Bukan Orang Lain

1353 Kata
Naya mematikan laptopnya. Ia kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas untuk meregangkan semua otot-ototnya yang kaku. Ia juga sempat mematahkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Naya melihat jam dindingnya. Di sana, sudah hampir tengah malam. Naya rasa, cukup untuk hari ini ia menulis. Ia lalu berdiri dan akan masuk ke kamarnya. Saat ia berjalan masuk, ia melihat Hanan sedang duduk di sofa. Naya tentu setengah terkejut. Rupanya, Hanan dari tadi duduk di sofa? Naya memperhatikan suaminya itu. Hanan sedang duduk dengan posisi memangku dagunya. Namun dengan wajah serius. Naya lalu perlahan berjalan mendekatinya. "Mas?" sapa Naya pelan. Hanan menoleh ke arah Naya. "Kenapa duduk di sini malam-malam begini? Apa mas Hanan tidak tidur?" tanya Naya lagi. Hanan menghela nafasnya sebentar. "Aku, tidak bisa tidur," jawab Hanan lemas. "Sejak kapan mas Hanan duduk di sini? Aku terlalu fokus menulis, sampai tidak tahu tadi," ujar Naya yang akhirnya duduk di samping Hanan. Hanan tidak segera menjawabnya. Butuh beberapa waktu baginya untuk merespon Naya. "Kamu sendiri, kenapa tidak langsung tidur? Ini sudah malam," kata Hanan. "Sebenarnya, aku ingin tidur. Tapi, aku tadi melihat mas Hanan di sini. Jadi, aku ke sini," jelas Naya. "Mas Hanan kelihatan sedih. Ada apa? Apa mas Hanan mau bercerita padaku?" tanya Naya pelan. Hanan masih terdiam. Ia melihat ke arah depan dengan pandangan menerawang. "Apa, mungkin karena paket tadi?" tebak Naya. "Sejak menerima paket tadi, Mas Hanan menjadi murung," tambahnya lagi. Naya menunggu Hanan berbicara. Tapi, sepertinya Hanan masih terus hanya terdiam. "Kalau mas Hanan ingin menceritakan sesuatu, aku akan mendengarkannya. Tapi kalau tidak, setidaknya jangan melamun sendirian di sini," kata Naya. Hanan masih terus diam. Sama sekali tidak menjawab Naya. Naya bisa mengerti. "Maaf, kalau aku membuat Mas Hanan tidak nyaman. Aku hanya merasa kalau Mas Hanan sedang sedih dan kesepian. Kalau Mas Hanan tidak keberatan, Mas Hanan bisa bercerita padaku. Aku janji akan menjadi pendengar yang baik," tawar Naya. Ia masih mengamati suaminya. Tapi, Hanan masih terdiam. "Aku tahu, mungkin aku bukan orang yang Mas Hanan inginkan. Tapi, paling tidak lebih baik membagi kesedihan berdua kan?" tanya Naya lagi. Hanan lalu perlahan menoleh ke arah Naya. "Kenapa kamu ingin melakukan itu?" "Karena saat aku kesepian, aku juga pasti merasa seperti itu," jawab Naya. Tiba-tiba, Hanan merasa tertegun akan jawaban Naya. "Membutuhkan teman, hanya untuk mendengarkanku. Jadi, aku rasa, aku bisa mengerti perasaan mas Hanan saat ini," ujar Naya lagi. Hanan kembali mengalihkan pandangannya dari Naya pelan. Ia terdiam kembali. Tidak menjawab Naya. Naya bisa mengerti. "Maafkan aku," kata Naya akhirnya. "Kalau begitu, aku akan ke kamar," ungkap Naya yang berdiri dan akan berjalan menuju kamarnya. "Paket tadi berisi cincin," kata Hanan dengan cepat. Membuat Naya terhenti dan tidak jadi menjauh. Naya lalu melihat ke arah Hanan. "Cincin itu, adalah cincin yang aku berikan untuk Linda," lanjutnya. Naya kemudian kembali duduk di samping Hanan dan melihat suaminya. "Aku pikir, dengan memberi cincin itu padanya, bisa membuatnya bahagia. Tapi, ternyata tidak. Dia justru merasa terbebani, dan malah meninggalkanku," kata Hanan. Naya hanya diam mendengarkan Hanan bercerita. "Enam bulan yang lalu, aku belum seperti sekarang. Aku, hanya laki-laki biasa dengan pekerjaan yang biasa pula. Waktu itu, aku datang padanya, memberikan cincin ini dan memintanya untuk bersama denganku. Dia memang menerimanya saat itu. Tapi setelah itu, ia malah merasa terikat dan tidak bebas. Hal yang paling tidak bisa kutebak adalah, dia menghilang begitu saja," jelas Hanan. "Apa maksudnya menghilang?" tanya Naya. "Dia, sama sekali tidak bisa dihubungi. Semua nomor ponselnya tidak aktif." "Bukankah, Mas Hanan hanya perlu ke rumahnya?" "Ya. Kata orang tuanya, dia sedang bekerja ke luar kota. Saat itu, aku meminta nomor barunya dari orang tuanya." "Mas Hanan langsung menelfonnya kan?" tanya Naya lagi. Hanan menoleh lagi ke arah Naya. Ia menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Naya. "Aku berhasil menghubunginya. Tapi, hal yang aku terima sangat mengecewakan. Dia bilang, dia akan fokus pada pekerjaannya. Dan, dia tidak akan melanjutkan hubungan kami. Hubungan yang sudah berjalan selama lima tahun." "Apa alasannya?" "Sejujurnya, aku tidak tahu pasti. Aku pikir, mungkin karena pekerjaanku yang belum mapan saat itu? Atau karena pria lain? Aku tidak bisa menebaknya. Dan yang sulit dipercaya adalah, dia mengatakan akan mengembalikan cincin pemberianku," ujar Hanan. "Jadi, Mas Hanan sudah tahu sebelumnya kalau dia akan mengembalikan cincin itu?" tanya Naya lagi. Hanan kembali menganggukkan kepalanya. "Hanya saja... aku tidak menyangka kalau dia akan mengembalikannya secepat ini," jawab Hanan. Hanan lalu menundukkan kepalanya amat bawah sekali. Naya memperhatikan suaminya. Seperti merasakan kesedihan suaminya pula. "Sebenarnya, aku sudah tahu soal itu," kata Naya tiba-tiba. Hanan tercekat dan segera mengangkat kepalanya, dan menoleh ke arah Naya. "Apa?!" tanya Hanan sedikit terkejut. Naya juga ikut menoleh melihat suaminya. "Aku, sudah pernah mendengar tentang cerita ini sebelumnya," kata Naya. "Apa maksudmu?" Hanan tidak mengerti. "Ibuku, pernah bercerita soal pacar Mas Hanan, sebelum kita dijodohkan." "Ibumu, tahu dari mana?" "Ibu mas Hanan-lah yang bercerita. Waktu ada acara dan mereka bertemu, mereka saling mengobrol. Tapi, aku tidak tahu pasti apa yang sudah terjadi. Yang aku tahu adalah, Mas Hanan masih belum bisa melupakan pacar Mas Hanan itu," kata Naya. "Jadi, kamu sudah tahu sebelum kita menikah? Lalu, kenapa kamu masih mau menikahiku?" Hanan kali ini tidak habis pikir dengan menatap ke arah Naya. "Aku sudah bilang, aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu," ujar Naya. Hanan masih mengamati wajah istrinya. Naya juga tahu jika suaminya sedang melihatnya. "Jangan salah paham, Mas." Naya menggerakkan kedua telapak tangannya ke arah Hanan. Memberi kode tidak. "Aku sama sekali tidak menginginkan Mas Hanan untuk balas menyukaiku. Aku hanya ingin Mas Hanan bisa menerimaku sebagai teman. Aku sudah janji tidak akan mengganggu Mas Hanan dengan perasaanku." "Kenapa? Kamu sudah tahu kalau ini akan terjadi. Kamu tahu aku tidak akan bisa membalas perasaanmu kan? Kamu tahu kalau aku masih menyukainya. Lalu kenapa kamu masih terus mau menikah denganku?" tanya Hanan dengan nada penekanan. Naya terdiam sejenak, berpikir untuk menjawab pertanyaan Hanan. "Aku hanya merasa, aku pernah berada di posisi mas Hanan," jawab Naya. Hanan setengah tercekat mendengar jawaban Naya tersebut. Naya lalu kembali melihat ke arah depan. "Karena aku juga mengerti rasanya menginginkan seseorang yang tidak bisa kita miliki. Karena itu, aku pikir aku bisa memahami, kenapa Mas Hanan tidak bisa melupakan mantan Mas Hanan," jawab Naya. Hanan terdiam meresapi kalimat Naya. "Tidak masalah, Mas. Karena memang begitulah cara kerja hati memberitahu Mas Hanan," ungkap Naya lagi. Tiba-tiba, Hanan menjadi teringat sesuatu. "Aku pernah membaca itu," kata Hanan dengan mengkerutkan keningnya. "Apa?" "Tulisanmu," jawab Hanan. "Aku pernah tidak sengaja membaca salah satu kalimat novelmu yang berbunyi seperti itu," ujar Hanan lagi. Naya tersenyum mendengar ungkapan Hanan. "Ada sebuah makna yang tersirat dari tulisan itu. Kita, tidak bisa memilih kita suka dengan siapa. Namun, meski kita tidak bisa mengontrol hati, kita masih bisa berusaha. Dan percayalah saat kita berusaha keras, keadaan pasti akan membaik," tutur Naya. Hanan masih terdiam dan mencerna kalimat Naya. Naya memperhatikan Hanan yang masih berwajah serius. Naya akan kembali mengatakan sesuatu. "Aku, ingin menawarkan sesuatu pada Mas Hanan," ungkap Naya. Hanan menjadi menoleh ke arah Naya lagi. "Apa?" tanya Hanan. "Saat hari-hari Mas Hanan terasa berat. Mas Hanan bisa berbicara padaku, kapan saja. Aku akan mendengarkan cerita Mas Hanan dan menemani Mas Hanan saat Mas Hanan membutuhkan teman," ujar Naya. Hanan tertegun mendengar kalimat Naya. Ia masih menatap ke arah istrinya dalam. Naya juga ikut melihat wajah suaminya. Mereka saling tatap dalam sekian detik. "Benarkah?" tanya Hanan. "Hm...mm!" Naya menganggukkan kepalanya cepat. "Apa kamu bisa berjanji padaku?" tanya Hanan lagi. Sejujurnya, Hanan sudah merasa jauh lebih baik saat ini. Sesederhana itu Naya membuatnya lebih baik. Sulit dipercaya. "Tentu saja," jawab Naya mantap. Hanan lalu tersenyum lega. "Terima kasih," kata Hanan pada Naya. "Jujur saja, aku tidak pernah menceritakan soal hal pribadiku pada orang lain. Tapi, sekarang aku sadar, jika kamu bukan orang lain lagi," kata Hanan yang membuat Naya mengerjap heran dan menunggu. "Ternyata, kamu adalah teman yang sangat baik, Naya," tambahnya. Naya masih mengerjap mendengar ungkapan Hanan. Jujur, ia juga merasa tertegun mendengar pernyataan Hanan. Naya pun tentu bisa menerimanya. Mereka berdua saling tersenyum satu sama lain. Malam ini, bisa dibilang mereka saling berbicara dari hati ke hati, untuk pertama kalinya. Malam ini, sepertinya Hanan akan melewatinya dengan nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN