05 BERISIK

818 Kata
"Eh dokter beliin saya obat?" Cuitan itu langsung terdengar di telingaku. Aku hanya menatap sekilas cewek berisik di sampingku. Kenapa aku harus terperangkap dengannya di sini? Di dalam mobil dan harus mendengar suara nya. Kalau tidak karena payung mama yang kemarin aku pinjamkan kepadanya aku tidak akan berada di sini.             "Beneran ini buat saya?" Aku hanya menganggukkan kepala lagi. Terlalu pusing untuk menanggapinya. Aku bisa mendengar suara tas plastik di buka dan dia membaca satu persatu obat yang baru saja aku belikan. Kenapa itu mulut tidak bisa diam walau hanya satu detik?             "Bacanya bisa di dalam hati?” Akhirnya dengan berat hati aku mengucapkan itu. Dan saat menoleh kepadanya dia hanya tersenyum. "Baca dalam hati bisa dok. Cuman gak puas aja. Baca itu harus jelas pelafalannya."             Astaga! Aku kembali fokus ke kemudi. Tidak ada selesainya kalau harus meladeni ocehan cewek yang ada di sampingku ini. Cella juga kenapa pakai acara jodoh-jodohin segala? Iya aku memang kalah taruhan sama dia. Aku dan Cella itu udah kayak saudaraan. Berteman sejak kecil hingga dewasa. Tidak ada malu diantara kami berdua. Dan semua sudah di clearkan sejak kami beranjak remaja. Kalau kami masing-masing memang tidak punya perasaan romantis terhadap satu sama lain. Kadang dulu, mama dan mamanya Cella selalu memberi kode aku dan Cella bakal menikah. Tapi kami malah tertawa lebar. Dia itu udah kayak adik buatku. Ya manjanya, ngeselinnya. Sampai akhirnya kita buat taruhan siapa yang bakal nikah duluan, yang kalah mau di jodohin. Taruhan sialan itu akhirnya membawaku ke sini. Bertemu dengan si cerewet ini. Aku terganggu lagi dengan suara musik yang berasal dari ponsel milik hindia. Yang sekarang malah melantunkan lagunya entah siapa dengan bahasa korea.             "Berisik." Aku langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal. Dan Hindia kini  menatapku dengan sebal.             "Ish sepi dok." Aku hanya mendengus kesal. Lalu kembali fokus ke jalanan. Tapi aku baru teringat kalau aku tidak tahu rumahnya Hindia.             "Rumah kamu?" Hindia menatapku dengan bingung. Dia mengerucutkan bibirnya. Wajahnya masih tampak pucat karena flu nya.             "Rumah saya? Ya gak dibawa dok." Aku mengernyitkan kening saat mendengar jawabannya. Dia berlagak polos atau mau menggodaku?             "Sebutkan alamat."             "Alamat siapa?" Aku bisa jantungan kalau terus menerus berada di samping Hindia. Kenapa dia mulai telat mikir? Aku langsung menoleh ke arahnya tapi dia malah tersenyum. Sepertinya dia sedang mengerjaiku.             "Itu dok belok kanan pas pertigaan itu. Terus...." Aku mengikuti instruksinya. Dan sejak dia memberikan petunjuk alamatnya dia tidak berhenti bicara. Ada saja yang di bicarakan. Tukang cilok yang nangkring di atas trotoar saja dia omong.             "Ehh berhenti dok," Tentu saja aku menoleh kepadanya. Bingung dengan perintahnya. "Berhenti?" Dia mengangguk dengan antusias lalu menunjuk kedai mie yang ada di seberang jalan. "Makan dulu yuk. Lapeerr." Astaga! Aku langsung menepikan mobil ku dan menghentikannya. Kali ini menatapnya dengan kesal.             "Ini rumah kamu?" Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan. Ini kedai mie nya Mang Gito. Enak loh dok. Aku traktir deh. Karena dokter udah beliin aku obat." Kusipitkan mata mendengar perubahan ucapannya. Dari saya menjadi aku.             "Enak dok di jamin." Dia sudah melepas seatbealt dan membuka pintu. Aku biarkan saja dia turun. "Ayo dok." Tapi aku langsung menggelengkan kepala.             "Aku tinggal." Aku sudah siap-siap akan menutup pintu tapi dia langsung menahan pintu itu dengan panik.             "Yah kok ditinggal dok. Makan dulu...hatsyi..hatsyiii.."Dia mulai bersin lagi dan membuat aku makin kesal. ******             "Enak kan?” Ucapannya membuat aku menatap Hindia yang sudah duduk di depanku dengan mulut penuh sedang makan mie. Heran. Mulut penuh makanan juga masih ngoceh tidak ada berhentinya. Aku terpaksa mengikuti keinginan Hindia. Dia berhasil menyeretku ke sini. Duduk di dalam kedai mie san menikmatinya. Memang enak sih.             "Jadi dokter ini sahabatnya Kak Cella?” Dia masih terus ngoceh. Aku hanya mengangguk lagi dan menghabiskan mie hangat yang ada di depanku.             "Kenapa gak nikah ama Kak Cella aja? Eh jangan. Nanti Kak Cello patah hati dong. Heheheheh kakakku itu cinta mati sama Kak Cella. " Aku hanya menyipitkan mataku. Tahu kalau itu. Fakta bahwa suami Cella mati-matian mengejar Cella memang sudah aku hafal di luar kepala. Orang dulu aku yang bantuin Cella tentang percintaannya itu.             "Udah?" Aku langsung beranjak dari duduk setelah menghabiskan satu mangkok mie. Hindia menatapku bingung.             "Eh bentar dok. Aku mau minum obat dulu." Dia mengeluarkan obat yang tadi kuberikan lalu dengan cepat membuka obat-obat itu dan menenggaknya dengan bantuan air mineral yang ada di depannya. Aku sudah tidak sabar ingin pulang. Setelah dia menandaskan minumannya aku segera berbalik dan meninggalkannya. Sudah terlalu sebal.             "Eeehhh kok ditinggal." Hindia sudah melangkah sejajar denganku. Aku tidak mempedulikannya. Setelah sampai di luar segera aku membuka pintu mobil. Masuk ke dalamnya dan menunggu Hindia masuk.             "Kenapa ditinggal?" Aku tidak mempedulikannya. Dia mau menggerutu juga. Segera aku lajukan mobil ku. Menembus jalanan Jakarta yang padat dan merayap lagi kalau jam segini.                    Sepi. Setelah beberapa menit  mobil berjalan aku menoleh lagi ke arah Hindia. Aku tersenyum geli. Dia tertidur. Wajahnya tampak begitu polos kalau sedang tidur begitu. Memang dia terlihat lebih manis kalau diam. Daripada cerewet.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN