Persiapan Pernikahan

1642 Kata
Sayangnya pada sang Adik membuat Akbar hampir menghabisi nyawa Rakya. Laki-laki itu belum juga menyudahi upayanya membuat kekasih Ashana itu babak belur. Padahal, kini penampilan Rakyan sudah sangat kacau. Tiap kali Rakyan mencoba untuk bangkit, tiap kali pula Akbar membuatnya kembali tersungkur di lantai. Rakyan dihajar habis-habisan di ruang kerjanya. Akbar yang emosi tak perlu berpikir berulang kali untuk menghampiri laki-laki b******k macam si Rakyan itu. Hampir semua orang yang ada di lantai itu dibuat ketakutan. Tak ada satu pun yang berani melerai. Bahkan, Arkana pun tak memanggil petugas keamanan. Biarlah adiknya merasakan buah hasil perbuatannya. Sebagai seorang kakak, ia juga merasa kecewa. Sangat kecewa. “Bangun!” teriak Akbar dengan begitu menggelegar. Ia menatap malas ke arah laki-laki yang sudah menghamili adiknya. “Dasar pecundang! Lo tuh laki-laki! Mana harga diri lo? Bapak mana yang tega mau bunuh nyawa anaknya sendiri? Setan!” Rakyan terengah. Tenaganya sudah habis, padahal ia sama sekali tak melawan saat Akbar memukulinya. Lagipula, taka da gunanya melawan. Kemarahan membuat Akbar menjadi berkali lipat lebih kuat. “Mas, sudah,” pinta Ashana dengan suara yang bergetar. Sedari tadi air matanya sudah mengalir begitu banyak. Menyaksikan ayah anak-anaknya dihajar untuk kedua kalinya. “Sudah.” “Laki-laki kayak begini masih kamu bela? Mata kamu di mana, Shan? Dia sudah bikin kamu kayak begini!” “Kian bisa mati, Mas!” teriak Ashana. “Biar sekalian dia mati! Anak kamu juga nggak perlu punya bapak kayak dia.” Ashana menghampiri Rakyan yang sudah kepayahan. Dibantunya laki-;aki itu bersandar ke dinding. Wanita itu menatap pilu penampilan super kacau Rakyan. “Kamu nggak apa-apa kan, Bie?” ucap Ashana. Ia bernapas lega mengetahui respons Rakyan, meskipun hanya sebatas anggukkan. “Mana yang sakit?” Baru saja akan mengusap bercak darah di sudut bibir Rakyan, Akbar menarik tangan Ashana. “Kita pulang!” Tatapannya seketika beralih ke arah Rakyan. “Awas kalau sampai lo lari dari tanggung jawab lo!” Melewati tatapan penuh tanya orang-orang yang berdiri di kridor lantai, Ashana tak mampu menghindar. Semua menatap penuh tanya ke arahnya. Terlebih saat melihat ke arah perutnya yang mulai membuncit. Bisik-bisik yang langsung menilai pun berdengung pelan. “Oh, ternyata ini pacarnya Pak Rakyan..” “Pacarnya Pak Rakyan penyiar berita di TV itu?” “Ya ampun, ngeri banget pergaulan zaman sekarang. Tau-tau hamil begitu.” Ashana benar-benar pasrah. Apapun yang akan terjadi selanjutnya, ia serahkan pada Sang Pemilik Kehidupan. Yang ia inginkan saat ini hanyalah kebaikan untuk calon kedua anaknya. Itu saja. Hari itu, keputusan akhir yang didapat memang keduanya akan segera dinikahkan, Demi kebaikan bersama. Ashana bersyukur, setidaknya anak-anaknnya akan mempunyai status. Dan tak harus menanggung beban karena diolok-olok sebagai anak haram. Sedikit bebannya memang benar sudah berkurang. Ada kejelasan hubungan untuk ke depannya. Meskipun ia sama sekali tak tahu pernikahan macam apa yang nantinya akan dijalani bersama Rakyan. Pernikahan yang penuh akan cinta atau pernikahan dengan kebencian yang mengakar? Tak ada yang tahu. *** Ashana kembali menjalankan kewajibannya, bekerja. Beberapa hari mengambil cuti membuatnya cukup merindukan suasana studio dengan kru-kru di dalamnya. Di dalam hatinya ia membatin. Apakah setelah ia masih bisa terus bekerja di sini? Apa Rakyan akan memberinya izin untuk tetap bekerja? Seperti biasanya, berangkat subuh-subuh dan harus dirias lebih dulu sebelum on cam. Ia sudah tak semalas sebelumnya. Sekarang, sudah jauh lebih segar. “Mbak, bajunya dipakai dulu,” ucap Citra. Wanita itu sudah menyiapkan satu pasang pakaian yang harus dikenakan Ashana pagi ini. “Sini saya bantu.” Hanya ada mereka di ruang ganti. Biasanya, Ashana akan melakukanya sendiri. Namun, ada detail rumit di pakaiannya kali ini, dan ia harus dibantu Citra untuk melakukannya. Dengan ragu ia meloloskan semua pakaiannya. Perutnya akan terlihta. Namun, mau bagaimana lagi? Rasa-rasanya, ia sudah tak bisa lagi menyembunyikannya. “Pelan-pelan ya, Mbak,” pesan Ashana. Wanita itu mengusap bagian perutnya. “Roknya muat nggak ya kira-kira.” Melihat ukuran perut Ashana, Citra tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sebagai respons, ia hanya bisa terdiam sambil mengerjakan apa yang memang harus dikerjakannya. Sebenarnya, sudah lama ia memang merasa ada yang aneh pada Ashana. Bekerja bersama membuatnya mengenal bagaimana seorang Ashana Aimara. Keanehan-keanehan itu begitu mendekati dengan gejala-gejala kehamilan yang juga dirasanya. Namun, saat itu ia tak berani dengan mudah mengambil keputusan. “Mbak, tolong rahasiakan dari yang lain,” bisik Ashana. Citra yang paham pun segera mengangguk mengiyakan. “Saya belum siap untuk semuanya. Ini ... memalukan.” Mendengar itu, Citra turut merasa sedih. Ia yakin kehamilan itu jelas bukan kehamilan yang diinginkan, seperti layaknya kehamilannya yang selalu dinantikan dirinya dan sang suami. Ashana belum menikah. Keadaan ini bisa jadi akan membuat kariernya hancur begitu saja. “Sama sekali nggak memalukan, Mbak. Kehadiran anak itu berkah untuk orang tua, terlepas bagaimana mereka bisa hadir di rahim kita. Mulai sekarang, Mbak harus bisa berpikir positif. Janin di dalam kandungan bisa mendengar apa yang ibunya bilang. Dia bakal sedih kalau sampai kehadirannya dibilang hal yang memalukan.” Ashana terdiam, lalu kemudian mengangguk lemah. Benar apa yang dikatakan Citra. Ia memang sudah bisa menerima keadaan ini. Namun, kadang tiap kali pikiran buruk muncul, sulit rasanya untuk berpikir positif. “Syukurlah, roknya muat. Semoga Mbak nyaman selama pakainya. Insha Allah nggak akan membahayakan Si Kecil,” ucap Citra seraya mengusap perut Ashana. “Semoga dia selalu sehat ya, Mbak/.” “Mereka, Mbakm” sahut Ashana segera. Citra pun segera melongo. “Iya. Mereka. Ada dua bayi di dalam sini.” “Masha Allah. Alhamdulillah. Berkah luar biasa, Mbak. Saya ikut bantu mendoakan, ya. Semoga semua selalu berjalan baik. Semoga semua dilancarkan.” “Terima kasih banyak, Mbak Citra. Sekali lagi, tolong rahasiakan dari yang lain. Meskipun nanti juga semuanya bakal tau, seenggaknya ditahan dulu untuk sekarang. Kami—saya dan pacar saya sedang mempersiapkan pernikahan.” “Mbak tenang aja. Saya akan jaga berita ini dari semuanya. Sekali lagi, selamat ya, Mbak. Mbak harus jaga kesehatan.” *** Saat ini, rumahnya sudah dipenuhi beberapa kerabat. Lusa akan menjadi hari di mana Rakyan akan memenuhi janji untuk menikahinya. Namun, sebelumnya ada hal berat yang harus Ashana lewati seorang diri. Jika sudah begini, memang biasanya perempuan lah yang menanggung akibatnya. Apalagi saat perutnya sudah tampak, di saat itu pula orang-orang akan mulai berlomba-lomba mengeluarkan pendapat. Ashana tak bisa menghindar. Mereka adalah bagian dari keluarga besarnya. Pernikahan memang tak akan digelar dengan mewah, tapi setidaknya perlu juga mengundang saudara-saudara dari pihak papa dan mamanya. “Sudah kejadian. Mau bagaimana lagi. Kalau seandainya kamu berpikir dulus ebelum bertindak, mungkin nggak akan serumit ini masalahnya, Shan,” ujar Budhe Ana—kakak papanya. “Kariermu lagi bagus-bagusnya. Apa nggak sayang nantinya?” “Budhemu benar, Shan,” timpal Tante Tutik. “Pergaulan anak muda zaman sekarang memang menyeramkan. Itu kenapa aku selalu wanti-wanti anak-anak setiap kali jalan sama pacar mereka. Aku nggak mau kalau sampai kejadian kayak begini terjadi sama mereka.” Ashana menghela napas. Tangannya merngepal kuat. Hatinya tertekan. Mau menyingkir pun rasanya tak bisa. Akan dinilai tidak sopan nantinya. Untuk acara ini, Ashana terpaksa kembali mengajukan cuti. Ia datang menghadap sang pimpinan, menceritakan semuanya dan memohon untuk merahasiakan dari yang lain. Beruntung sang pimpinan menyetujui dan meloloskan permohonan izin yang diajukannya. Ashana hanya diminta untuk kembali bekerja setelah semua selesai karena sudah terikat kontrak untuk mengampu sebuah acara yang dirancang sejak lama. “Kamu harus ingat soal project acara kita selanjutnya. Kita nggak mungkin ganti host karena survey sudah setuju kamu yang bawain. Soal kehamilan kamu, nanti bisa kita atur. Hal kayak begini sudah sering terjai di kalangan entertainer, kan? Saat mereka tau, mereka nggak akan memepermasalahkan apalagi setelah kamu menikah nantinya. Kamu tenang saja, ya.” Begitulah ucapan pimpinannya. Setidaknya, Ashana sudah tahu kalau kariernya terjamin. Ia tidak akan dipecat karena kasusnya. Lusa adalah pernikahannya, tapi ia dan Rakyan belum juga menjalin kembali komunikasi. Ashana tak mau mengganggu laki-laki itu. Ia takut akan mengganggu dan berarkhir buruk nantinya. Ia takut Rakyan akan berubah pikiran dan membatalkan pernikahan. Laki-laki itu bisa saja kabur ke suatu tempat, kan? Ashana tak menginginkan itu sampai terjadi. “Masuk kamar, terus istirahat.” Minati mengamati raut wajah sang putri yang sudah terlihat mulai tertekan. Meskipun dirinya begitu kecewa, Ashana tetap anaknya. Tak akan merubah keadaan sama sekali, walaupun nama baik kelaurga sudah tercoreng. “Nanti makanaannya Mama antar ke kamar.” Ashana menurut. Ia pun segera naik ke lantai atas. Wanita itu memeriksa ponselnya. Sama sekali tak ada notifikasi apapun. Hampa. Dalam dua hari ke depan, statusnya akan berubah. Ia akan menjadi seorang istri dari laki-laki yang amat dicintainya. Sama sekali tak ada perbincangan akan tinggal di mana setelah menikah nantinya. Tinggal di rumah orang tuanya, di rumah orang tua Rakyan atau di apartemen. Namun, lagi-lagi overthinking melanda. Kemungkinan tinggal terpisah juga bsia saja terjadi. Dirinya tetap tinggal di rumah orang tuanya, sementara Rakyan tinggal di rumah orang tuanya ataupun di apartemennya. Pintu kamarnya diketuk. Itu Minati. Wanita itu masuk membawakan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Ashana diminta untuk segera menghabiskan makanannya dan segera istirahat. “Resikonya memang berat, Dek. Kamu harus tahan,” ucap Minati. “Iya, Ma. Aku tau. Apa yang Budhe Ana dan Tante Tutik bilang juga semuanya benar.” “Sudahlah. Toh semuanya sudah terjadi. Sudah ada bayi di perut kamu. Sebentar lagi dia lahir.” Ashana belum memberitahukan kalau ada dua janin yang bersemayam di rahimnya pada keluarganya. “Ma, ada dua bayi di perutku,” lapor Ashana. Minati pun dibuat begitu terkejut. Ashana mengangguk. “Bayinya kembar. Cucu Mama ada dua.” “Ya Allah. Mama nggak tau harus bilang apa. Mama senang dengarnya, Dek. Pantas perut kamu jauh lebih besar dari ibu hamil biasanya. Kian tau kalau kalian punya anak kembar?” “Nggak, Ma. Kian sama sekali nggak mau tau. Dia mau tanggung jawab aja sudah bagus, Ma.” “Tapi, dia harus tau. Bagaimana pun juga itu anak-anaknya dia.” “Nanti, Ma. Nanti dia juga akan tau. Entah bagaimana caranya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN