Karena Tanpa Pengaman

1373 Kata
“Aku paling nggak suka kalau kamu ngomong kayak tadi,” rengek Ashana manjad di lengan sang kekasih. Ronde tambahan yang abru saja selesai pun sama sekali tak menghadirkan kesan. Berlalu begitu saja. “Janji dong jangan begitu.” “Iya. Aku minta maaf.” Dikecupnya puncak kepala Ashana. Laki-laki itu menarik selimut agar menutupi tubuh keduanya. Masih ada beberapa jam lagi untuk beristirahat sebelum mengantar kekasihnya pulang. “Kita tidur dulu. Aku antar kamu pulang.” Setelah beristirahat semala dua jam, waktunya untuk pulang. Wanita itu segera mengenakan kembali pakaiannya yang tercecer di lantai. Ia mematut tubuh di depan cermin. Kalung pemberian Rakyan menggantung indah di lehernya yang jenjang. Rakyan kerap memanjakannya dengan hadiah-hadiah mahal. Ia kerap kali melayangkan protes, mengatakan pada laki-laki itu untuk berhenti membeli barang-barang mahal, tapi sia-sia. Apapun yang Rakyan mau, pasti terwujud. Ashana mengerjap melihat lantai. Biasanya, setia selesai bermain akan ada bungkusan pengaman berserakan di lantai. Namun, kali ini sama sekali tak ada. Mungkinkah laki-laki itu lupa menggunakannya? Ia memeriksa tempat sampah yang ada di kamar dan dapur. Sama sekali tak ditemukan sampah bekas bungkusan pengaman. Seketika, Ashana merasa takut. Selama ini, mereka memang selalu lolos dari ancaman. Ah, pasti kayak biasanya, kok. Nggak akan jadi. Biasanya juga pernah nggak pakai pengaman. Aman-aman aja selama ini. Tapi, kalau jadi gimana? Nggak lah, ya. Kian kan sudah pro banget. Dia tau kapan harus dicabut. Mengingat sepak terjang sang kekasih setiap kali bermain tanpa pengaman, Ashana merasa sedikit tenang. Pun, selama ini keduanya aman saja. Rakyan memang selalu mengeluh tiap kali harus memakai pengaman. Tak nyaman, katanya. Tubuh kekar itu menggeliat di atas tempat tidur. Ashana menghampirinya dengan secangkir teh manis hangat. Ia mengecup kedua kelopak mata Rakyan. Laki-laki itu tersenyum, merasakan kenyal dan manisnya bibir kekasihnya. “Kamu kok sudah rapih aja?” ucapnya saat mendapati Ashana yang sudah berpakaian lengkap. “Sudah mau pulang?” “Iya, Bie. Sudah jam berapa sekarang?” sahut Ashana. Rakyan sontak melirik ke arah jam dinding yang tertempel di kamarnya. Ia tak boleh telat mengantar sang kekasih pulang. “Jadi antar aku pulang? Kalau nggak jadi, aku bisa pesan taksi.” “Jadi, lah. Ngapain pesan taksi kalau aku bisa antar?” Rakyan menyeruput sedikit teh buatan Ashana. Ia gegas meraih kaos dan celananya. “Aku cuci muka dulu.” “Nggak sekalian mandi?” “Nanti aja di rumah.” “Kamu balik ke rumah malam ini?” tanya Ashana. Rakyan mengangguk. “Aku senang dengarnya. Memang seharusnya kamu sering-sering pulang ke rumah.” “Walaupun kadang aku ngerasa nggak betak di rumah?” sahut Rakyan dari kamar mandi. “Aku pulang pun demi Papa, kakak dan adikku. Percuma mengharapkan Mama. Mama nggak pernah anggap aku ada.” “Jangan sedih.” Ashana segera menghampirinya di kamar mandi dan mengusap lengannya lembut. “Mama kamu butuh waktu. Mungkin.” “Mau sampai kapan? Sampai aku mati dulu baru sadar kalau aku anaknya?” “Suatu saat nanti beliau akan sadar.” “Aku nggak mau berharap banyak. Rasanya sakit banget ketimpa ekspektasi. Aku ada tapi dianggap nggak ada.” “Sabar, ya.” *** Setibanya di rumah, Rakyan sengaja langsung menuju ke lantai atas. Ia tak ingin merusak kebersamaan keluarganya di meja makan. Di perjalanan pulang, ia sempat mampir ke sebuah restoran cepat saji dan memesan beberapa menu makanan. Ia bisa menghabiskan makanan itu dengan tenang di kamarnya sambil menonton televisi atau bermain online game. Benar saja. Tak ada yang menghampirinya, bahkan sampai makanannya benar-benar habis. Kehadirannya di rumah ini memang tak terlalu diperhitungkan. Mereka akan tetap bahagia, meskipun tanpa dirinya. Mengusir kebosanan, apa lagi yang bisa dilakukannya selain menelepon sang kekasih. Nomor wanita tercintanya ada di deret pertama catatan panggilan. Beberapa kali mencoba, kekasihnya tak menjawab. Mungkin sudah tidur karena kelelahan bekerja dan digempurnya habis-habisan. Pintu kamarnya diketuk. Ternyata Rasendra—sang adik. “Kapan pulangnya, Mas?” tanya Rasen. “Kok gue nggak tau kalau lo sudah pulang. Kirain di apartemen.” “Dari tadi, kok. Waktu kalian semua lagi makan bareng.” “Kenapa nggak ikut makan bareng? Tadi Papa nanyain lo.” Rakyan tak menjawab. Ia hanya menunjuk setumpuk sampah bekas makanan dengan dagunya. Sang adaik mengembuskan napas. Lagi-lagi makanan cepat saji yang dipilih kakaknya. “Mama aja masak banyak banget, lo malah beli makanan.” “Mama kan masak banyak untuk kalian, bukan untuk gue.” “Mas, jangan begitu.” “Memang harus begitu, Sen. Apa yang gue bilang benar. Gue pulang pun karena ngerasa nggak enak sama Papa, Mas Arkan dan lo. Tapi, kalau boleh jujur gue mendingan tinggal di apartemen. Di sana gue ngerasa lebih nyaman, meskipun sendirian.” Rasendra tak menjawab. Ia paham betul apa yang dirasa kakaknya. Mungkin jika dirinya yang berada di posisi Rakyan akan merasakan hal yang sama juga. Ditolak oleh ibu kandungnya sendiri. Rasendra pernah merasa bingung saat melihat sang Mama yang berlaku tak adil pada Rakyan saat mereka masih kecil. Dengan polos ia pun bertanya pada mamanya. Dia anak bawa sial. Ia juga pernah bertanya pada sang Papa. Namun, Prayoga tak pernah buka suara. Entah apa masalahnya. Sepelik apa masalahnya sampai Rakyan mendapatkan perlakuan tidak adil dari sang Mama? “Gue mau tidur,” ucap Rakyan. “Jangan lupa tutup pintu sama matiin lampunya, ya.” Rasendra mengangguk. Rakyan sudah bergelung di dalam selimutnya. Ditatapnya sosok kesepian itu. Ia menghela napas dalam diam. Biar bagaimanapun, Rakyan adalah kakaknya. Ia berharap suatu saat nanti Rakyan bisa mendapatkan kasih sayang yang selama ini tak didapatkannya dari ibu mereka. “Good noght, Mas,” ucapnya sebelum pintu kamar benar-benar ditutup. “Iya,” sahut Rakyan dari balik selimut. *** Jadwal siaran tengah malam membuatnya harus menghabiskan waktu di kantor. Orang-orang asyik tidur di kasur yang empuk, sedangkan dirinya malah dirias agar terlihat prima di depan kamera. Tak bisa menahan kantuk, kepalanya berkali-kali tertunduk saat dirias. Beberapa kali pula juru rias terpaksa menengadahkan kepalanya. Masih ada waktu sebelum on cam. Matanya berbinar kala melihat sebungkus nasi goreng pesanannya yang baru saja tiba. Entah kenapa nafsu makannya benar-benar meningkat akhir-akhir ini. Seakan ia makan bukan hanya untuk dirinya. Siaran selesai, tapi ia tak bisa langsung pulang. Ashana harus tinggal karena ada jadwal siaran pagi keesokan harinya. Jadi, tidur di kamar karyawan perempuan yang disediakan kantor pun menjadi pilihan. Meskipun hanya dua jam, ia akan menggunakan waktu itu untuk tidur sebaik mungkin. Siaran pagi berjalan dengan lancar. Selama siaran tadi, ia merasa ada sesautu yang tidak beres terjadi di tubuhnya. Mungkin pengaruh makan terlalu malam dan angin dari pendingin ruangan, pikirnya. Merasa sedikit mual, ia pun segera membalur minyak angin ke leher dan perutnya. Ashana membuat secankir teh hangat setibanya di rumah. “Ma, kayaknya aku masuk angin, deh.” “Mau minum obat?” tanya Minati. Ashana menggeleng. “Mau dibuatin bubur?” “Boleh, deh. Aku ke kamar ya, Ma. Ngantuk banget.” “Loh, nanti buburnya gimana?” “Nanti kalau sudah matang, Mama panggil aku aja.” Kepalanya semakin pusing setibanya di kamar. Merasa begitu lemah, ia pun segera membaringkan tubuh di tempat tidur. Pandangannya berputar cepat. Sangat pening. “Aku kenapa, sih? Kok tumbenan banget lemah kayak begini. Biasanya juga nggak apa-apa,” gumamnya sambil sesekali memijit pelipisnya. Merasa semakin ada yang aneh, tangannya segera merogoh laci terbawah di nakasnya. Beberapa benda yang disimpannya dengan sangat hati-hati pun dikeluarkan. Ashana selalu menyimpan persediaan benda itu karena mengingat pola permainan yang suka melawan zona nyaman. Dan parahnya, akhir-akhir ini ia belum lagi menggunakan benda-benda itu. “Biasanya juga negatif,” ucapnya sesaat setelah mengumpulkan urine-nya di sebuah wadah kecil. Dengan perlahan, ia mencelupkan dua buah testpack ke cairan kuning itu. Biasanya, proses itu tak akan memakan waktu lama. Jari-jemarinya mengetuk wastafel karena saking gugupnya. Dan— Astaga! Apa yang harus dilakukannya? Ke—kenapa hasilnya begini? Mungkinkah caranya salah atau alat-alat itu sudah kadaluarsa sehingga hasilnya tidak akurat? Kedua matanya mengerjap tak percaya. Bagaimana ini? Apa yang harus dilakukannya? Kenapa hasilnya— Ya Tuhan! Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin. Ini tak boleh terjadi. Astaga! Rasanya begitu kesal tiap kali mengingat Rakyan yang menolak untuk menggunakan pengaman. Rasanya begitu kesal tiap kali mengingat kalau dirinya memang merasa lebih jatuh dalam nikmat tiap kekasihnya menghujamnya tanpa pengaman. Rasanya ingin mati saja! “Dua garis. Positif.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN