Pagi ini setelah memakan sarapan yang di sediakan Kintan, Vian berangkat untuk bekerja. Satu minggu cuti pernikahan sudah terlewati. Sebenarnya pak Bram memberi Vian waktu cuti satu bulan. Sekalian menawarkan bulan madu ke luar negeri untuk mereka. Tapi Vian menolak dengan alasan Kintan banyak kegiatan di pesantren.
Tok Tok.
“Masuk”. Jawab Vian dari dalam ruangannya.
“Selamat pagi pak Vian. Kenalkan saya Leo sekretaris baru bapak”. Seorang pria muda berkacamata dan tubuhnya tegap masuk dalam ruangan Vian.
“Loh Rania kemana? Kok jadi Elu?”
“Saya di tunjuk langsung oleh Tuan Komisaris untuk menjadi sekretaris Anda. Sementara Rania sudah di pindah tugaskan ke perusahaan anak Cabang di kota YY”.
“Memangnya kenapa mesti diganti?”
“Untuk hal itu saya kurang mengerti. Saya hanya menjalankan tugas saja”. Leo menjelaskan dengan sopan.
“Ah sudahlah. Aku bakal tanya sendiri ke papi. Lu bisa balik kerja lagi”.
“Baik pak”.
Saat Leo kembali ke tempatnya untuk bekerja. Alvian keluar menuju ruangan pak Bram.
Alvian masuk ke ruangan pak Bram tanpa mengetuk pintu. Sementara di dalam ruangan itu pak Bram sedang berbicara dengan sekretarisnya.
“Keluarlah”. Perintah pak Bram pada sekretarisnya.
“Baik pak. Saya permisi”. Sekretaris itu menundukkan kepalanya pada pak Bram lalu berlalu meninggalkan ruangan pak Bram.
“Papi apaan main ganti sekretaris aku tanpa izin dari aku?” Vian langsung ngomel tidak sopan.
“Bisa nggak kamu belajar tata krama yang baik. Ketuk pintu sebelum masuk ruangan papi”. Ucap pak Bram santai sambil menautkan jari jemarinya di atas meja.
“Ah apaan sih. Sekarang papi jawab kenapa papi ganti sekretaris aku tanpa izin?” Vian yang masih geram kembali bicara.
“Kamu mau mempertahankan sekretaris yang nggak kompeten itu?” Tanya pak Bram santai.
“Nggak kompeten gimana?”
“Iya kan. Kamu memperkerjakan dia Cuma sekadar dia cantik dan seksi saja kan tapi kerja nggak becus?”
Davian terdiam mendengar ucapan pak Bram.
“Kamu pikir selama ini papi nggak tahu? Papi turunkan jabatan dia jadi staf biasa. Biar dia banyak belajar. Syukur-syukur nggak di pecat”. Ucap pak Bram saat Vian hendak menyela. Ia berpikir untuk bertindak tegas supaya Vian tak lagi semena-mena.
Vian yang kesal hendak berlalu.
“Belajarlah merubah sikapmu. Bersikaplah sopan sedikit”. Kalimat terakhir yang di ucapkan pak Bram sedikit membuat Vian tersentak. Biasanya papinya tidak pernah mempermasalahkan hal seperti ini. Kenapa sekarang jadi begitu sensitif.
Vian kembali ke ruangannya. Mau tidak mau sekarang ia menerima semua keputusan pak Bram.
“Leo, ke ruangan saya sekarang”. Perintah Vian.
“Baik pak”.
“Ada yang Anda perlukan?” Tanya Leo setelah ada di ruangan Vian.
“Apa jadwal hari ini?”
“Anda di minta pak Bram untuk memantau pengerjaan panti yang ada di daerah...” Leo menyebut nama suatu daerah.
“Kenapa harus aku yang memantau?”
“Kata pak Bram Anda di minta untuk memantau jalannya pengerjaan panti hingga selesai. Tanggung jawab ini di alihkan kepada Anda. Sebelum Anda memulai proyek pembangunan Apartemen di Kota....” Leo menyebut nama sebuah kota.
“Ah. Kenapa papi jadi seenaknya sendiri sih. Ya sudah siapkan semuanya. Kalo sudah siap kita langsung berangkat”.
“Baik pak”.
***
“Cie, pengantin baru sudah mulai aktif lagi. Gimana bulan madunya?” Aira, seorang ustadzah muda bertanya sambil menggoda Kintan.
Kintan hanya tersipu. Tidak mungkin dia menceritakan semua aib rumah tangganya.
“ish, Malu-malu lagi nih pengantin baru”. Sahut Aulia, seorang ustadzah yang satu Letting dengan Kintan.
“Ya yang sudah berpengalaman pasti tau lah. Udah jangan di godain lagi”. Mutmainnah, seorang ustadzah senior menengahi.
“Aku mau ngecek jadwal dulu ya. Kayanya aku ada jadwal mengajar di kelas dua”. Kintan pamitan karena menghindari godaan dari yang lain.
Saat keluar dari ruangan para ustadzah. Kintan berpapasan dengan ustadz Abdul Ghani. Ustadz muda pimpinan pondok itu hanya meliriknya sekilas. Kintan menganggukkan kepala sedikit memberi hormat. Namun wajah dingin dari ustadz muda itu yang justru terlihat.
Tanpa ambil pusing Kintan berlalu dan menuju kelas dua madrasah ibtidaiah untuk mengajar mata pelajaran Aqidah akhlak.
Sementara itu si ustadz muda yang sudah memasang wajah dingin pada Kintan merutuki kebodohannya.
“Ah kenapa aku jadi begini. Kenapa aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi ini di depan Kintan. Astaghfirullah”. Ucapnya setelah terduduk di kursi.
“Lagi pula ini semua memang sudah kehendak Allah Kintan tidak berjodoh denganku. Allah telah memilihkan jodoh lain untuknya. Semoga suami Kintan adalah pilihan terbaik dari Allah”. Kata-kata kepasrahan dari seorang ustadz Abdul Ghani.
Ia memang sudah lama memendam rasa pada Kintan. Ia menunda untuk melamar Kintan karena ia mau menunggu sampai Kintan lulus dari universitas. Tetapi ternyata penundaannya malah di dahului oleh lelaki lain.
“Sungguh beruntung lelaki yang bisa menikahi Kintan. Ya Allah. Engkau menakdirkan aku tidak berjodoh dengannya. Berikanlah aku seorang pasangan yang baik menurut kehendakmu”. Hanya itu harapan yang di lontarkan ustadz Abdul Ghani atas rasa yang tak sampai untuk Kintan.
“Assalamualaikum”. Sapa Kintan pada anak-anak didiknya.
“Wa alaikum salam ustadzah”.
“Kaifa halukum?”
“nahnu bi khoir ustadzah”.
“Alhamdulillah”.
“Kaifa haluki ustadzah?”
“Ana bi khoir. Alhamdulillah”.
Mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan suasana yang menyenangkan. Kintan termasuk dalam golongan ustadzah yang di senangi anak-anak. Karena cara mengajarnya yang menyenangkan.
“Baik anak-anak. Pelajaran kita pada hari ini selesai. Jangan lupa kerjakan tugas yang ustadzah kasih ya. Jaga kesehatan. Dan sampai jumpa lagi. Assalamualaikum”.
“wa alaikum salam ustadzah”.
***
Tidak terasa satu hari berlalu dengan cepat. Kintan bersiap-siap pulang setelah jam mata kuliahnya selesai.
Di perjalanan pulang ia melihat seorang penjual batagor. Karena pengen makan batagor Kintan menepikan motor dan ikut dalam antrian.
“Bang saya mau batagornya seporsi ya”. Kintan meminta pada penjualnya.
“Maaf mba. Bisa saya duluan nggak? Istri saya lagi hamil dan nungguin di rumah”. Seorang pria datang dan meminta lebih dulu.
“Oh iya nggak papa pak. Silakan”. Kintan mempersilahkan terlebih dahulu.
“Makasih banyak”. Pria itu berterima kasih dan pergi setelah mendapatkan batagor yang di inginkan.
“Sama-sama”.
Selang beberapa menit abang penjual batagor itu memberikan seporsi batagor pesanan Kintan.
“Berapa bang?”
“sepuluh ribu aja neng”.
“Ini uangnya bang”. Kintan menyodorkan selembar uang senilai sepuluh ribu kepada penjual batagor.
“Makasih neng”.
“Iya bang”.
Saat hendak pergi, Kintan menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya terluka.