Bunyi kokok ayam membangunkan Denada dari tidur panjangnya. Ia masih duduk di kelas dua belas Sekolah Menengah Atas. Dengan gaya malasnya ia terpaksa bangun dari tempat tidurnya.
Hampir tiga tahun ia belajar di sekolah yang baru berdiri empat tahun lamanya. Dena, begitu panggilannya. Anak kedua dari lima bersaudara.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Seperti biasa, ia selalu pergi dengan tergesa-gesa. Jarak tempuh sekolahnya memerlukan waktu kurang lebih dua puluh menit, kemungkinan ia akan tiba pukul tujuh lebih tiga puluh menit.
Dena akan naik angkutan kota dua kali.
Terdapat uang sepuluh ribu rupiah di sakunya. Kondisi BBM saat ini mengalami penurunan harga, sehingga tarif yang dikenakan pelajar masih relatif murah hanya bayar seribu lima ratus rupiah untuk perjalanan dalam kota.
Dena turun dari angkot pertama di pertigaan lampu merah. Nampak wajahnya masam karena biasanya ada seseorang yang menunggunya disana.
Setelah ia memastikan orang yang dicarinya memang tidak ada, ia pergi menuju angkot kedua.
"Gak nungguin," ketiknya dibarengi emoticon kecewa.
Tak berapa lama handphone bergetar.
"Maaf sayang, udah kesiangan," jawab laki-laki yang tidak lain adalah pacar Dena. Adrian. Seorang adik kelas yang jatuh hati padanya.
Dena menghiraukan pesannya.
Kini ia telah tiba di sekolahnya. Nampak bangunan sekolah masih terlihat baru. Dua tahun ke belakang, letak sekolahnya tak begitu jauh seperti sekarang. Namun karena status sekolah dulu masih sewa, barulah tahun ini sekolahnya mempunyai bangunan sendiri.
Yang menakutkan dari sekolahnya sekarang adalah tempatnya yang berada di kebun. Di belakang sekolah terdapat pemakaman, membuat ia dan teman-temannya kadang merinding.
Bahkan bagi sebagian siswa yang mempunyai karakter "leumpeuh yuni" atau mudah terpengaruh banyak yang kerasukan disini.
"Dena udah ngerjain tugas ini belum?" tanya Arif teman laki-laki di kelasnya.
"Udah," jawab Dena simpel.
Dena memang memiliki tampang yang biasa saja, namun ia memiliki otak yang cemerlang. Hampir tiga tahun berturut-turut ia selalu menjadi juara pertama di kelasnya.
Kadang ia berpikir apakah teman-temannya yang b*doh atau dia yang rajin. Kadang juga dia berpikir apakah nilai bagusnya adalah pemberian wali kelas yang mengenal dirinya atau juga memang murni karena kemampuannya.
Dulu ketika di masa Sekolah Dasar, Dena ingat dia memang memiliki otak yang lumayan pintar, ia bisa meraih juara tiga di kelasnya. Namun kemampuannya menurun ketika ia duduk di Sekolah Menengah Pertama.
Tentu saja karena perbedaan jumlah murid juga mempengaruhi. Dan yang paling tragis adalah ketika di sekolah menengah pertama Dena selalu di bully.
"Jelek, jelek." Begitu yang selalu di ucapkan teman laki-laki nya semasa di Sekolah Menengah Pertama.
Dena selalu menutup diri dari orang-orang. Teman-teman dekatnya hanya beberapa saja.
"Dena, pulang sekolah ke rumah Satria yuk!" Ajak beberapa temannya.
Sebenarnya ia merasa keberatan, bukan hanya karena uang sakunya yang menipis, namun ia juga tidak terlalu suka dengan keramaian.
"Kayaknya ga ikut deh kalo sekarang," jawab Denada yang membuat semua orang kecewa.
Dena sebenarnya merasa bahagia, karena kehidupan sekolahnya sekarang jauh lebih baik dari dulu. Dimana teman-teman sekelasnya yang sekarang kebanyakan tidak pilih-pilih teman.
Hubungan pacaran yang ia jalin bersama Adrian baru seumur jagung. Waktu itu Adrian terpikat oleh pesona Dena yang katanya rajin bersih-bersih saat di sekolah dulu.
Adrian adalah anak kelas sepuluh. Umurnya berbeda satu tahun dua bulan dengan Dena. Kadang Dena selalu di ejek teman-temannya.
"Cieeeee seleranya brondong,"
"Hah apa? borondong jagong?" Dena menimpali.
Dena tidak mengambil hati perkataan teman-temannya karena dia nyaman dengan hubungannya sekarang.
Masa Putih Abu-abu akan menjadi kenangan indah bagi Dena. Dimana ia ingat akan keluguannya saat mengenal teman-temannya di kelas sepuluh.
FLASH BACK
Berawal dari Masa Orientasi Siswa, Dena selalu berpikir.
"Kenapa laki-laki itu melihat ku terus?" Dena kadang di buat salah tingkah.
Hari-hari berikutnya dia berpikir sama, "Apa dia suka sama aku ya?" pikirnya lagi.
Waktu demi waktu berlalu, Dena merasa ia telah jatuh hati pada laki-laki yang terlihat memperhatikannya terus.
Lama-lama terdengar kabar bahwa laki-laki itu pacaran dengan teman perempuan Dena.
"Hah! Ternyata selama ini dia bukan memandangiku, tapi melihat teman yang ada di sebelahku," patah hati pertama Dena saat berada di kelas sepuluh.
Pencarian cintanya kembali ketika ia melihat seorang teman laki-laki yang ia pikir beda dari yang lainnya.
Namanya Rohman.
Perawakannya tinggi, berisi, kulitnya putih bersih dan yang membuat Dena paling terpikat adalah sosoknya yang religius.
Dena selalu memandangi Rohman dari mulai kelas sepuluh, ia pikir Rohman adalah cinta pertamanya. Ia selalu menceritakan segala isi hatinya dalam buku diary.
Tak berhenti disana, seorang kakak kelas mengajak Dena berkencan, lantas membuat Dena dilema karena ia baru pertama kali di sukai seorang laki-laki.
Dena berpikir tidak ada laki-laki tampan yang menginginkannya tapi laki-laki ini baik jadi dia segan untuk menolaknya.
Dena akhirnya memberikan kesempatan untuknya menjalani hubungan dengan kakak kelas yang baik itu.
Dimana ada laki-laki baik, disitu pasti ada laki-laki br*ngsek.
Ada cowok playboy yang mengatakan rasa sukanya pada Dena. Dena terpikat oleh rayuan manisnya, sehingga ia mengecewakan kakak kelas yang baik yang lebih dulu menyukainya.
Seakan karma itu tidak salah alamat, Dena ditinggalkan oleh kakak kelas yang playboy itu.
"S*al dasar playboy," umpat Dena.
Di kelas sebelas Dena memiliki seorang teman laki-laki yang begitu baik padanya. Namanya Alfian. Dari waktu ke waktu hubungan mereka menjadi lebih dari sekedar teman. Apalagi Dena dan Alfian bertempat tinggal di satu lingkungan, sehingga keduanya memutuskan untuk jadian.
Namun dasar Dena yang masih menjadi petualang cinta ia kembali kepincut pesona Rohman.
"Rohman kenapa kau begitu menyiksaku?" gumam Dena.
Dena selalu mencurahkan isi hatinya dalam buku diary. Satu ketika Alfian tidak sengaja membaca buku itu. Alfian kecewa pada Dena, ia memutuskan mengakhiri hubungannya dengan Dena.
"Aaahhh masa putih Abu-abu ku yang lucu, akan segera berlalu," pikir Dena
Kini ia tengah menemukan laki-laki yang bertekad selalu ada untuknya. Ya walaupun terkadang memang Dena masih selalu curi-curi pandang pada Rohman, namun ia tak ingin hubungannya dengan Adrian hancur.
Apalagi terdengar kabar bahwa Rohman sebenarnya mempunyai kekasih.
"Hey Rohman, sebagai laki-laki harusnya kamu gentle dong," pikir Dena.
"Memang kamu gak lihat aku yang udah suka kamu dari dulu?" Dena masih berperang dalam hatinya.
"Tolak aku kek, ngomong jauhi aku kek, ini malah tarik ulur gitu. Cape tahu! Huhhhhh dasar so kecakepan lu! Emang dia cakep," Ih dasar lo hati ga bisa di ajak kompromi. Ha