Keinginan banyak wanita ketika sudah menjadi seorang istri adalah melihat suami saat bangun tidur. Namun, hal itu sungguh tak berlaku bagi Ashana. Bukan Rakyan yang dilihatnya saat kedua matanya terbuka. Bahkan, ia sendiri tak tahu ke mana perginya laki-laki itu. Ia ditinggal sendirian—seorang diri di kamarnya.
Wanita itu menghela napasnya. Sepertinya anggapan kalau bebannya berkurang itu hanyalah omong kosong belaka. Bebannya justru bertambah. Dibenci suami sendiri. Ternyata rasanya sakit. Sangat.
Ashana turun ke lantai bawah, ruang makan. Ternyata suaminya ada di sana bersama dengan anggota keluarganya yang lain. Wanita itu dibuat kaget saat tiba-tiba Rakyan menghampirinya, menggandengnya bahkan menyiapkan kursi untuknya.
“Aku baru mau bangunin kamu. Eh, kamunya sudah turun duluan,” ucap Ashana.
Ada apa ini sebenarnya? Semalam, bahkan laki-laki itu sama sekali tak mau tidur seranjang dengannya. Lalu, apa maksud semua ini? Kenapa Rakyan justru memperlakukannya seolah-olah istri paling disayang di seluruh dunia?
Ashana tak bisa berbuat apa-apa sama sekali. Laki-laki itu mengisi piringnya dengan dua centong nasi goreng dan satu telur ceplok. Bahkan, suaminya itu juga tak lupa menuangkan jus jeruk kemasan literan ke dalam gelasnya.
“Makan dulu,” ucap Rakyan lembut. Seketika, Ashana dibuat merinding. Bulu kuduknya berdiri sebagian. Rakyan sungguh menakutkan. Bagaimana bisa laki-laki itu berubah secepat ini dalam semalam? Gila! “Kamu sedang hamil. Harus banyak makan makanan yang sehat dan bergizi.”
Sepertinya semua orang yang tengah menyaksikan drama pagi ini turut terbawa suasana. Ashana hanya bisa menikmati sarapannya dalam diam. Sulit rasanya untuk menelan makanannya.
“Makanannya nggak enak, Dek?” tanya Minati. Ashana menanggapinya dengan gelengan. “Kok kayaknya kamu nggak semangat banget makannya. Mau makan yang lain? Biar Mama buatin duu.”
“Kamu mau makan apa, Sayang?” tanya Rakyan yang anehnya membuat Ashana semakin takut. Wanita itu mengangguk. Tatapan kedua netra sang suami terasa begitu menusuk. Satu tangan laki-laki itu terulur mengusap perutnya. “Anak Papa mau makan apa?”
“Ng—nggak usah. Aku nggak mau makan apa-apa. Ini aja sudah cukup,” sahut Ashana. Ia pun kembali menyuap makanannya, mengunyah dan berusaha menelan meskipun rasanya amat sulit.
“Papa senang karena akhirnya Kian mau tanggung jawab. Apa yang terjadi sebelumnya adalah wujud bagaimana orang tua akan melakukan apapun untuk anak-anak mereka,” ucap Hendrawan membuka suara. “Papa harap kalian bisa selalu rukun. Kalaupun ada masalah rumah tangga, itu hal yang biasa. Semua rumah tangga mengalami itu. Semoga Kian bisa jadi sosok suami yang baik, mendidik Shana sekaligus ayah yang baik untuk anak kalian.”
“Amin, Pa. Amin.” Ucapan Rakyan mengamini doa dan harapan sang papa mertua.
Ashana menyelesaikan makannya dengan baik. Tak ada drama mual muntah, untungnya. Wanita itu membantu mamanya membereskan piring-piring kotor dan menaruhnya di dapur. Setelahnya, ia kembali memutuskan untuk ke kamarnya di lantai dua.
Wanita itu kaget saat mendapati sang suami sudah berada di kamar. Ashana kikuk bukan main. Apa yang harus dilakukannya? Ia pun berniat untuk keluar dan meninggalkan kamar.
“Mau ke mana kamu?” tegur Rakyan.
“A—anu, mau ke—“ jawabnya terbata. “A—aku mau—“
“Sini!” perintah sang suami. Ke mana sosok lembut yang setengah jam lalu ditemuinya di ruang makan, menyiapkan makanan untuknya bahkan mengusap lembut perutnya? Ke mana? “Kamu nggak dengar aku minta kamu ke sini?”
‘”I—iya, Bie. Sebentar.”
Wanita itu duduk di kursi meja dandan, sementara Rakyan duduk bersila di atas tempat tidur. Laki-laki itu tak kunjung memulai perbincangan. Ia hanya menatap sang istri dengan tatapan tajamnya yang menghunus hingga ke jantung.
“Kamu jangan kesenangan dulu. Apa yang aku lakukan waktu sarapan tadi itu hanya untuk menjaga harga diriku di depan keluarga kamu.”
Ya Tuhan. Benar dugaan Ashana. Sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. Konyol rasanya laki-laki itu berubah dalam waktu semalaman.
“Apa yang aku lakukan ke kamu sama sekali nggak akan merubah keputusan. Aku hanya bertanggung jawab atas bayi sialan itu!”
“Bie, tolong jangan bilang begitu ke anak kita,” pinta Ashana memelas. “Aku mohon. Kamu boleh benci aku, tapi jangan benci anak kita. Dia sama sekali nggak salah apa-apa. Aku mohon, ya.”
“Dia yang buat aku kehilangan kamu! Karena nyatanya kamu lebih milih dia ketimbang aku. Iya, kan? Seharusnya kamu puas sama keputusan kamu. Untuk apa kamu masih minta aku tanggung jawab?”
“Bie, aku mohon. Sudah, ya. Kamu nggak kehilangan aku sama sekali, Bie. Serius. Aku tetap milik kamu.”
“Nggak. Bahkan, sekarang aku jijik lihat kamu.” Tatapan merendahkan diarahkan pada Ashana.
“Terserah kamu mau bilang apa, Bie. Aku terima. Kamu bisa hina aku sepuas kamu, tapi jangan hina anak kita. Aku mohon. Kamu mau perlakukan aku sesuka kamu pun aku bakal terima. Aku nggak akan ngadu ke Papa dan Mama. Aku janji. Mereka nggak perlu tau apa yang terjadi di pernikahan kita.”
“Kita akan cerai setelah anak itu lahir.”
“Bie,” sahut Ashana dengan nada yang terdengar begitu pasrah. “Aku mohon. Anak ini tetap butuh ayah dan ibunya. Aku mohon, Bie.”
“Aku sudah melakukan tanggung jawabku. Nikah sama kamu. Selesai, kan? Kamu urus anak itu sendiri. Itu kan mau kamu?”
“Baik kalau memang itu yang kamu mau.”
***
Ternyata kabar berita pernikahan Ashana dan Rakyan sudah menyebar di media. Beberapa dari mereka menyebar berbagai macam spekulasi, yang sayangnya benar semua. Keduanya tak bisa menghindar. Tak ada jalan untuk sembunyi. Satu-satunya jalan ya tinggal menghadapi.
Ashana kembali bekerja setelah cutinya habis. Beberapa rekan mengucapkan selamat atas pernikahannya. Mereka tak menyangka kalau dirinya menikah dengan seorang Rakyan, yang notabenenya salah satu anak pengusaha terkenal di Indonesia. Ada yang senang, maka pasti ada juga yang tidak senang.
Ashana didapuk menjadi pembawa acara di sebuah acara bincang-bincang santai yang setiap episodenya direncanakan akan mengundang pakar-pakar yang hebat dalam bidangnya. Mereka yang bertentangan dengan keputusan pimpinan meminta agar Ashana diberhentikan dari acara itu dan menggantikan posisinya dengan penyiar lain.
“Survey sudah menyetujui kalau Shana yang bawa Talking with Masters. Kita nggak bisa seenaknya ganti pembawa acara,” ucap Pak Tobias selaku pimpinan Talking with Experts. Image Ashana yang terkesan santai, tapi tetap sopan dinilai sesuai dengan konsep acara itu. “Shana sudah menikah. Sudah nggak ada masalah lagi yang harus dipermasalahkan, kan? Dia sudah ada suaminya, kok.”
“Kenapa sih Bapak membela Ashana? Image kantor kita bisa jelek kalau sumber daya manusianya kayak dia, Pak. Ashana pernah ikut debat tentang s*x bebas. Eh, tenyata sendirinya pelaku s*x bebas.”
Ashana bagai sedang dipojokkan. Selain sebagai seorang penyiar, ia memang aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Di antaranya pernah terlibat dalam sebuah debat yang membahas tentang bahaya s*x bebas dan pelecehan seksual. Rasanya ibarat seorang pecundang.
“Pak, kalau saya mau diganti, silakan. Saya nggak keberatan. Saya juga nggak mau dianggap menyusahkan perusahaa.” Ashana pasrah. Ia rela melepas pekerjaan penting itu, ketimbang harus benar-benar kehilangan pekerjaannya. “Silakan diganti, Pak.”
“Nggak, Shan. Saya hanya menjalankan apa yang sudah disepakati. Kamu dipilih sama penonton kita. Rapat kita selesai. Ashana tetap akan jadi pembawa acara Talking with Experts.”
Ashana merasa sangat tak enak hati. Ia takut dianggap dianakemaskan oleh perusahaan. Namun, keputusan sudah dibuat dan harus dijalankan. Ia harus menjalankan tugasnya.
“Program pagi tetap kamu, ya,” ucap Pak Tobias. Beliau adalah bosa Pak Andreas. Kedudukannya lebih tinggi dari Pak Andreas. Ashana mengangguk. “Jaga kesehatan kamu. Komunikasi dengan orang wardrobe untuk cari baju-baju yang sesuai dengan size kamu.”
“Baik, Pak.”
***
Selama seminggu ini, pasangan pengantin baru itu masih tinggal di rumah orang tua Ashana. Sama sekali tak ada pembahasan di antara dirinya dan sang suami perihal tempat tinggal selanjutnya. Kemungkinan besar mereka akan menetap dan tinggal bersama dengan orang tuanya.
Namun, sepulangnya dari bekerja, wanita itu dibuat kaget. Suaminya sedang terlibat perbincangan yang namoaknya lumayan serius. Hendrawan meminta putrinya untuk bergabung.
“Sini dulu, Dek. Ada yang mau Papa bicarakan.”
“Ada apa, Pa?”
“Kian barusan bilang kalau dia mau bawa kamu tinggal di apartemennya,” ucap Hendrawan. Tiba-tiba, Ashana dibuat terdiam. Tinggal di apartemen berarti semakin mendekatkan diri dengan pintu neraka. “Kamu mau, kan? Kian bilang mau hidup mandiri. Kalian berdua sudah bicara sebelumnya soal ini, kan?”
Ashana bingung harus menjawab apa karena sama sekali belum ada pembahasan apapun. Ia melirik ke arah di mana sang suami duduk. Rakyan menganggukkan kepalanya, seakan memintanya untuk menjawab ya.
“I—iya, Pa. Aku sama Kian sudah ngobrol soal ini, kok. Aku nurut aja mau dibawa tinggal di mana. Sudah kewajiban istri ikut ke manapun suami pergi, kan?”
“Ya sudah. Kalau gitu, Papa dan Mama kasih restu ke kalian berdua. Kalian bisa mulai siap-siap untuk kepindahan ke apartemen. Kalau ada yang kalian butuhkan, jangan sungkan bilang ke Papa dan Mama. Kalian juga harus sering-sering main ke sini. Apalagi beberapa bulan lagi kamu lahiran, pasti butuh orang yang bantuin untuk rawat bayi. Kamu bisa tinggal sementara di sini.”
“Iya, Pa,” sahut Ashana.
“Kian bilang kemungkinan besar kalian pindah ke apartemen lusa,” ucap Minati. Kedua mata Ashana langsung membola. “Kamu bisa mulai cicil untuk beres-beres, Dek.”
“Nanti aku bantu kamu beres-beres. Kamu nggak boleh terlalu capek, kan?” ucap Rakyan. Ashana hanya mengangguk. “Aku sudah suruh orang rapihkan apartemen. Semuanya sudah beres, tinggal kita ke sana aja.”
“I—iya, Bie. Iya.”
“Kalau kamu bosan di sana, kita bisa nginap di sini temani Papa dan Mama. Kamu nggak usah khawatir.”
Ashana dan Rakyan masuk ke kamar. Suasana dingin mulai kembali tercipta. Asha naik ke kursi untuk menjangkau koper yang ada di atas lemari. Ternyata masih tidak bisa dijangkau.
“Bie, bisa bantu aku ambil koper?” tanyanya.
“Kamu ambil sendiri.”