Binar POV.
Aku yang tidak mau berada di apartemen ini, malah mau tidak mau harus berada di sini. Mas Langit membawaku ke sini, setelah pertemuan kami di depan gedung pengadilan tadi. Saat ini aku berada di sopa. Aku duduk termenung dengan segelas air yang baru saja mas Langit berikan.
"jadi kamu kenapa?" Mas Langit saat ini berada di sampingku. "Kamu dari tadi diam terus?" tambahnya.
Apakah aku harus menceritakan ini pada mas Langit? tentang siapa Dilan, juga tentang kehamilanku.
"Mas,"
"Hm," dia meletakan gelas berisi air di atas meja. Duduknya jadi menyamping menatap padaku. Jarak kami yang dekat, membuatku bisa melihat kedua mata gelap yang menawan itu. Dia memang memiliki wajah yang begitu menarik hati. Di usianya yang memang matang sebagai laki laki, seharusnya mas Langit tidak terlibat dengan ku. Lula adalah satu satu nya perempuan yang begitu cocok bersanding dengannya.
"Kamu mau ngomong apa hm?" dia mengusap rahang dan daguku. Wajahnya mendekat, membuat alarm di dalam diriku menjerit. Jangan sampai Mas Langit menciumku lagi. Aku berdeham dan mundur agak menjauh. Menghadirkan kerutan dari kening si lelaki tampan di depanku.
"Aku mau tanya, apakah pernikahan saudara seayah itu berbahaya?"
Dia terdiam untuk beberapa saat. "Setahuku iya, bisa mengakibatkan cacat pada janin. Ko kamu tanya gitu? kan kita bukan saudara seayah. Ayah kita berbeda, bahkan ibu kita juga berbeda. Jadi kalau kita menikah, itu syah syah saja." apaan sih, siapa juga yang sedang membahas hubunganku dengan Mas Langit. Dasar Kakak sepupu tidak tahu diri!
Aku berdeham. "Ih, enggak bahas kita." rengek ku.
Mas Langit tersenyum dan duduk mendekat. Laki laki ini sungguh tidak bisa diam. Bukannya aku tadi sudah menjauh. Ini kenapa malah mendekat lagi sih.
"Terus kamu mau bahas siapa? kan yang ada tuh cuma kita. Iyakan?"
Duh, bagaimana ceritanya ya.
"Oh, mas Langit tahu sesuatu enggak?"
"Apa?" tangannya mulai mengusap pipiku. kedua matanya mulai instens pada bibirku. Duh, laki laki ini benar benar.
"Mas ..." ku dorong dia dengan pelan. mas Langit hampir saja mencium ku.
Dia merenggut kesal. "Memangnya kenapa? pelit sekali." Lihat! dia merengek lucu dan aku tidak tahan untuk tidak menjitak keingnya. Kenapa enggak bisa sabar sih. Ini tuh sedang serius.
"Dengerin dulu, aku mau ngomong."
"Iya. Emangnya kamu mau ngomong apa. Mas dengerin deh," karena aku menolak ciumannya, akhirnya Mas Langit menjatuhkan kepalanya di pangkuanku. Menatap ku dalam tepat di kedua mata ini.
"Tentang siapa mantan istrinya papah!" terlihat mas Langit terdiam selama beberapa saat. "Oh, itu. Emang papah kamu enggak bilang sama kamu?" dia malah balik bertanya. Membuatku kesal saja.
"Kalau tahu, kenapa aku harus tanya sih." aku jengkel.
Mas Langit terkekeh. "Ya, kirain Om bilang sama kamu. Kalau enggak bilang, ya mau apa dikata. Mas yang bakal bilang. Tapi kamu jangan bilang bilang sama Om. Nanti dia marah sama om." kaann ... papah malah menceritakan ini pada orang lain, dari pada pada diriku sendiri.
"Jadi bagaimana?" aku butuh informasi ini lebih cepat lagi.
"Dulu Om Winata memang memiliki istri sebelum ia nikah sama Tante Gendis, mamahmu." sejenak Mas Langit menjeda ceritanya. "mantan istrinya Om winata kalau enggak salah enggak bisa memiliki anak. Dia mandul gitu, jadi ya Om winata bertemu Tante Gendis, dan menikah dengan mamahmu. Namun salahnya Om Winata memang sudah selingkuh sama Tante Gendis, sebelum mereka menikah. Jadi ya ... Tante Pera atau mantan istrinya Ow Winata itu marah, lalu mereka bercerai." aku terdiam. Benar, nama mantan mertuaku memang Pera. Bahkan Papah dan keluargaku tidak tahu siapa. Karena ketika menikah, papah hanya menjadi saksi di ponsel saja, hanya ketika akad saja, Setelah itu, papah pun malah tidak pernah mengabariku. Lalu kudengar kabar, setelah seminggu menikah, katanya mamahku meninggal. Aku yang tidak bisa datang ke rumah sakit, karena mertuaku yang terus mengurung dan memberikan pekerjaan tiada henti. Akhirnya melewatkan pemakaman, dan datang setelah Mamah di kuburkan. Penyesalan ku sampai ini tidak pernah habis. Aku memang tidak layak dimaafkan.
"Sayang, kenapa kamu melamun terus sih?" Mas Langit mengusap pipiku dari bawah. "Kamu ko pucet ya? oh, ya. Perut kamu juga terlihat sedikit berisi. Kamu gemukan ya? Tapi seharusnya kamu enggak pucet sih," Mas Langit terlihat meneliti. Membuatku segera mengalihkan tatapan ini. Dan meraih gelas berisi air miliku. Kalau memang mantan istrinya papah itu mandul. Berarti ada kemungkinan bahwa Dilan bukanlah anak nya papah. Seandainya iya, seperti itu. Maka aku tidak perlu khawatir. Dilan tidak memiliki ikatan darah dengan ku dan papah. Dan itu artinya, janin ku akan aman. Tiba tiba merasa begitu lega perasaan ku.
"Hey!" lagi, kurasakan tepukan lembut mas Langit di pipiku. "BTW, kamu udah selesai ceraikan sama mantan?" tanya nya lagi.
"Iya, Mas."
"Kalau gitu, berarti kamu syah jadi janda kan?" apapula pertanyaannya ini. Ku tatap dia karena tidak mengerti dengan pertanyaannya itu. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita nikah saja?" aku berjengit kaget.
"Enggak mas!"
"kenapa? kamu ingin kita seperti ini terus tanpa kejelasan?"
"Bukan,"
"Terus?"
"Maslahnya kan, mas sudah punya calon. Bude juga belum tentu menyetujui ini. "
"Dulu, Ibu dan ayah setuju ko."
"Itu dulu, mas. Sebelum aku lari sama Dilan dan menikah. Itu dulu, sebelum aku menjadi seorang pembunuh mamahku sendiri. Itu dulu mas ..." mendadak dadaku kembali terasa sesak. Aku sungguh belum bisa memaafkan diriku sendiri karena kesalahan ini. Aku sungguh benci pada diriku sendiri. Mamah adalah satu satunya perempuan yang telah menyangiku seumur hidupnya. Namun aku malah memilih pergi dan hidup menderita menjadi budaknya mamahnya Dilan. Menjadi objek pembalasan dendam mereka pada ayahku. Ah, mungkin juga pada ibuku. Lalu mereka sukses, dan ibuku akhirnya kalah. Ibuku pergi ... dan ini gara gara aku. Apalagi yang bisa dimaafkan dariku. Tidak ada!
"Binar ..."
"Aku seorang pembunuh mas, aku bukan perempuan yang pantas untuk mas. Aku bekas orang lain, dan--"
"Stop binar!" Mas Langit duduk dan meraih kedua tanganku. "Aku tidak suka kamu seperti ini! aku tidak pernah meminta apapun dari kamu. Aku hanya ingin kamu, hanya kamu Binar Candramaya!" dia menatapku tajam penuh amarah. Napasnya terengah hebat. Kedua matanya merah dan berkabut. "Aku hanya ingin kamu, hanya cinta kamu. Kenapa untuk itu saja sangat sulit, binar ..." suaranya terdengar begitu menyayat hati ini.
"Tapi apa yang bisa mas harapkan dariku mas ..." akhirnya air mata ini luruh deras. "Aku tidak memiliki apapun." dan aku juga hamil. Mas Langit hanya akan semakin menderita jika hidup denganku. Mas Langit malah hanya akan memiliki beban yang tidak seharusnya aku bebankan padanya. "Kita akhiri saja, mas."
Ku rasakan tangan mas Langit mengerat pada pinggangku. Lalu tangan lain menarik tengkuk ku. "Jangan pernah berkata itu, binar. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu. Begitu lama waktu yang aku lewatkan tanpa kamu. Aku sudah berusaha melupakan kamu selama ini. Tapi apa! hasilnya nihil Binar. Kalau seandainya kamu itu bukan untuku. Maka mungkin aku akan bisa melupakan kamu dengan sangat mudah kan? tapi tidak binar, aku tidak bisa melupakan kamu. Kamu tahu, itu artinya apa? karena kita memang diciptakan untuk bersama!" belum sempat aku protes, dia sudah menyatukan bibir kami. Mendesak ku untuk membuka mulut ini. Hingga karena terlalu sesak, aku pun membuka mulut ini dan membiarkan Mas langit mengendalikan semuanya. Sentuhan itu begitu memabukan hingga aku terbuai dan lemah olehnya. Tubuh ini jatuh ke dalam dekapannya bersama gairah yang menyatukan kami.
Mas Langit menarik diri hanya ingin menatap wajahku, kemudian ia kembali menyatuhkan bibir kami, dengar gerakan yang lebih hebat dan instens dari sebelumnya. Sampai terdengar suara heboh dari luar pintu apartemennya mas Langit.
"Langit! bukan pintunya nak!" kami saling menjauh. Itu suara Bude.
"Kamu di sini sama Binar kan? tolong buka pintunya! Kalian tidak boleh berduaan di dalam apartemen ini. Langit! Bukan pintunya!" aku tidak tahu harus bagaimana. Namun Mas Langit menggenggam tanganku dengan erat.
"Kamu jangan takut. Aku bersama mu. Aku akan menjaga kamu." sorot kedua pupil gelap menawan itu, sungguh menenangkan hatiku. "Hanya kamu satu satunya ..." Mas Langit kembali menyatukan bibir kami dan menciumku begitu lembut. "Love you." kemudian ia membawaku ke arah pintu.
Waktu seperti berputar dengan begitu lambat. Jantung ku bertalu begitu menyesakan. Sampai aku bernapas berkali kali untuk menenangkan diri. Sesuatu di dalam perutku bergerak gelisah. Membuatku bingung dan cemas. Apakah janinku baik baik saja?
Apakah aku terlalu stres?
Keringatku mulai terasa merembes di kedua keningku. Sampai Mas Langit membuka pintu itu dengan nomor password yang ia tekan di samping pintu itu. Kemudian kudapati Bude Santi dan Papah. Mereka menatapku dingin dan entahlah. Kepalaku tiba tiba pening, dan aku mulai kehilangan kendali diri. Mas Langit menahan ku yang hampir limbung. Kemudian aku tidak sadarkan diri.