Prioritas

1223 Kata
Prioritas "Om Jefry!" Dara berteriak, menyongsong Jefry yang baru melewati pintu rumah dan segera memeluk kaki lelaki itu. Jefry merendahkan tubuh, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Dara. Dia mengukir senyuman dan mengusap kepala Dara, yang pagi ini dihiasi bandana hitam berbunga. "Cantik banget sih, Dara mau berangkat sekolah, ya?" tanyanya, setelah membaui wangi Dara. Dara mengangguk antusias, mendekatkan wajahnya ke sisi kepala Jefry lalu berbisik di sana. "Om Jefry beliin Dara cokelat nggak?" "Jangan dikasih Kak, Kak Yuna nggak akan suka kalau Dara dikasih cokelat kebanyakan." Sita yang sedari awal duduk di salah satu sofa ruang tamu, membuka suara. Meski tidak mendengar bisik-bisik Dara, tapi dia yakin jika gadis kecil itu terlalu antusias pagi ini karena mengingat Jefry menjanjikan cokelat kemarin sore. Merasa ucapannya tak akan dihiraukan, Sita menoleh ke arah Jefry dan sedikit mendelik. Memperingati. Jefry menghela napas, lalu nyengir dengan perasaan bersalah -yang dibuat-buat, dan membalas tatapan penuh harap Dara yang menanti janjinya terpenuhi. "Om Jefry lupa," desahnya lirih. Yang seketika membuat bahu gadis kecil di hadapannya meluruh. "Yahh, kok lupa sih Om. Mirip Eyang yang suka lupa, deh." Dara cemberut, tidak menyembunyikan kekecewaannya. Sekali lagi, Jefry mengusap puncak kepala Dara. "Maaf, besok deh, ya," lirihnya, kembali menjanjikan. Meski pagi ini sebenarnya di balik jasnya tersimpan dua potong cokelat yang sengaja ia beli untuk Dara dan Deva. Benar kata Sita, Yuna akan marah jika putrinya terlalu banyak memakan cokelat. Yah, ibu-ibu muda satu itu cukup selektif mengenai makanan. Karena lebih sering membuat makanan sehat, dengan manis tidak berlebih. "Janji ya, Om. Jangan suka lupa kayak Eyang." Sambut Dara dengan wajah berbinar, menerima janji yang Jefry buat. "Jangan menjanjikan banyak hal Kak, kalau nggak bisa ditepati." Sita kembali menimpali. Sejak tadi, dia tak melepas tatapan dari interaksi Jefry dan Dara. Dan ia gatal sekali ingin nimbrung, melempar kalimat ceplas-ceplosnya. Jefry menengadah, membalas tatapan Sita. Tidak ada kekesalan di matanya, yang ada hanya keteduhan. "Benar, tapi aku lebih sering menepati janji, daripada mengingkarinya." Sita berdecih kecil, menggelengkan kepala dengan diselingi tawa tanpa suara. Dia tidak percaya dengan ucapan Jefry, tentu saja. Karena entah sudah berapa ratus kali lelaki itu mengumbar janji manis yang hanya akan menjadi angin lalu tanpa arti. Tapi, dia tidak ingin memperpanjang. Jadi, yang kembali keluar dari bibirnya adalah, "Dara ke sini, belum selesai pakai sepatu, kan." Mendengar seruan Sita, Dara tersenyum manis, menurunkan pandangannya ke lantai, di mana dua kaki mungilnya hanya terbungkus kaus kaki warna putih dengan renda di pergelangan kaki. Dan hal itu pun diikuti Jefry, yang segera mengangkat tubuh Dara untuk didudukkan ke sofa di sebelah Sita. Sedangkan dia -di sisi Dara, mengamati Sita yang membantu Dara memakai sepatu. "Kamu kuliah hari ini?" tanya Jefry. Sita yang selesai memakaikan sepatu Dara, berkedip beberapa kali ketika sadar Jefry terlalu dekat dengannya. Hanya ada Dara di tengah-tengah mereka, sebagai jarak pasti yang membuat mereka tidak lebih dekat lagi. "Kuliah, sebentar lagi berangkat," sahutnya, setelah melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Dia sedang menunggu Kennan yang tidak turun-turun. Beserta Deva yang nampaknya sama ribetnya dengan si Ayah jika bersiap-siap. Jika Dara tidak ia tarik turun, dengan menjanjikan mendandani rambut dan memakaikan sepatu gadis kecil itu, sudah tentu Dara pun masih bertahan di atas sana. Dan karena motornya sedang menginap di bengkel, membuat Sita harus ikut Kennan untuk ngampus. Setelah mengantar si kembar sekolah tentu saja. "Ikut aku sekalian." Jefry mengajak. Menyandarkan punggung di sandaran sofa dan memejamkan mata. Semalaman dia tidak tidur, dan baru terlelap setelah lewat dini hari, itu berarti tidak lebih dari tiga jam. "Kak Jefry kenapa?" tanya Sita, mengabaikan ajakan Jefry. Dia lebih tertarik memperhatikan wajah letih dengan lingkaran hitam yang menghias di bawah mata lelaki itu. Pagi ini Jefry masih tetap tampan, wangi, dan memiliki senyuman manis. Namun, Sita tahu, Jefry jelas kelelahan. Jefry membuka mata, sedikit memiringkan kepala dan membalas tatapan Sita. "Kenapa memang?" Sita menghela napas, mengalihkan tatapan untuk melirik Dara yang bertahan di tengah-tengah dia dan Jefry. Gadis kecil itu duduk tenang, karena ada sepotong sandwich yang menemaninya. "Kak Jefry bisa cerita ke aku, kalau ada masalah." Jefry meloloskan tawa lirih, yang terdengar bergetar di telinga Sita. Membuat gadis itu kembali menoleh dan menatap intens. "Masalah yang seperti apa?" "Apa saja, pekerjaan, otomotif -meski aku nggak gitu paham, atau wanita?" Sita mengedikan bahu. "Kamu tahu, hanya duduk seperti ini, masalahku sudah hilang, Ta." Tidak membalas, Sita menerka-nerka, apa maksud ucapan Jefry. Meski dia bertanya pun, Sita yakin, Jefry akan lebih pandai membuat jawaban lain. "Jefry," Sapaan itu, membuat Sita dan Jefry menegakkan punggung, menatap Kennan yang baru turun dari tangga, disusul Deva yang dituntun Yuna. "Pagi Ken," Jefry membalas sapa, sama ramahnya. Wajah letih yang beberapa saat lalu dia biarkan menghias, kini dia enyahkan sepenuhnya. "Aku nggak perlu dijemput buat ke kantor, kamu nggak perlu repot-repot begini," ucap Kennan setengah bercanda, sembari memperbaiki stelan jasnya. Yang jika kata Sita, lalat pun akan terpeleset saking licinnya pakaian yang Kennan kenakan. Jefry berdecih. "Maaf saja, ekspektasimu ketinggian," "Jadi ...?" Kennan menghentikan langkah didekat sofa yang Jefry duduki. "Ingin numpang sarapan, tapi sepertinya tidak ada bagian untukku." Jefry mengedik. Kennan melirik Sita dan Dara, lalu kembali pada Jefry saat menemukan dua gadis beda usia itu tampak rapi. "Sayang sekali, kita sudah harus berangkat. Kamu bisa membuat sendiri sarapan bagianmu." "Om Jefry belum sarapan, makan punya Dara saja Om," Dara membuka suara, mengambil sepotong sandwich dari piringnya dan memberikannya kepada Jefry. "Syukurlah, ada bidadari manis di sini yang sifatnya tidak menurun dari si Ayah," seloroh Jefry dan menyambut suapan sandwich dari Dara dengan suka cita. Lalu, gadis kecil itu turun dari sofa, karena dipanggil Kennan untuk menyusul keluar rumah. "Kamu bisa meminta Mba Mini membuatkanmu sarapan Jef, kami harus berangkat." Yuna bersuara, sembari mengusap rambut Deva yang kembali acak-acakan lalu berjalan melawati sofa yang Jefry dan Sita duduki. "Aku juga harus berangkat." Sita bangkit berdiri, namun pergelangan tangannya lebih dulu dicekal. "Kamu berangkat sama aku, Ta." Jefry menelan sandwich gigitan pertamanya. Kemudian dia bangkit berdiri dan menarik Sita keluar rumah. Tanpa kata, karena mulutnya kembali sibuk mengunyah. "Tangan Kak Jefry panas," kernyit Sita, saat mereka tiba di depan rumah dengan semua personil keluarga Kennan sudah bersiap masuk ke mobil. Jefry melirik, tersenyum simpul. "Bukan panas, tapi hangat. Lain kali aku akan sering-sering menggenggam tanganmu." "Kak Jefry sakit." Dugaan Sita diperkuat dengan dia yang segera menarik tangannya untuk menyentuh sebelah pipi Jefry. Panas. "Tante Sita, buruan naik!" Deva yang sudah berada di dalam mobil berteriak, lewat pintu mobil yang terbuka. "Ayo Tante." Dara mengimbuhi, menyembulkan kepalanya di belakang Deva. Belum juga Sita menyahut, Jefry sudah lebih dulu membuka suara. "Tante Sita berangkat sama Om. Deva sama Dara berangkat saja dulu," Dan ya, setelahnya mobil Kennan melaju keluar rumah, meninggalkan Jefry dan Sita yang masih berdiri bersisian di depan rumah. "Kak Jefry pulang aja, istirahat. Izin kerja pasti dibolehin sama Kak Kennan." "Kamu khawatir padaku?" Jefry mengerling, mengukir senyuman geli. Apalagi saat mendapati Sita langsung membuang tatapan, bahkan mengambil langkah lebih dulu ke pelataran rumah. Rasanya, tubuhnya semakin memanas. Dia bukan tidak merasakan jika kondisi tubuhnya tidak begitu fit pagi ini, tapi, mengingat motor Sita di bengkel, maka keinginannya untuk mengantar Sita lebih besar, dan membuatnya bangkit berdiri. "Aku selalu mengkawatirkan Kak Jefry." decak Sita, terus mengayun langkah. Jefry di belakang, menyusul tanpa melepas senyuman. Sita memang keras kepala, tapi, hatinya bisa dipastikan sebaik apa. "Kamu keblabasan, Ta, mobilku di sisi kirimu. Yang paling keren daripada deretan mobil Kennan." Sita menghentak. "Aku nggak mau ikut Kak Jefry, takut disasar ke pembatas jalan karena Kak Jef lagi nggak fit." Jefry tertawa kecil, menyahut dengan suara tidak begitu keras, namun berhasil membuat kayuhan langkah Sita terhenti. "Keselamatanmu adalah prioritasku, Ta. Nggak mungkin aku membiarkanmu terluka." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN