"Kenapa?" tanya Karin dengan berani. "Kau ingin marah, ingin mengomel atas kekonyolan yang terjadi?!"
Dia menatap suaminya tajam, tanpa kenal takut. Setelah bertengkar dengan kekanak-kanakan. Saling menjambak dan menarik rambut dengan adik kesayangan Adrian. Sudah Karin duga suaminya itu tidak akan tinggal diam.
Apalagi sekarang saat mereka sudah di dalam kamar. Adrian seperti persiapan untuk menyerangnya atau menekannya habis-habisan.
"Jadi kau pikir aku bisa diam saja melihat kelakuanmu?!" balas Adrian membentak dan nada suara yang naik beberapa oktaf. "Pergi ke dapur dan membuat keributan. Tidak usah berkelit Karin ini bukan salah Thania, dan sudah pasti semua itu karena ulahmu. Asal kau tahu saja, adikku itu sejak pulang dari rumah sakit, sudah berusaha menjauhimu. Menjauhi keributan dengan tidak pernah muncul dihadapanmu, bahkan Thania rela makan terakhir atau di kamarnya!"
"Tapi dia tidak harus melakukan itu, jika dia tidak bersikeras membuatku di rumah ini! Dia tidak perlu menjauhiku, jika seandainya aku tidak menikah denganmu! Dia yang melakukan kesalahan sejak awal, dan maaf Tuan Adrian yang terhormat. Aku terlalu sumbu pendek jika berhadapan dengan musuhku, dan lain kali saat kami berpapasan, aku tidak hanya akan menjambaknya, tapi juga mengirimnya ke neraka!"
Nafas Karin sampai terengah setelah menjelaskannya, dan Adrian justru semakin marah. Dia mendekat, meraih rahang Karin dan mencengkramnya erat, sebelum kemudian dia mendorong Karin sampai terjatuh.
"Berani berkata seperti itu lagi, aku akan membunuhmu sekarang!" ancam Adrian di puncak emosinya.
"Bunuh saja!!" balas Karin sama marahnya. "Lebih baik aku mati daripada hidup berdampingan dengan b*****h sepertimu dan orang gila seperti adikmu!"
Plak!!
Adrian yang kesetanan, akhirnya tanpa sadar menampar pipi istrinya. Sangat kuat sampai tamparan itu menyebabkan wajah Karin terdorong miring. Jepitan rambut yang menjepit rambut panjangnya bahkan sampai terjatuh, dan rambutnya sampai lepas segera menyelimuti sebagian wajahnya.
Adrian tiba-tiba tersadar dan merutuki apa yang barusan dilakukan olehnya. Di memang sudah pernah menampar sebelum itu, tapi Adrian selalu berupaya agar tak sampai melukai wajah Karin, atau bahkan tak sampai meninggalkan jejak telapak tangannya yang menyebabkan wajah itu memerah.
Akan tetapi saat ini dia sudah kelepasan. Pipi itu dipastikan tak hanya memerah, tapi Adrian bahkan melihat sudut bibirnya sampai berdarah.
"Kau yang memancingku, membuatku bertambah marah dan melakukan kekerasan itu kepadamu. Kemarilah, biarkan aku melihat dan mengobatinya," ujar Adrian setelah beberapa saat.
Karin awalnya terlihat menurut, dan Adrian terlihat lega. Dia segera mencari kotak obat, tapi di saat yang sama Karin malah berlari masuk ke dalam kamar mandi.
Blam!
Wanita itu langsung mengunci pintunya. Sebelum kemudian jatuh terduduk dan menangis tanpa suara.
"Karin!" panggil Adrian terkejut. "Apa yang kau lakukan buka pintunya, aku tidak akan menyakitimu, tapi tolong jangan seperti itu lagi! Jangan memancingku atau melakukan hal kekanak-kanakan seperti tadi," jelas Adrian yang hanya bisa menghampirinya.
Emosinya sudah redah, tapi mungkin tidak bagi Karin. Wanita itu sudah tidak baik-baik saja. Rambutnya rontok akibat bertengkar dengan Thania. Sebelum Adrian dia bahkan sudah mendapatkan beberapa tamparan, dan selanjutnya tamparan yang sangat keras sampai membuat sudut bibirnya sedikit robek.
Namun, hal itu bukanlah semata-mata soal kekerasan yang telah dialaminya, melainkan kesadarannya soal dia yang kini hanya memiliki dirinya sendiri. Tidak ada yang perduli, tidak ada sandaran, semuanya menyalahkan dan terus-menerus menuntutnya.
"Karin, aku akan mendobraknya jika kau masih keras kepala. Bukan pintunya, dan jangan membuatku bertambah marah!"
Karin tidak memberikan jawaban dan akhirnya Adrian kembali disulut emosi. Dia mendobraknya, dan membuat Karin yang dibelakang pintu sampai terjatuh. Dahinya terbentur ke lantai dan menjadi memar.
"Apa kau bodoh?" omel Adrian menghampirinya, tapi wanita itu mencoba menjauh. "Kemarilah!!"
Adrian terlihat memaksa, menarik, Karin dan menggendongnya. Kali ini pria itu dengan kesabaran dan juga cukup lembut memperlakukan Karin. Mungkin itu efek dari rasa bersalahnya.
Adrian menghela nafas, saat kemudian bukan hanya tak bicara, tapi Karin selalu menjauhkan pandangannya agar tidak berhadapan dengan Adrian.
"Lihatlah hal konyol lainnya yang kau lakukan. Dahimu sampai memar seperti ini, atau kau memang benar-benar ingin mati?" omel Adrian sepanjang mengobati lukanya Karin.
"Andai saja kau tidak aneh-aneh, atau kabur segala, kau mungkin tidak perlu merasa kesakitan. Aku juga tidak mungkin sampai kelepasan menamparmu! Bisakah kau menjadi lebih penurut sedikit?"
"Tidak, aku lebih suka kau kelepasan dan membunuh," ujar Karin akhirnya bicara.
Dia tidak menatap Adrian dan air matanya sudah cukup menggenang di kelopak matanya. Sementara itu, Adrian yang menahan diri sampai berhenti mengobati luka Karin, karena harus mengepalkan tangan untuk meredam emosinya.
"Memang lebih baik tutup mulutmu dari pada bicara!" geram Adrian, tapi kemudian teringat kelemahan Karin. "Atau begini saja, aku memperk***mu sekarang juga. Supaya kau lebih sadar diri soal posisimu. Kau disisiku hanyalah penghangat ranjang dan pelayan pribadi yang bersembunyi dibalik status istri!"
Karin akhirnya tak kuat, dan menyebabkan air matanya runtuh begitu saja. Adrian yang melihatnya langsung bangkit dan tiba-tiba pergi begitu saja. Hal ini membuat Karin akhirnya bisa melepaskan kesedihannya.
*****
"b******k!!" umpat Adrian.
Dia sangat pusing dan kebingungan dengan perasaannya sendiri. Bukan sekali menampar Karin, tapi kali ini hal itu sangat mengganggunya. Mungkin karena tamparannya yang sangat kuat, atau mungkin bagian melihat air mata Karin yang tidak berdaya. Entahlah, apapun itu semua tentang Karin sangat mempengaruhinya sekarang.
"Apa yang kau lakukan di sini, Adrian?" Tiba-tiba Andra menghampirinya.
Laki-laki itu salah satu temannya. Pengusaha dan berjalan di bidang kuliner atau pemilik restoran. Namun, sisi negatif Andra adalah laki-laki itu yang merupakan play boy dan mempunyai banyak wanita. Kenapa dia ada di sana, tentu saja bukanlah hal yang perlu dipertanyakan, sebab sudah pasti Andra mencari mangsa barunya.
"Apa kau tidak lihat, bod*h?! Aku sedang minum!" umpat Adrian dengan jengkel. "Pergilah dan jangan menggangguku!"
Namun, Andra tidak menurut. Dia pemberontak, dan seandainya Adrian akan memukulnya karena hal itu, maka Andra siap saja meladeninya. Laki-laki satu itu memang gila, sayangnya dia juga teman terdekat Adrian.
"Baiklah aku akan menemanimu saja, tapi aku tidak mau mabuk," ungkap Andra langsung memesan minuman dengan kandungan alkohol yang rendah.
Adrian membiarkannya saja, tapi bukan Andra namanya jika tidak menciptakan masalah, dan hal itulah mengapa di awal Adrian mengusirnya.
"Aku baru ingat, bukankah Kau baru menikah? Harusnya saat ini Kau menikmati istrimu sampai bosan, tapi malah minum di sini. Hm, apa jangan-jangan kau terlalu tua dan tidak terlalu kuat, atau jangan-jangan istrimu sudah lo--"
Brubh!
"Berisik!" umpat Adrian memukul Andra dengan tiba-tiba.
Namun, bukannya berhenti, laki-laki itu seakan tak kapok dan mulai lagi. "Tempat ini memang berisik, apa tadi kau tuli sampai tidak mendengar keramaian orang di sini dan musiknya yang kencang?"
Adrian hampir saja kembali memukulnya, tapi kehadiran temannya yang lain dan ternyata ada di sana langsung menghentikannya.
"Ada apa ini? Apa si tol*l ini membuat ulah lagi?" tebak Arland tepat sasaran.
"Tutup mulutmu, sial*n!" umpat Andra kesal.
"Baiklah, aku kemari bukan untuk bertengkar. Santai, oke!" ujar Arland bergabung dengan keduanya. "Kebetulan kita bertemu di sini, jadi aku punya kabar gembira dan mengundang kalian secara pribadi!"
Adrian langsung mengerutkan dahi. "Apa maksudmu, undangan apa?"
"Jangan basa-basi, aku tidak suka mendengar omong kosong," timpal Andra yang ternyata masih kesal. "Baiklah, tapi asal Kalian tahu saja. Kalian berdua yang pertama. Aku berhasil menaklukkan Keyra dan kami akan menikah. Jadi besok malam adalah pesta lajang untukku, jadi datanglah!"
Andra geleng-geleng kepala. "Tidak mungkin Keyra cinta mati padaku. Apa jangan-jangan dia mau padamu karena terpaksa atau hamil duluan?"
"Jangan bicara sembarangan, aku tidak sekeji itu. Aku menaklukkan dengan cara yang gentle!" ungkap Arland bangga.
Sementara Andra biasa saja, ucapannya barusan hanya omong kosong. Sementara itu Adrian malah sudah berpikir banyak. Arland memang tidak sekeji itu, tapi dirinya sendiri bukan cuma keji, namun juga sangat-sangatlah brengs*k.
"Oh, ya! Kau oke juga, tidak seperti Adrian," jelas Andra sambil menepuk-nepuk bahu Adrian dengan berani. Dia menatapnya dan tersenyum mengejek. "Dia suka istrinya yang sekarang. Pernah berkata merelakannya asal dia bahagia, tapi saat sudah dalam genggaman, Adrian malah mencengkeramnya. Hahaha!"
Andra sebenarnya cuma bercanda, meski di awal ucapannya tidak salah, namun diakhir ucapannya malah menjadi tebakan yang tepat sasaran.
Mendengar itu, tanpa keduanya sadari, Adrian sudah mengeras dan mencengkram gelasnya keras. Dia bahkan langsung memesan minuman dengan alkohol yang kandungannya sangat tinggi, lalu menyesapnya dengan cepat.
"Hei, ada apa denganmu?" tanya Andra yang akhirnya tersadar dengan suasana perasaan Adrian yang buruk.
"Dasar b"doh, sejak tadi Adrian di sini, pasti dia sudah kenapa-napa. Dia bukan aku dan kau yang suka kemari, tapi kemari karena stress!"
*****