1. Gadis yang Dipinjamkan
“Di, aku mau ganti baju aja,” rengek Yuta sepanjang perjalanan dari tempat kos mereka menuju hotel. Gadis itu merasa gaun yang dipakainya hari ini terlalu berlebihan. Bukan saja karena potongannya yang cukup terbuka di bagian bahu dan punggung, tetapi modelnya pun terlalu mewah. Yuta merasa penampilannya akan terlalu mencolok, padahal dia bukan bintang di acara hari ini.
“Enggak boleh, Ta!” Fadi menggeleng tegas.
“Kenapa kamu ngotot banget suruh aku pakai baju ini?” keluh Yuta jengkel. Dia paling sebal dengan sikap Fadi yang sering memaksakan kehendak.
Hari ini, Yuta diminta menemani sang kekasih mendatangi acara ulang sepupunya yang diadakan di salah satu hotel mewah Jakarta. Berhubung sepupu Fadi Batara berasal dari kalangan selebritas juga, tentu akan banyak orang hebat yang hadir. Fadi jelas ingin memamerkan kecantikan Yuta di hadapan banyak orang. Oleh karena itu, dia sengaja mendandani Yuta dengan sangat mencolok. Mana tahu gadis ini bisa memberinya keuntungan tidak terduga.
Meski Yuta belum lama memasuki dunia modeling, kecantikannya itu sudah diakui banyak orang. Tubuh tinggi semampainya berbalut kulit eksotis yang selalu berhasil membuat orang lain iri. Belum lagi rambut hitam panjangnya yang tergerai lurus alami. Benar-benar perpaduan indah yang bisa membuat orang lain berkecil hati dan terintimidasi.
“Baju ini sudah paling sesuai dengan kamu,” balas Fadi yang sama sekali tidak peduli dengan keengganan Yuta.
“Tapi aku enggak nyaman, Di.”
“Nyaman atau enggak, pakai aja. Aku udah beli mahal-mahal untuk kamu,” ujar Fadi arogan.
Yuta tidak mendebat Fadi lagi. Bukan karena patuh, melainkan jengkel luar biasa. Sepanjang perjalanan sampai tiba di tempat acara digelar, Yuta memilih bungkam.
Tepat seperti perkiraan Fadi, malam ini Yuta banyak mencuri perhatian orang. Begitu banyak tatapan mata yang terarah kepadanya. Tidak sedikit pula orang yang menghampiri dan memuji dengan terang-terangan. Bahkan hebatnya, ada juga beberapa pihak yang tertarik untuk menawari Yuta pekerjaan.
“Di, berapa lama lagi kita di sini?” tanya Yuta lelah setelah berdiri selama satu jam lebih dengan sepatu tinggi yang pastinya terasa menyiksa.
Fadi menjawab setengah berbisik, “Memangnya kenapa?”
“Aku capek, Di. Aku pengin pulang.”
“Kenapa hari ini kamu rewel sekali?” desis Fadi kesal.
Kalau tadi Yuta masih bisa menahan dir untuk diam, kini tidak lagi. Rasanya dia ingin meneriaki Fadi saking jengkelnya. “Kamu yang paksa aku ke sini, Di. Aku enggak pengin datang.”
“Ta, jangan banyak protes, oke?” balas Fadi dengan nada mengancam. “Jangan bikin aku jadi emosi. Kamu tahu seperti apa aku kalau sudah hilang kendali, ‘kan?”
Yuta langsung memalingkan wajah menahan kekesalannya. Dia sangat tahu seperti apa Fadi saat lepas kendali dan tentunya Yuta tidak hal itu terjadi di tempat ini. Demi menenangkan diri, Yuta berjalan menjauh.
Namun, Fadi segera menahan tangan kekasihnya. "Kamu mau ke mana?"
"Toilet," balas Yuta kaku. "Apa ke toilet juga enggak boleh?"
"Jangan lama-lama!" sahut Fadi galak.
Yuta segera berjalan menuju toilet yang berada di sisi barat ballroom tempat diadakannya pesta ulang tahun sepupu Fadi. Tanpa disangka-sangka, ketika melewati lorong menuju toilet, Yuta berpapasan dengan sang pemilik acara, Lauritz Meijer. Dia langsung bisa mengenalinya karena Lauritz adalah sosok aktor muda berbakat yang sangat terkenal beberapa tahun terakhir.
Terlihat Lauritz tengah bercakap-cakap dengan aktor lain sembari berjalan. Sebagai orang yang tahu diri karena sadar dia bukan siapa-siapa, Yuta segera menyingkir. Gadis itu berjalan sangat menepi, nyaris merapat dengan tembok agar tidak mengganggu rombongan para selebritas.
Namun, ketika mereka berselisih jalan, tiba-tiba saja Lauritz langsung berhenti melangkah. Kepala pemuda itu menoleh jauh ke belakang untuk melihat sosok gadis yang baru saja berpapasan dengannya.
"Aroma gadis tadi …," bisik Lauritz sembari memicingkan mata.
“Kenapa, Ritz?” tanya salah satu aktor yang tengah bercakap-cakap dengannya.
“Bukan apa-apa.” Setelah itu, Lauritz kembali melangkah.
Ketika melihat Lauritz kembali ke ballroom, Fadi segera menghampiri. Dia ingin mengucapkan selamat secara langsung karena sejak tadi tidak ada kesempatan.
"Bro, selamat ulang tahun!" sapa Fadi ceria sembari menepuk bahu kakak sepupunya.
Lauritz tersenyum menyambut ucapan selamat dari Fadi. "Makasih."
"Gue dengar katanya tadi siang lo habis ngamuk di Secret?" tanya Fadi geli. Lauritz dan temperamennya memang sudah sangat terkenal.
Lauritz menggeleng tidak percaya. "Berita buruk emang selalu cepat menyebar."
"Gara-gara apa lagi kali ini?"
"Biasalah," sahut Lauritz tanpa minat. Secret adalah perusahaan parfum yang Lauritz dirikan sejak tiga tahun lalu, ketika usianya baru menginjak 24 tahun. Bukan tanpa alasan Lauritz merintisnya. Selain memanfaatkan ketenarannya dalam menciptakan ladang bisnis lain, Lauritz juga memiliki tujuan tersendiri, yaitu menemukan satu aroma dari masa lalu yang sangat dia rindukan.
Selama tujuh tahun, Lauritz sudah mencoba membeli semua jenis parfum dari berbagai belahan dunia. Namun, dia belum berhasil menemukan aroma yang sangat dia rindukan itu. Lelah dengan pencarian yang sia-sia itu, Lauritz memutuskan untuk mencoba menciptakannya sendiri.
Fadi menatap kakak sepupunya dengan iba. "Masih belum berhasil dapat formula yang tepat?"
"Kalau udah dapat, enggak mungkin gue ngamuk, 'kan?" sahut Lauritz skeptis. "Udah tiga tahun mereka riset, tapi belum juga berhasil. Gimana gue enggak kesal coba?"
"Wajar sih lo marah.” Fadi mengangguk setuju. “Lo udah keluar dana gede banget pastinya."
"Udahlah, enggak usah dibahas lagi." Lauritz menggeleng malas. Kemudian, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu. Sosok gadis dengan aroma yang mengingatkannya akan masa lalu. Lauritz baru sadar jika gadis itu adalah pendamping yang Fadi bawa malam ini. "Di, siapa cewek yang datang bareng lo?"
"Pacar gue,” jawab Fadi bangga. “Kenapa?"
"Udah berapa lama kalian pacaran?"
"Hampir setahun kalau enggak salah." Tepatnya berapa lama Fadi tidak ingat karena jujur saja hal itu tidak penting baginya.
"Lo serius sama dia?"
"Enggak sih.” Fadi menggeleng santai. “Sebenarnya gue udah mulai bosan."
"Pekerjaannya apa?"
Sampai di sini, Fadi mulai merasa heran melihat sepupunya begitu tertarik bertanya-tanya soal Yuta. Namun, mengingat betapa akrabnya mereka selama ini, Fadi menjawab dengan sukarela, "Dia model. Satu agensi sama gue."
"Rasanya gue belum pernah lihat dia,” gumam Lauritz heran.
"Anak baru. Masih jauh dari terkenal."
Lauritz mengangguk paham. "Pasti enggak punya bekingan."
Fadi mencibir geli. "Emang."
"Kenapa enggak cari orang yang mau sponsorin dia?” Sekali lihat saja Lauritz punya firasat jika gadis tadi bisa terkenal. “Kelihatannya cukup potensial. Masih muda juga."
"Emang masih muda, baru mau 20 tahun umurnya, tapi boro-boro cari bekingan. Sebelum jadi model, dia itu kerja sebagai SPG. Kerja cuma buat nyambung hidup. Enggak ada kepikiran buat jadi terkenal."
Di awal perkenalannya dengan Yuta, Fadi merasa kagum akan semangat dan kegigihan gadis yang usianya terpaut empat tahun lebih muda itu. Dan yang terutama, kemolekannya membuat Fadi silau. Namun, lama-lama Fadi mulai bosan. Selain karena Yuta tidak bisa diajak macam-macam, pada dasarnya Fadi memang bukan tipe laki-laki yang bisa setia. Dia mudah bosan dan rasa sukanya cepat beralih.
Lauritz langsung bisa menebak maksud Fadi. "Dari keluarga susah?"
Fadi mengangguk pelan. "Dia kerja karena keluarganya enggak bisa biayain dia kuliah."
"Keluarganya di mana?"
"Duh, gue enggak terlalu ingat,” balas Fadi dengan nada tidak peduli. “Ciranjang, Cikijang, Cihanjuang, Cirangrang, atau apalah itu namanya. Pokoknya desa di dekat Lembang gitulah."
"Dia jarang ketemu keluarganya?"
"Bukannya jarang lagi.” Fadi mendengkus geli. “Selama pacaran sama gue, belum pernah sekali juga ketemu sama keluarganya."
Merasa sudah cukup mengorek banyak keterangan seputar gadis itu, Lauritz baru mengutarakan tujuannya. "Kalau gitu, boleh gue pinjam pacar lo buat malam ini?"
Fadi mendelik kaget. "Eh, kenapa tiba-tiba jadi ke situ?"
"Boleh enggak?” tanya Lauritz santai. “Lo udah bosan juga, 'kan?"
"Iya sih." Fadi mengangguk ragu. Namun, apa dia bisa setega itu menyodorkan kekasihnya sendiri ke tangan lelaki lain?
"Selain bosan, enggak menguntungkan juga kayaknya. Benar enggak?" ujar Lauritz lagi.
Fadi meringis serba salah. "Yah, begitulah."
"Jadi, enggak masalah dong?" Lauritz sangat mengenal Fadi dengan baik. Adik sepupu yang terpaut tiga tahun dengannya ini tidak pernah serius menjalani hidup. Bagi Fadi, hidup hanya untuk bersenang-senang. Jadi, jika sesuatu tidak membawa kesenangan baginya, pasti akan Fadi singkirkan.
Fadi menggeleng pasrah. "Kebiasaan lo masih juga enggak berubah, Mas."
"Boleh enggak?" desak Lauritz tidak sabar.
"Kali ini apa yang bikin lo tertarik?" ujar Fadi penasaran.
"Posturnya sesuai standar."
"Udah banyak banget cewek dengan postur sempurna yang sesuai standar lo, tapi enggak juga cocok.” Lagi-lagi Fadi menggeleng. “Masih belum bosan juga?"
Jika Fadi terkenal sering berganti kekasih, Lauritz lebih tinggi lagi levelnya. Fadi mungkin bisa berganti kekasih dua sampai tiga perempuan dalam setahun, sementara Lauritz akan membawa perempuan berbeda hampir setiap minggu. Tidak tanggung-tanggung pula yang dibawanya. Semua perempuan itu pasti bertubuh indah, tinggi semampai bak model. Jika tubuhnya tidak mencapai 170 cm, Lauritz pasti abaikan. Itu pula salah satu alasan Lauritz langsung tertarik dengan Yuta, selain aromanya, postur gadis itu pun sempurna.
"Belum," jawab Lauritz tanpa malu-malu. "Gimana? Lo juga udah enggak tertarik, 'kan? Lagian kalau enggak cocok, besok gue balikin lagi."
"Parah lo!" desis Fadi tidak percaya. Sekacau ini memang kakak sepupunya.
"Ingat utang lo sama gue, Di.” Tiba-tiba saja Lauritz memainkan kartu lain untuk menyudutkan Fadi. “Kalau lo kasih pinjam dia malam ini, gue bisa berlagak lupa sama utang lo."
Mata Fadi langsung berbinar. Utangnya kepada Lauritz memang sangat banyak. Maklum saja, dia selalu berfoya-foya. Uang hasil kerjanya tidak pernah terkumpul, malah selalu kurang. Dan Lauritz selalu ada untuk membantunya.
Namun, alih-alih langsung mengiakan, Fadi malah menawar dahulu. "Anggap lunas aja bisa enggak?"
"Lihat dulu malam ini.” Lauritz mendengkus geli. “Kalau cocok, utang lo bukan cuma gue anggap lupa, tapi bisa gue kasih lunas. Mau pinjam lagi juga gue kasih."
Mata Fadi makin berbinar-binar. "Serius nih?"
"Mau enggak?" desak Lauritz mulai jengkel.
"Lo buka kamar malam ini?"
Lauritz langsung mengangguk.
"Nanti gue antar dia ke kamar lo," bisik Fadi licik.