8. Hilang Kesadaran.

1396 Kata
Aku tidak mengerti, kenapa Tuan Antonio mengajak ku makan bersama. Apakah kepalanya sedang tidak baik baik saja? kemarin dia marah marah karena aku yang begitu ceroboh hampir jatuh di dapur. Lalu saat ini Tuan Antonio malah mengajaku makan siang berdua saja. Di ruangan ini, sungguh sangat aneh. Ah, mungkin karena dia sedang ingin beramal saja. "Kata lipi, kamu lagi nyari kontrakan. Apa itu benar?" aku yang hendak memasukan sendok kemulut, menjadi terdiam selama beberapa saat. Kapan Mbak Lipi bilang itu? "I-iya, Tuan." "Kenapa? apa kamu tidak betah tinggal di apartemennya Langit?" "Begini, Tuan. Aku pengen mandiri aja. Aku enggak mau terlalu tergantung pada mas Langit." "Kalian bersepupuan kan? kenapa harus malu? apakah kalian sedang bertengkar?" Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi tidak mungkin aku harus menceritakan ini. "Anu... mas Langit kan sebentar lagi mau nikah sama Mbak Lula. Aku hanya merasa enggak enak aja. Mungkin aja, mas Langit dan Mbak Lula mau tinggal di sana kan?" "Apa Langit bilang begitu?" Ah, kenapa teliti sekali. "Begini Tuan, tolong lah jangan bilang mas Langit kalau aku mau pindah kosan. Pokoknya bilang aja enggak tahu, duh, gimana ya. Saya malah nyuruh Tuan berbohong." Dia malah terkekeh, dan menggeleng geli padaku. "Kalian sepupuan lucu sekali. Kalau emang kamu mau pindah ya pindah aja lah. kenapa harus bohong sama Langit segala?" masalahnya, Mas Langit tidak boleh tahu kalau aku meninggalkan apatrtemen itu. Dia pasti akan marah padaku. "Aku banyak sekali pinjem uang sama Mas Langit. Aku malu saja, Tuan. Intinya aku enggak mau repotin mas Langit aja. udah gitu aja." ku tutup makan siang bersama Bos ku ini dengan segera. Kalau terlalu lama di sini, bisa bisa semua rahasia ini terbongkar. Dan itu sangat berbahaya. Keesokan harinya, aku pergi ke pengadilan dengan di dampingi oleh Mas Langit. Aku mengusap perut datarku. "Sayang semoga semuanya baik baik saja." gumamku pelan sekali. Dan aku yakin sekali, Mas Langit tidak tahu ini. Laki laki itu menyetir di sampingku. "Kamu baik baik aja sayang?" tanya nya. Jantung ku berdebar liar. Panggilan sayang itu, sungguh seperti sengatan listrik yang sedang menyiksaku. "Mas, jangan panggil aku dengan sebutan itu." "kenapa? apa kamu enggak suka?" "Aku malu." Aku merasa tidak pantas. Mas Langit ini seorang lelaki tampan dengan karir yang sedang berada di puncaknya di usia 32 tahun. Bagaimana bisa aku yang tidak lulus kuliah ini bersanding dengannya. Apalagi, aku sedang hamil dan bekas orang lain. Iya, apa yang Ayah katakan tentang diriku ini adalah benar. Aku hanya seorang perempuan bekas orang lain. Mana ada laki laki yang mau padaku. Aku adalah sampah yang telah dibuang oleh pemiliknya. Dilan sama sekali tidak peduli denganku. Aku bahkan tidak tahu apa tujuan Dilan menikahiku. Kalau memang dia mencintaiku, maka Dilan akan kerja keras dan memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, tidak seperti ini. "Kenapa malu?" dia masih menggenggam tanganku. "Aku enggak sebanding dengan mas, aku enggak sehebat mas. Aku malu, aku--" "Apa yang sebenarnya yang sedang ingin kamu bicarakan sama mas?" mendadak mas Langit menepikan mobil. Suara nyaring rem yang diinjak seolah sebuah pecutan untuku, bahwa semua yang aku pikirkan adalah benar. Mungkin saja saat ini mas Langit menyukaiku. Bagaimana jika suatu saat, dia bosan padaku lalu meninggalkanku. Tidak ada sedikit pun yang bisa aku banggakan di dalam diriku. Bahkan aku tidak pernah duduk di bangku kuliah seperti dirinya. Aku malah menikah dengan Dilan, dan hasilnya ... "Kamu ingin meninggalkan mas?" pertanyaan itu membuatku tidak sanggup untuk membalas tatapannya. "Jangan licik, Binar. Mas sudah tersiksa sekian lama karena perasaan ini. Mas tidak bisa move on sampai sekarang. Lalu kamu dengan mudahnya mau meninggalkan mas lagi? apa kamu pikir mas akan melepaskan kamu begitu saja?" suaranya yang terdengar mengintimidasi itu, sungguh mematikan semua akal ku yang sudah aku rancang agar bisa pergi tanpa laki laki itu tahu. "Mas, aku--" "Aku tahu kamu takut sama kedua orang tua mas, aku tahu kamu takut, sama ayahmu. Tapi apa kamu juga tidak berpikir, bagaimana takutnya aku kehilangan kamu? bagaimana takutnya aku hidup tanpa kamu? apa kamu pernah berpikir ke situ?" aku samakin menunduk dalam tidak berani menatap kedua matanya. Aku tidak pernah melihat Mas Langit marah. Ku lihat tangannya mengepal erat pada stir mobil yang sedang ia pegang. Lalu kedua rahang yang mengeras itu, dan helaan napasnya yang begitu terlihat berat. Apakah mas Langit semarah itu? "Mas, tolong denger--" "Kita berada diposisi yang sama! kamu takut dan aku juga takut. Kita sama sama takut. Licik jika kamu tiba tiba pergi dan membiarkan aku ketakutan sendirian. " Mas Langit membuka sefty belt, dan menggeser padaku. Menariku dan memegang kedua bahu ini dengan kedua matanya yang tajam, seolah ingin membakar pupil miliku. Aku tidak lagi bisa menunduk, mas Langit membuat dagu ini menengadah padanya. Sehingga tatapan kami akan terus saling bertaut. Aku sesak, karena sepertinya di dalam mobil ini oksigen habis oleh mas Langit saja. Sampai terasa ibu jarinya mas Langit mengusap bibir ini. "Jadi akan aku pastikan, kalau sepupuku ini tetap berada di sampingku, dan kita merasakan ketakutan yang sama!" Lalu detik berikutnya aku benar benar kehilangan oksigen itu, karena mas Langit menciumku dalam sekali. *** Kejadian di mobil tadi sungguh membekas diingatan ku. Ketika kami sama sama berada dalam napas yang sama. Dan Mas Langit menyentuh bagian tubuhku dengan sangat lembut. Tidak! Maksudku, kami tidak melakukan hubungan itu. Hanya saja, Mas Langit seperti kehilangan kendali saat menciumku. Hingga aku sendiri yang mendorongnya, dan dia meminta maaf, lalu berakhir dengan kecupan di keningku. "Ayo!" saat ini kami sama sama keluar dari mobilnya Mas Langit. Aku segera keluar, meski Mas Langit memperingatkanku, bahwa ia ingin membuka kan pintu mobil untuku. Namun aku merasa sangat malu, sehingga aku segera keluar tanpa menunggu dirinya. Kami berjalan berdampingan menuju pintu pengadilan. Mas Langit, hendak menggenggam tanganku, namun aku tepiskan. "Kenapa?" Dia terlihat begitu kecewa. "Mas, ini tempat umum. Aku takut ada orang yang mengabadikan ini, dan bude tahu." "memangnya kenapa kalau ibuku tahu?" dia sangat menyebalkan. "Mas ..." Mas Langit malah menggandeng bahuku. Sehingga kami dekat tanpa jarak sama sekali. Hanya baju kami yang menjadi pemisah. Tapi itu sungguh tidak cukup. Kejadian tadi, membuat kedua lututku lemas. Entah sejak kapan aku menjadi sangat lemah oleh sentuhannya Mas Langit. "Lebih bagus kalau ibuku tahu. Maka aku tidak perlu memberikan penjelasan lagi kan?" "Mas ..." "Keep silent, " Meletakan telunjuknya di bibirku. "Kamu hanya perlu berada di sampingku. Selebihnya biar aku yang mengurusnya!" Kami berada dalam jarak yang begitu intim, di parkiran ini Mas Langit memeluk ku erat sekali, dengan telunjuknya yang menutupi bibirku. Oh, tolong lah kenapa Mas Langit menjadi seorang lelaki yang begitu tampan. "Langit!" segera saja kami saling menjauhkan diri. Ketika suara Bude berada tidak jauh dari kami. Ah, ini lah yang sangat aku takutkan. Beliau mendekati kami dengan tatapan Bude yang ceria. Apakah bude tidak marah pada kami? atau hanya pura pura tidak tahu saja. "Ibu kenapa di sini?" tanya Mas Langit. "Bude," aku mencium punggung tangannya Bude Santi. "Apa kabar sayang? Bude denger kamu mau sidang hari ini." ujar Bude Santi. "Iya, bude," jawabku. Dadaku berdetak lebih kuat. Aku takut Bude mengetahui apa yang baru saja kami lakukan. "Dari mana Ibu tahu?" tanya Mas Langit lagi. "Barusan ke kafe. Dan bertemu bosnya, anton yang bilang. Dia temen kamu kan?" Ah, Tuan Anton ternyata. Mas Langit mengangguk dengan gamang. "Begini, bagaimana kalau sidangnya sama Bude aja?" Bude meraih tanganku. "Mas mu harus pergi piting baju pengantin sama Lula. Enggak apa apa kan sayang?" memangnya apa yang bisa aku lakukan. Selain menunduk dan mengangguk saja. Dadaku terasa nyeri. "Apa maksud Ibu? bukannya aku sudah bilang, kalau aku tidak mau menikah dengan Lula." suara Mas Langit terdengar agak meninggi. Sehingga aku genggam tangannya beberapa saat, untuk menenangkannya. Dan sialnya, Bude melihat itu. Aku dibuatnya semakin kalut. "Jangan bikin malu ibu. Langit Adiwangsa!" Tubuhku terasa gemetar, mendengar suara Bude santi yang meninggi. Bude pasti sudah tahu tentang semua ini. "Langit tidak mau menikah sama Lula! Dan tidak akan pernah." "Lalu kamu ingin menikah sama siapa hah?" aku memejamkan kedua mata ini. Kepalaku mendadak pusing. Dan perutku mual sekali. segera ku berlari, aku harus mencari toilet untuk membuang isi lambungku yang menguap ini. Kubiarkan Langit dan Bude yang masih beradu argumen. Sampai sebuah d**a bidang aku tabrak, kurasakan pemilik d**a itu menahanku. "Binar! Are you ok?" Tuan Antonio. kenapa dia ada di sini? Ku tatapan wajahnya dengan kedua mataku yang tiba tiba blur, telinga ini berdenging nyaring, hingga kepalaku pusing. Lalu bersamaan dengan tubuhku yang terasa lunglai, aku kehilangan kesadaran ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN