Rindu Cinta Sang Mama

1681 Kata
“Aku pulang dulu, ya,” ucap Rakyan. Sebelum pergi meninggalkan rumah Ashana, seperti biasanya, Rakyan selalu membubuhkan satu kecupan di kening Ashana. “Kamu istirahat, ya. Nanti aku telepon kamu setelah sampe rumah.” Ashana mengangguk. Tangannya tak kunjung melepaskan lilitan di pinggang berisi milik Rakyan. Tubuh Rakyan memang terbilang nyaman untuk dipeluk. Rakyan yang menyadarinya hanya bisa tersenyum dan kembali mengecupi kening Ashana. “Pulangnya nanti aja, sih,” pinta Ashana. “Kamu pulang kemana, Bie? Ke rumah atau ke apartemen?” “Ke rumah. Ke apartemen kan kalo sama kamu,” ucap Rakyan dengan nada jahil. Rakyan mencubit pelan ujung hidung mancung milik Ashana. Apartemen memang rumah yang sebenarnya rumah bagi Rakyan. Di sana, Rakyan lebih merasa nyaman ketimbang di rumahnya sendiri. “Ih, kamu nakal banget. Bie, aku cek pengaman di laci udah mulai habis. Kamu jangan lupa beli, ya,” pesan Ashana. Rakyan mengangguk. “Yaudah. Kamu hati-hati di jalan ya, Bie.” Ashana masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil yang dikendarai Rakyan sudah benar-benar melesat dan hilang di kejauhan. Ashana masuk ke dalam rumah dan segera menaiki tangga menuju lantai atas. Sejak pulang tadi, Ashana memang belum sempat mandi dan membersihkan diri. Ashana segera masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Membersihkan seluruh tubuh dari lengketnya keringat setelah seharian bekerja meliput berita di lapangan. Kebetulan hari ini Ashana mendapat jatah liputan berita di lapangan. Itu kenapa pekerjaannya lebih cepat selesai. Ashana memulai kariernya sebagai seorang pembaca berita di salah satu stasiun TV swasta terbesar di Indonesia sejak tiga tahun yang lalu. Kariernya memang terbilang cemerlang. Ashana juga sering didapuk sebagai pembawa acara debat politik dan dia juga dipercaya untuk memimpin acaranya sendiri. Selesai mandi, pandangan Ashana tertuju pada sebuah benda pipih yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Benda itu bersinar dan seiring dengan lagu latar yang terus berdering. Ada nama Rakyan di layarnya. “Hallo, Bie. Kamu udah sampe rumah?” “Udah. Baru banget sampe. Ini masih di dalem mobil. Kamu lagi apa?” tanya Rakyan. “Aku baru selesai mandi.” “Aku kangen kamu, nih.” “Gombal banget kamu. Baru juga kita ketemu.” “Kangen main-main sama kamu, Yang.” “Libur dulu, Bie. Aku lagi dapet. Baru keluar tadi, Bie.” “Yah.” Terdengar nada kecewa saat Rakyan mengucapkan kata itu. Mau tak mau, Rakyan memang harus menahan hasratnya selama beberapa hari ke depan untuk tak menjamah bagian terpenting di diri Ashana. “Hampa, deh.” “Sabar dong, Bie. Aku malah ketar-ketir karena jadwalnya mundur. Aku takut karena waktu itu kita main nggak pake pengaman.” “Yaudah. Aku mau masuk dulu, ya. Kamu langsung istirahat aja. Besok ada jadwal nggak?” “Ada, Bie. Tapi malam. Aku siaran malam. Aku gantiin Robby. Kenapa, Bie?” tanya Ashana. “Besok aku jemput, ya. Pulangnya, kita ngopi. Mau nggak?” “Eh, jangan ngopi. Nggak mau, ah! Aku ada siaran paginya. “Yaudah, ketemunya lusa aja, ya. Setelah kamu siaran pagi. Gimana?” “Iya. Mending begitu, Bie.” *** Setelah memutuskan sambungan telepon dengan kekasih, Rakyan segera turun dari mobil dan bersiap masuk ke dalam rumah. Gelak tawa terdengar dari ruang makan. Rakyan berjalan menghampiri sumber suara. Di sana, Rakyan menyaksikan kebersamaan keluarganya. Mereka tampak begitu bahagia, meski tanpa dirinya. Merasa tersingkir, Rakyan lebih memilih untuk masuk ke kamarnya. Tapi, panggilan sang Kakak menghentikan langkahnya. “Kian, udah pulang?” ucap Arkana. Rakyan berbalik dan mengangguk. “Makan dulu. Baru naik ke kamar. Mama masak enak banget. Sini, Kian!” “Iya, Mas.” Rakyan menurut perintah Arkan. Mengambil duduk di sebelah sang Adik, Rasendra, Rakyan mulai mengisi piringnya dengan beberapa centong nasi putih. Tangannya beralih mencoba untuk menggapai piring berisikan ayam bacem goreng buatan sang Ibu, tapi gerakan tangan Yulia lebih cepat. Yulia menggeser piring itu mendekat ke arahnya. Rakyan terpaksa menelan ludah. Tangannya bergeser untuk menyiduk sayur lodeh. “Mama, kasih Kian ayam bacemnya. Itu kan makanan kesukaan Kian,” ucap Prayoga, namun Yulia tak juga melakukan perintah Prayoga. Sadar Yulia tak kunjung menuruti perkataannya, Prayoga mengambil sepotong ayam bacem goreng dan meletakkannya di atas piring nasi Rakyan. “Dimakan ya, Kian. Papa tau kamu suka ayam goreng bacem buatan Mama.” “Makasih ya, Pa.” Rakyan menerima ayam bacem goreng permberian Prayoga dengan senang. Prayoga benar. Rakyan memang sangat menyukai masakan sang Ibu, tapi dia harus memendam itu semua di dalam hati. Toh, tak akan ada gunanya juga untuknya sang Ibu mengetahui apa-apa saja yang disuka dan tidak disukanya. Selama ini, ibunya hanya peduli pada dua saudaranya. “Ayamnya enak, Ma. Mama nggak pernah gagal setiap kali masak ini.” Pujian yang baru saja dilimpahkan Rakyan untuk Yulia sama sekali tak membuat Yulia bereaksi. Yulia malah menyibukkan diri dengan menyendokkan lauk-pauk ke piring suami dan anak bungsu mereka. “Ma, masakan Mama dibilang enak sama Mas Kian,” ucap Rasendra. “Ambilin capcay juga untuk Mas Kian, Ma.” Yulia mulai merasa berang dengan tingkah suami dan anak-anaknya. Dilepasnya sendok dan garpu yang ada di genggamannya. “Kalian kenapa ribet semua? Dia punya tangan. Biar dia ambil sendiri apa yang dia mau. Nggak usah ribet nyuruh Mama ambilin ini itu untuk dia,” ucap Yulia sambil megacungkan jari tunjuknya ke arah Rakian. “Dan kamu! Habiskan makanan kamu dan segera naik ke kamar!” “Ma! Jangan begitu. Kian anak Mama juga. Mama kenapa sih ahrus begitu sama dia?” tanya Arkana. “Kenapa perlakuan Mama ke Kian beda dengan perlakuan mama ke aku dan Rasen. Kami semua anak-anak Mama.” “Kamu nggak usah banyak omong, Arkan. Anak itu yang buat Papa kalian selingkuh dari Mama. Dia yang buat Papa kalian berpaling ke wanita lain,” sahut Yulia. “Yulia! Stop! Sudah berapa kali aku bilang ke kamu kalau aku nggak pernah selingkuh dari kamu!” bela Prayoga. “Terserah kamu, Mas. Apa namanya bukan selingkuh kalo sampe menghasilkan anak? Sampe detik ini pun aku nggak pernah tau siapa selingkuhan kamu, Mas.” Rakyan sadar keberadaannya di ruangan itu hanya menambah masalah. Seharusnya, dia tak mengiyakan permintaan Arkana. Seharusnya, dia hanya perlu langsung masuk ke kamarnya yanga da di lantai atas sepulangnya dari rumah Ashana. Rakyan bangkit dari duduknya tanpa menyelesaikan makan malamnya. “Kian, mau ke mana?” ucap Arkana. Arkana melihat piring Rakyan masih penuh dan hanya berkurang sedikit. “Makan dulu.” “Nggak, Mas. Lebih baik Gue ke kamar.” Rakyan memundurkan kursi dan bersiap untuk berdiri. “Aku minta maaf kalau keberadaanku di sini justru membuat keadaan semakin kacau. Selamat malam, semuanya.” “Kian! Mau ke mana kamu?” teriak Prayoga. “Makan dulu nasimu, Nak!” Rakyan terus berjalan tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Hatinya sungguh terasa teramat sakit. Selama hidupnya, dia sudah berkali-kali mendapat penolakan dari sang Ibu, tapi itu semua tak pernah membuatmya gentar. Rakyan selalu berharap kelak ibunya bisa menerimanya. Tapi, dengan apa yang baru saja terjadi semua asanya seakan kandas begitu saja. Rakyan memang seorang laki-laki, tapi buka berarti haram baginya untuk menangis. Rakyan menangis dalam diam. Langkahnya menuju kamar terasa teramat berat. Rumah memang tak pernah menjadi tempat ternyaman baginya. Rumah tak pernah membuatnya begitu menggebu untuk segera pulang. Semasa kecil, Rakyan juga tak merasa bahagia layaknya anak-anak lainnya. Rakyan besar di tangan pembantu, berbeda dengan kedua saudaranya yang dibesarkan dengan penuh cinta oleh sang Ibu. Bukan Yulia yang pergi ke sekolah untuk mengambil raport setiap akhir semester, tapi Rakyan harus rela bahwa Bude Darsih lah yang menggantikan peran sang Ibu. Jika dibilang pilih kasih, memang betul. Rakyan dianggap anak pembawa sial. Yulia tengah mengandung Rakyan saat Prayoga diduga menjalin kasih dengan wanita lain saat itu. Yulia selalu merasa karena dirinya tengah mengandung Rakyan lah suaminya bermain gila dengan wanita lain yang jauh lebih cantik darinya. Bahkan, setelah melahirkan pun Yulia tak pernah mau menyusui Rakyan kalau bukan karena paksaan dari Prayoga. Pintu kamarnya diketuk saat Rakyan tengan merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Dua saudaranya menampakkan diri dari balik pintu dan masuk menghampirinya. Rakyan sotak terbangun dan langsung menyandarkan diri di ujung tempat tidur. “Kirain udah tidur,” ucap Arkana. Rakyan menggeleng. Rakyan memang sudah mengenakan piyama tidurnya, tapi kejadian tadi tak membiarkannya untuk tidur lebih awal. Mau tak mau, ingatan masa lalu berputar kembali di benaknya. “Masih mikirin Mama?” “Nggak, Mas. Kalian kenapa ke sini? Gue nggak apa-apa, kok. Kalian nggak usah khawatir. Gue nggak mungkin ngelakuin hal yang nggak-nggak. Kalopun Gue ada niatan untuk ngelakuin hal yang nggak-nggak, itu udah dari dulu Gue lakui. Nggak perlu nunggu sampe sekarang.” “Mas, kami minta maaf. Kami udah coba untuk bikin Mama nggak begitu sama lo.” “Jangan terlalu dipikirin. Gue beneran nggak apa-apa, kok. Kalian tenang aja.” “Kian, tolong jangan pernah berpikir kalo lo sendirian di sini, ya. Ada gue, Rasen sama Papa. Mungkin, Mama emang nggak pernah nganggep lo ada di rumah ini. Tapi, gue, Rasen sama Papa nggak pernah menganggap begitu.” “Mas, gue mundur aja ya dari perusahaan,” ucap Rakyan. “Ini terlalu berat untuk gue, Maas.” “Kenapa? Lo masih mikirin Mama?” sahut Arkana. Rakyan mengangguk. “Lo tenang aja. Perusahaan bukan wilayah kekuasaan Mama. Itu sepenuhnya otoritas Papa. Penempatan lo di perusahaan juga sesuai dengan keputusan Papa. Kian, perusahaan butuh kita. Perusahaan butuh anak-anak Papa untuk ngejalanin semuanya.” “Gue nggak mau Mama semakin berpikiran yang nggak-nggak ke gue, Mas.” “Lo nggak usah mikirin masalah itu, ya. Semua anak-anak Papa punya hak yang sama. Gue, lo dan Rasen punya hak yang sama. Nggak ada yang beda. Sekarang, lo sama gue yang harus berjuang demi kemajuan perusahaan. Nanti, bakal tiba gilirannya Rasen untuk ikut kita berjuang sama-sama. Sekarang, biar Rasen fokus dulu sama kuliahnya sementara kita berjuang ya, Kian.” “Iya, Mas. Terima kasih untuk kalian semua karena kalian, gue ngerasa masih diinginkan di rumah ini.” Meskipun ayah dan dua saudaranya sangat menyayanginya, Rakyan tetap merasakan ada lubang besar yang bersemayam di hatinya. Lubang yang sejak dulu dibiarkan kosong. Rakyan tetap merindukan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah ia dapatkan sejak lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN