bc

Perfect Marriage Partner

book_age18+
64.2K
IKUTI
813.8K
BACA
billionaire
arranged marriage
arrogant
drama
comedy
sweet
bxg
city
office/work place
lawyer
like
intro-logo
Uraian

⚠️ Warning! I8+

Adriani Renata, seorang Accounting Consultant berusia 30 tahun, menolak perjodohannya dengan Prayoga Dimas Djojodiningrat (Yoga) yang merupakan salah satu pewaris Djojodiningrat Corporation dan juga seorang Corporate Lawyer berusia 34 tahun. Yoga yang sudah menyukai Renata sejak 9 tahun yang lalu, menjebak Renata dengan sebuah rekaman suara perbincangannya dengan sahabatnya, di sebuah night club, yang membicarakan mengenai Renata yang masih menginginkan Haikal Salim akan kembali padanya padahal pria itu kini sudah menyandang status sebagai kakak iparnya.

Akankah Yoga berhasil menjebak Renata untuk menerima perjodohan mereka? Akankah Renata menyadari perasaan Yoga padanya?

***

"Kalau kamu berani sentuh aku, aku pastikan aku akan potong punya kamu itu!" teriak Renata yang berhasil membuat Yoga tertawa.

"Oh, ya?"

"Iya, aku akan mutilasi burung kamu itu! Aku juga akan mutilasi kamu!"

"Yah, aku mati dong?"

"Iya! Bagus! Berkurang satu manusia menyebalkan di muka bumi ini!"

"Sayang, kalau aku mati dibunuh kamu, kamu akan jadi perawan tua yang setiap malam aku gentayangin. Kamu mau?"

Renata mendengus dengan nada mengejek. "Hei, tuan pengacara, kalau kamu mati, aku akan menikah sama pria yang jauh lebih baik daripada kamu!"

"Gak masalah. Aku akan merasuki badan suami kamu. Jadi, kamu akan tetap berhubungan badan sama aku."

Renata merinding mendengar ucapan Yoga, sedangkan Yoga mulai tertawa melihat Renata yang menatapnya penuh ketakutan dan amarah yang berkecamuk di dirinya.

"Yogaaaaaaa!!!!!!!!!" teriaknya.

"Kenapa Sayang?" ujar Yoga dengan begitu santai setelah mendapatkan teriakan dari gadisnya yang lucu itu.

"Dosa apa sih aku? Kenapa aku harus dijodohin sama manusia kayak kamu?!"

***

Perfect Marriage Partner by mayawaldorf.

Happy reading, folks! :)

chap-preview
Pratinjau gratis
Prologue - Antara Aku, Kau dan Sapu Tangan
Suara dering telepon membangunkan seorang pria dari tidur nyenyaknya. Ia meraba nakas di sebelah tempat tidurnya dan mengambil ponselnya. Dengan mata terpejam, ia menjawab panggilan telepon itu. "Hmm." "Jangan bilang lo masih tidur?" "Kenape?" "Siang ini kita ada meeting sama klien." "Hmm." "Woy, jangan ngorok lagi! Buruan mandi!" "Iye." Sambungan telepon itu pun berakhir. Namun, beberapa menit kemudian telepon pria itu kembali berdering. "Hmm." "Mandi!" Temannya itu sudah sangat hapal kelakuan dan tingkah laku pria berusia 25 tahun itu. Mereka sudah bersahabat sejak menjalani pendidikan di fakultas hukum di sebuah universitas ternama di dalam negeri dan bersama pula melanjutkan pendidikan di bidang international legal di USA. Dengan malas, ia berjalan menuju kamar mandi dan menunaikan tugas mulianya di pagi hari itu. Setelah selesai menunaikan tugas mulianya, ia memasuki ruang walk in closet lalu memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna hitamnya. Tak lupa, ia membawa jas dan dasinya yang juga berwarna hitam.   ***   Perjalanan menuju gedung kantornya yang terletak di daerah Sudirman, Jakarta, tidak memakan waktu lama karena jarak dari apartemen tempat tinggalnya tidak jauh dari tempat bekerjanya terlebih jam saat itu sudah menunjukkan pukul 9 pagi di mana orang-orang kantoran pada umumnya sudah berada di tempat mereka bekerja. Sebelum memasuki unit kantornya di lantai 30, ia menyempatkan diri untuk membeli sarapan di kafetaria gedung perkantoran itu. Ia membeli sebungkus sandwich dan segelas kopi lalu ia bergegas menuju deretan lift yang akan membawanya menuju unit firma hukum tempatnya bekerja. Namun, saat berjalan melewati meja receptionist gedung, ia mendengar percakapan antara seorang gadis belia dengan salah satu receptionist. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" "Saya mau ke XXX Law Firm." "Maaf, boleh saya tahu keperluannya?" "Hmm ... saya mau ketemu kakak saya. Boleh kan?" Receptionist itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ya, tentu saja boleh. Sang receptionist meminta gadis itu untuk menitipkan KTP-nya lalu memberinya sebuah kartu akses untuk masuk ke dalam deretan lift yang berada di belakang sisi kiri meja receptionist. Saat akan memasuki pintu akses menuju lift, gadis itu bingung bagaimana cara memasukinya. "Kartu aksesnya ditempel ke atas scanner." Gadis itu menoleh pada pria di belakangnya. Pria itu tersenyum dan mengambil kartu akses yang dipegang gadis itu, lalu menempelkannya di atas scanner pintu akses. Pintu akses itu terbuka. Gadis itu tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada pria yang berdiri di belakangnya. Pria itu pun mengembalikan kartu akses gadis itu. Mereka berdua menumpangi lift yang sama. Pria itu meneliti tampilan gadis itu. “Siapa dia? Kenapa dateng ke kantor cuma pakai kaos dan celana jeans? Kayaknya dia masih muda. Pasti mahasiswa mau magang. Gile aje mau magang pake baju begituan,” ujarnya dalam hati. "Kamu mau ke XXX?" "Iya,” jawab gadis itu. Ia pun melirik ID Card yang dipakai pria itu. "Kakak kerja di XXX?" Pria itu menganggukkan kepalanya. "Kamu mau ngapain ke XXX?" "Mau ketemu kakak aku." "Namanya siapa?" "Arkan." "Arkan? Arkan Daneswara?" Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Arkan itu kakak sepupu kamu?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kandung." Pria itu menahan tawanya. Sebelumnya ia berpikir gadis yang bersamanya saat ini adalah gadis lugu dan baik-baik, ternyata ia hanya seorang penipu. "Nama kamu siapa?" "Renata." Pintu lift terbuka. Ia pun menemani gadis itu ke meja receptionist kantornya. "Mbak, ruang meeting ada yang kosong gak sekarang?", tanya pria itu pada seorang wanita di balik meja receptionist. "Sebentar Mas Yoga, saya cek dulu." Receptionist itu mengecek jadwal pemakaian ruang meeting di komputernya. "Ruang E kosong, Mas." "Oke. Saya pakai ruang itu sampai jam 11." "Baik, Mas." Yoga pun membawa Renata ke ruang meeting E. "Tunggu di sini. Aku panggil Arkan dulu di ruangannya. Eh iya, mau minum apa?" "Hmm ... gak usah deh, Kak. Aku gak lama kok." "Oke. Tunggu sebentar, ya." Yoga meninggalkan Renata sendirian di ruang meeting itu lalu menghampiri meja receptionist kembali. "Mbak, tolong minta OB bawain teh manis untuk tamu saya di dalam, ya." "Baik, Mas Yoga."   ***   Yoga memasuki ruang kerjanya dengan senyum nakalnya. Arkan yang melihatnya dengan santai memasuki ruang kerja mereka pun mendampratnya. "Gile lo ya, baru dateng jam segini! Dari subuh udah gue telepon gak diangkat – angkat! Gue panik, tau gak?! Hari ini kita ada meeting penting sama PT FDE!" "Iye, gue tau, gue inget kok. Gue juga udah siapin semua berkas – berkas yang kita butuhin buat meeting nanti. Tapi, pagi ini kita ada meeting yang lebih penting." "Meeting apaan?" "Ada cewe minta pertanggung jawaban lo." "Tanggung jawab? Tanggung jawab apa?" "Gak tau. Dia hamil anak lo, kali." "Gile lo, nyet! Mana tuh cewe?" "Ayo, ikut gue." Saat mengikuti Yoga menuju ruang meeting, Arkan menerka-nerka apa yang akan terjadi. Hari ini bukan hari ulang tahunnya. Rasanya tidak mungkin Yoga bersekongkol dengan rekan-rekan kerja mereka untuk membuatkan kejutan untuknya. Yoga membuka pintu salah satu ruang meeting kantor mereka. Mata Arkan terbelalak saat melihat seorang gadis sedang meminum teh di dalam ruang meeting itu. "Renata?!" Gadis itu bangkit dari kursinya. Terlihat ia gemetaran saat melihat Arkan terlihat begitu marah padanya. "Mas Arkan.." Yoga menahan tawanya melihat gadis itu ketakutan menatap Arkan yang terkenal dingin dan galak di kantor mereka. "Ngapain lo ke sini?!" ujar Arkan membentak gadis itu. "Papa sakit. Papa mau ketemu Mas Arkan,” jawab gadis itu dengan raut wajah ketakutan. Tawa Yoga meluntur. “Papa? Jadi benar dia adiknya Arkan? Bukannya Arkan anak tunggal? Orang tuanya kan juga udah meninggal,” gumamnya dalam hati. Yoga menatap Arkan dan Renata bergantian. "Pergi lo dari sini!" "Mas Arkan, maafin aku. Aku udah coba telepon Mas Arkan berkali – kali, tapi Mas Arkan gak jawab telepon aku. Aku bingung. Ya udah, aku nekat ke sini." "Pergi!" "Iya, aku pergi, tapi Mas Arkan mau kan ke rumah untuk ketemu papa?" Arkan menarik tangan Renata keluar dari dalam ruang meeting lalu mereka masuk ke dalam lift. Yoga juga mengikuti mereka. "Lo mau ke mana, Kan?" tanya Yoga. "Lo ngapain ikutin gue?!" Bukannya menjawab pertanyaan, Arkan malah bertanya balik pada Yoga. "Gue ... mau ke mini market bawah. Beli kopi." Pintu lift terbuka dan Arkan kembali menarik tangan Renata dan membawa gadis itu menuju halaman utama gedung kantornya. "Jangan pernah lo tunjukin muka lo lagi di depan gue!" ujar Arkan dengan wajahnya yang merah padam. Renata menganggukkan kepalanya dan meneteskan air mata lalu Arkan berlalu meninggalkannya. Arkan melirik ke arah Yoga yang melihat mereka dari dalam gedung dengan tatapannya yang sangat mengerikan. Ia tidak mempedulikan Yoga dan berjalan menuju lift. Ia kembali ke ruang kantornya. Yoga menghampiri Renata yang masih ketakutan. Renata merasa malu dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Arkan padanya karena ada beberapa orang yang melihat Arkan membentak dirinya. Yoga memberikan sapu tangan yang disimpannya di balik jas yang dikenakannya pada Renata. "Are you ok?" Renata menoleh menatap Yoga yang telah berdiri di sampingnya lalu menganggukkan kepala dan mengambil sapu tangan itu. "Ikut gue." Yoga membawa Renata ke kafetaria gedung kantor itu. Ia membelikan Renata secangkir hot chocolate. Tangan Renata gemetar saat mengangkat cangkir itu. Yoga menatap serius pada Renata seraya mengaduk kopinya. "Jadi, kamu adiknya Arkan?" tanya Yoga yang dijawab oleh Renata dengan menganggukkan kepalanya. "Bukannya orang tua kalian sudah meninggal?" "Aku dan mas Arkan satu ayah, tapi beda ibu. Ibunya mas Arkan meninggal waktu melahirkan mas Arkan. Terus, papa menikah sama mama aku." Akhirnya misteri terkuak sudah. Selama ini Arkan hanya bercerita bahwa orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan dia dirawat oleh kakek dan neneknya. "Arkan gak tinggal serumah sama kamu, ya?" Renata menganggukkan kepalanya. "Mas Arkan tinggal sama kakek neneknya dari pihak ibunya. Mungkin Mas Arkan lebih nyaman tinggal sama keluarga ibunya." Yoga tersenyum mendengar penjelasan Renata. "Nanti aku bantu ngomong ke Arkan untuk jenguk papanya." Wajah Renata mendadak semringah mengetahui Yoga mau membantunya. "Terima kasih, Kak." "Boleh minta nomor hp kamu?" Renata pun memberikan nomor ponselnya pada Yoga. "Kamu masih kuliah, ya?" "Iya, Kak." "Jurusan?" "Akuntansi." "Mau masuk Accounting Firm ya?" Renata tersenyum dan menganggukkan kepalanya.   ***   Setelah Renata pergi dari gedung kantornya, Yoga kembali ke dalam ruang kerjanya dan mendapati Arkan sedang serius mengetik sesuatu di laptopnya. Ia pun malas menyapa Arkan karena terlihat sekali Arkan menahan amarahnya. Malam hari setelah meeting dengan klien yang berjalan cukup lama, Yoga dan Arkan beserta tim basket firma hukum mereka berlatih di gelanggang olahraga (GOR) dekat kantor mereka. Setelah latihan basket itu selesai, Arkan dan Yoga melipir ke sebuah kafe favorit mereka di sebelah tempat GOR itu. "Kan." "Hmm?" "Besok kan libur. Ada baiknya lo jenguk bokap lo.” Arkan tidak menggubris perkataan Yoga. Ia sibuk menyantap roti bakarnya. Yoga pun menghela napasnya. "Kita kan gak pernah tau umur orang. Mumpung lo masih bisa ketemu bokap lo. Kasihan adik lo, Kan. Dia bela – belain dateng ke kantor kita buat bokap kalian." Arkan menatap tajam pada Yoga seolah orang di hadapannya adalah musuh yang harus segera dibinasakan. "Dia bukan adik gue!"   ***   Sabtu sore yang sendu, hujan turun rintik–rintik membuat perasaan seorang gadis manis semakin sakit. Ayahnya sedang terbaring tak berdaya akibat kanker darah yang menggerogotinya. Ia tidak mau terlalu lama berada di kamar tidur ayahnya karena ia tidak suka melihat ayahnya menderita, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa pun. Bahkan usahanya nekat datang ke kantor kakak tirinya pun tak menghasilkan apa-apa. Gadis itu menatap jendela ruang tamu rumahnya seraya menghela napas. Seandainya saja kakak tirinya yang dingin dan angkuh itu mau datang untuk menjenguk ayahnya, ia akan merasa sangat senang. Tiba–tiba sebuah mobil berwarna hitam metalik berhenti di depan pintu gerbang rumahnya. Seorang pria berjaket hitam keluar dari dalam mobil itu dan berjalan memasuki pekarangan rumah. Gadis itu terlonjak dari duduknya dan berteriak. "Mama, mas Arkan dateng!" Gadis itu berlari keluar rumah dan menghampiri Arkan. "Mas Arkan." "Gue mau ketemu bokap." Gadis manis itu tersenyum dan mengajak Arkan masuk ke dalam kamar tidur ayah mereka.   Seorang pria paruh baya tergeletak tak berdaya di atas tempat tidurnya. Ia merintih kesakitan. Keadaannya membuat anak laki–lakinya yang dingin dan angkuh itu hanya diam dan terduduk di sampingnya. Pria muda berusia 26 tahun itu menggenggam tangan pria paruh baya di hadapannya. Ia menahan sekuat tenaga agar tidak menangis. Pria paruh baya yang merasakan genggaman tangan yang begitu dirindukannya itu pun membuka kedua kelopak matanya dan mendapati wajah anak pertamanya yang sangat dirindukan. "Arkan.” Arkan mulai meneteskan air matanya. Ia merasa sangat sedih melihat kondisi ayahnya yang selama ini ia acuhkan karena merasa bahwa ayahnya lebih mencintai istri baru dan anak ke duanya daripada dirinya. "Arkan ... jangan menangis, Nak." Arkan pun terisak dan menyembunyikan wajahnya di balik genggaman tangannya. "Maaf,” ujar Arkan di tengah isakannya. "Nak ... Papa punya permintaan." "Apa Pa?" "Jaga adik kamu." Arkan terdiam sejenak. Sejak kecil ia membenci gadis kecil ayahnya. Ia tidak pernah mau menganggap anak ayahnya dari istri barunya itu sebagai adiknya. "Papa mohon. Jaga Renata." Arkan pun menganggukkan kepalanya.   ***   Ponsel Arkan berdering berkali–kali. Yoga melirik ponsel itu dan mendapati nama Renata. Sudah sekitar 15 menit Arkan pergi ke mini market di lobby gedung kantor mereka dan pria itu lupa membawa ponselnya. Tak berapa lama kemudian, ponsel Yoga berdering. Panggilan telepon dari orang yang sama. Ia pun menjawab panggilan telepon itu. "Halo, Re." "Halo, Kak Yoga,” ujar Renata di tengah isak tangisnya. Yoga yakin hal buruk telah terjadi. "Kakak lagi sama mas Arkan gak?" "Arkan lagi keluar ruangan. Ada apa?" Renata kembali terisak. "Papa meninggal." Ingin sekali rasanya Yoga memeluk gadis mungil itu. Gadis kecil manisnya itu pasti sangat sedih. "Re, sebentar lagi aku ke rumah kamu. Dimakaminnya jam berapa?" "Kemungkinan jam 4 sore." "Ya udah, aku sama Arkan ke sana sekarang." Setelah sambungan telepon itu berakhir, Yoga merapikan meja kerjanya dan menyambar ponsel Arkan. Ia berlari menuju lift dan kembali berlari menuju mini market setelah tiba di lobby. Rupanya Arkan sedang berbincang dengan Radit, salah satu rekan kerja mereka. "Arkan, adik lo tadi telepon. Bokap lo meninggal,” ujar Yoga seraya memberikan ponsel Arkan. Wajah Arkan yang sedang tertawa bersama Radit pun berubah menjadi pucat pasi. Radit yang mendengar ucapan Yoga juga seketika kedua matanya terbelalak. Arkan berlari menuju ruang kantornya dan merapikan meja kerjanya. Ia meminta izin pada atasannya untuk meninggalkan kantor saat itu juga karena harus mengurus pemakaman ayahnya. Yoga dan Radit juga meminta izin untuk mendampingi Arkan.   ***   Mereka pergi ke kediaman ayah Arkan dengan menggunakan mobil Radit. Sesampainya di sana, sudah ramai pelayat berdatangan. Arkan langsung menghampiri jenazah ayahnya dan menangis. "Pa, maaf ...,” cicit Arkan. Yoga melihat Renata yang sedang menangis dalam pelukan ibunya. Setelah acara pemakaman dan tahlilan selesai, Arkan, Yoga dan Radit pamit pulang. Saat berjalan menuju mobil Radit, Renata memanggil Yoga. "Kak Yoga, tunggu." Arkan dan Radit pun menunggu Yoga di dalam mobil. "Ya?" Renata menyerahkan sapu tangan yang dulu dipinjamkan Yoga padanya. "Ini sapu tangan Kakak. Udah aku cuci sampai bersih." Yoga tersenyum pada Renata. "Untuk kamu aja." Yoga berlalu dari pandangan Renata dan masuk ke dalam mobil Radit. Mobil itu pun menjauh dari rumah Renata. Renata memandangi sapu tangan itu dan berjanji untuk menjaganya dengan baik seumur hidupnya.   ***   CERITA PERFECT MARRIAGE PARTNER INI TELAH RESMI DIKONTRAK SECARA EKSKLUSIF OLEH STARY PTE LTD (DREAME). BAGI YANG MEMBAJAK CERITA INI DALAM BENTUK APA PUN AKAN DIKENAKAN SANKSI PIDANA!   DILARANG KERAS MENGUNGGAH CERITA INI KE PLATFORM MANA PUN DAN DALAM BENTUK APA PUN! BAGI YANG MEMBAJAK, MENGKOPI ATAU MENYALIN KARYA CERITA INI, WALAU PUN BERBEDA JUDUL ATAU BERBEDA NAMA TOKOH, AKAN SAYA DAN DREAME TUNTUT SECARA PIDANA!

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Bridesmaid on Duty

read
164.2K
bc

Mengikat Mutiara

read
144.4K
bc

Secret Marriage

read
945.6K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

Marriage Agreement

read
594.4K
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Love You My Secretary

read
243.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook