"Apa lagi yang kau tunggu, aku ibu mertuamu baru saja sampai. Apa kau tidak diajarkan sopan santun? Sana, buatkan teh beserta beberapa camilan. Jangan lupa habis itu bersihkan tempat ini, siapkan makan malam dan setelahnya kebutuhan anakku!"
Karin mengangguk saja, dan berharap dengan itu wanita paruh baya yang rewel itu bisa diam, atau bila perlu pergi dari sana secepatnya.
Namun, setelah memasak makan malam, juga sudah mengurus segalanya, dan hampir selesai. Rini malah keenakan dan bahkan bersantai di ruang tamu.
Adrian akhirnya datang tepat setelah Karin selesai mandi, dan sudah mengganti pakaiannya dengan piyama tidur.
"Mom?!" ujar Adrian kaget melihat kehadiran ibunya.
"Jadi begini hidupmu saat berdua dengan istrimu. Tidak terurus dengan baik dan bahkan lebih kurusan? Apa kamu sudah sadar, kalau istrimu itu tak becus dan tak pantas bersanding denganmu?"
Adrian langsung membuang nafasnya kasar, seraya memijat pangkal hidungnya, lantaran merasa tiba-tiba pusing.
"Berapa kali aku harus katakan pada Mommy, bahwa diantara kami, aku yang mengurus segalanya? Karin memang tidak becus, pemalas dan juga ceroboh, tapi semua itu adalah tanggung jawabku untuk mengubahnya!" tegas Adrian.
"Tapi istrimu dia tetap tidak akan pantas jadi pasanganmu, Nak! Ibarat batu kali dan berlian. Kalian terlalu berbeda," bujuk Rini.
Adrian semakin pusing, dia langsung merogoh sakunya dan menghubungi seseorang untuk menjemput ibunya ke sana.
"Sopir udah menunggu Mommy di parkiran. Mommy pulang sekali sebelum terlalu larut," ujar Adrian memberitahu.
Rini terlihat kecewa, tapi kemudiaan sebelum pulang dia menghampiri Karin dan memberikan sesuatu pada menantunya.
"Minum obat itu, dan jangan sampai hamil! Aku tidak sudi mempunyai cucu dari rahim orang miskin sepertimu!"
Adrian melihat itu, tapi tidak mencegat karena tak mau memperpanjang ucapannya. Sementara Karin biasa saja atau bahkan senang hati menerimanya.
"Aku tidak akan lupa!" jawab Karin berbisik.
Namun, saat kemudiaan Rini sudah pergi, Karin yang akan kembali ke kamar dihadang Adrian. Lantas merampas obatnya.
"Jika bukan kamu yang hamil anakku, maka lebih baik aku tidak memiliki anak!" tegas Adrian sambil menatap Karin serius.
Dia mendahului Karin dan sepertinya langsung pergi bersih-bersih atau mandi. Melihat itu Karin langsung berdecak kesal.
"Sial, seharusnya itu bisa jadi stok obat!" gerutu Karin.
Mengingat pil pencegah kehamilannya, Karin segera teringat sesuatu. "Aku harus mengganti botolnya, jangan sampai suami jahat itu tahu!"
Karin langsung melakukannya, mengganti botol tempat pilnya, dengan botol vitamin. Dia mendesah lega dan tersenyum puas.
Bugh!
"Auchhh! Ssstt ...."
"Hati-hati!" ujar Adrian yang tampa sadar ikut meringis saat Karin tanpa sengaja menabrak nakas di sebelah tempat tidur. "Dasar ceroboh, lagian ngapain di situ, sih? Sana siapkan makan malam, aku udah beli tadi."
"Tapi aku sudah masak, Tuan Adrian," jelas Karin yang ternyata masih bersikeras dengan panggilan yang sama.
"Tuan-tuan, mau sampai kapan kamu memanggilku begitu? Aku risih, ganti!"
"Tapi aku pel--"
Adrian langsung memotong kalimat Karin cepat, sebelum dia menyelesaikan ucapannya. "Aku tidak mau tahu dan tidak suka dipanggil "tuan," atau kamu mau mendapatkan perhitungan? Melihat ayahmu di penjara!" Adrian mengancam langsung dengan kartu As miliknya untuk menekan Karin.
"Hm, yaudah. Nggak usah marah juga," jawab Karin.
Adrian tak menjawab lagi, dan Karin langsung keluar kamar menuruti perintah suaminya soal menyiapkan makan malam. Ternyata di atas meja sudah terdapat beberapa bungkus makanan dari beberapa restoran. Karin segera menaruhnya di piring, tapi saat terakhir dia menemukan cheesecake di bungkus terakhir.
Wanita menoleh dan menemukan suaminya sudah di sana. "Kebetulan aku lewat dari toko kue dan ingin makan itu sebagai penutup."
"Ini kue favorit aku dan Ayah suka membelinya untukku," ungkap Karin.
Adrian sudah tahu dan sebenarnya sengaja membelinya. Mengulas senyumnya sebentar tanpa sepengetahuan Karin.
"Ah, iya. Di mana makan malam yang kamu masak? Kenapa hanya makanan yang aku beli di sini?"
Karin segera melirik ke arah tempat piring kotor. Tidak, dia juga sudah mencuci piring dan melakukannya tiap habis makan.
"Kayaknya Tante udah makan semuanya," jelas Karin.
Adrian berdecak kesal. "Jadi Mommy kemari hanya untuk makan malam?"
"Entahlah, aku juga tidak mengerti," jawab Karin.
*****