Tetap di Sini, Nath.

1353 Kata
Tetap di sini, jangan pernah beranjak. *** "Nai, maaf. Aku gak pernah berniat bohongin kamu." Nathan menyandarkan tubuhnya, menatap Naina yang memperlihatkan raut tak sabar atas apa yang akan ia ucapkan selanjutnya. "Tapi keadaannya emang gak semudah itu. Terlebih hubungan kamu sama Dinda-" "Intinya kamu jadian sama dia, 'kan?" potong Naina, ketus. Nathan menatap dengan perasaan bersalah sebelum mengangguk. Hal tersebut menciptakan dengkusan dari gadis di depannya. "Berapa lama?" Lelaki itu mendongak. "Udah berapa lama kalian jadian?" Naina memperjelas pertanyaan. Terdiam sejenak, Nathan mengangkat dua jari tangannya. "Dua minggu?" tanya Naina. Lelaki itu menggeleng. "Dua bulan." Seketika Naina tertawa hambar. Ternyata dirinya telah dibodohi selama itu. Mungkin tidak masalah jika Nathan berpacaran dengan perempuan lain, tapi lain lagi dengan Dinda. Mantan sahabatnya yang dulu mati-matian mengatakan tidak pernah memiliki perasaan apa pun pada Nathan. "Kenapa harus dia, Nath?" "Karena ... aku rasa dia emang orang yang tepat." Naina berdecak, kedua tangannya bersedekap. "Nath, dari sekian cewek cantik dan hits di kampus kenapa malah dia? Please deh, kamu kayak gak ada cewek lain aja." Nathan menghela nafasnya. "Nai, emang banyak cewek yang kata kamu bilang, tapi ini masalah hati dan ... aku milih dia." "Duh, Nath!" Naina mengacak rambutnya. "Aku tuh gak tau harus ngomong apa lagi sama kamu." Ada sesuatu yang belum selesai antara sahabat dan kekasihnya, padahal masalah antara dirinya yang melibatkan adik Dinda telah berakhir dengan baik. "Nai, bukannya bagus kalau aku sama Dinda? Kamu juga udah kenal dia lama." "Tsk, terserah deh! Pokoknya aku gak akan pernah setuju kamu sama dia. Titik!" Kalau sudah seperti itu, Nathan bisa apa? Naina tetaplah sosok keras kepala dengan segala keegoisannya. "Oke, aku gak bisa maksa kamu buat terima ini. Kalau gitu aku pulang." "Kamu cinta sama dia?" Langkah Nathan terhenti. Ia tidak berbalik sehingga tak dapat melihat seringaian di wajah Naina. "Kamu pikir aku bakal nembak cewek sembarangan?" Gadis di belakangnya mengulum senyum. "Kamu masih cinta sama aku, Nath?" "Nai!" Nathan membalikkan badan. Wajahnya terlihat memerah, memendam amarah. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak. "Please, jangan bahas itu. Kita udah sepakat, 'kan?" Bukannya menjawab, Naina malah terkekeh. "Aku cuma kasian aja kalau kamu gak pernah bener-bener cinta sama dia." Nathan menghela nafasnya. Bukan seperti itu, ia hanya merasa semuanya terlalu samar. Nathan sendiri bingung kenapa harus memilih Dinda untuk membantu menghilangkan perasaannya. Kenapa bukan perempuan lain yang lebih segalanya seperti yang dikatakan Naina. "Nai, aku bukan gak cinta sama dia." Sanggahan Nathan semakin membuat Naina merasa di atas angin. Toh, selama apa pun hubungan mereka, perasaan lelaki itu masih tetap untuknya. Jadi harusnya ia tak perlu khawatir kalau Dinda akan merebut perhatian Nathan. *** Dari awal seharusnya Dinda tahu bahwa mencintai Nathan tidak akan mudah, terlebih ia pernah menyaksikan sendiri, bagaimana jatuh bangunnya lelaki itu untuk membahagiakan Naina, termasuk rela memanfaatkan adiknya dulu semasa SMA. Ia bahkan hampir lupa pernah benci pada lelaki yang kini menjadi kekasihnya. Masalah hati siapa yang tahu? Ia bukan Tuhan yang punya kehendak untuk menentukan ke mana hatinya akan berlabuh. Dinda menyesal tak mampu membentengi diri dari pesona Nathan. Jika dulu ia selalu bertanya-tanya apa yang membuat adiknya tergila-gila pada lelaki itu, maka sekarang Dinda harus bertanya pada siapa? Ia tak tahu kenapa dirinya bisa luluh begitu mudah. "Ngelamun terus." Dinda menoleh pada Maura yang sudah berpenampilan kusut. "Baru pulang?" "Aku ucapin salam beberapa kali," juteknya duduk di samping Dinda yang meringis. "Maaf, Kakak lagi fokus nonton." Maura mengarahkan tatapannya pada layar televisi. Sinetron hidayah di depannya bukan gaya Dinda sama sekali. "Kak, mau tak gak kenapa dulu aku gak mau mencoba lagi sama Kak Nathan walau dia ngasih kesempatan?" "Karena kamu baru sadar, Nathan bukan lagi orang yang kamu cinta." "Bukan cuma itu." Maura menggeleng. "Sebagian lagi karena aku ngerasa gak cukup kuat buat nunggu Kak Nathan berpaling." "Dan akhirnya kamu tetep berusaha kuat buat nunggu Azka kembali, 'kan?" Dinda malah membalikkan perkataannya. Gadis mungil itu mendesah lalu berdiri dengan menjinjing tasnya. Ia pikir percuma juga menasihati orang lain, dirinya juga butuh nasihat-nasihat untuk menyadarkan perasaannya yang masih menggantung. "Aku ke kamar dulu. Kayaknya kita perlu coba daftar ke biro jodoh, kali aja ada yang bener-bener cocok. Kita mungkin bisa cepet move on." Dinda termenung memikirkan ucapan Maura. Ia hanya perlu menjadi gadis yang kuat untuk bertahan di sisi Nathan, 'kan? *** Belum genap dua puluh empat jam, berita mengenai hubungannya dengan Nathan sudah menyebar. Dinda tahu siapa biang gosipnya, tentunya gadis yang kemarin memergokinya dengan Nathan. Ia Berharap tidak ada rumor jelek tentangnya lagi seperti masa SMA dulu karena orang yang sama. Di mulai teman sekelas, se-UKM, bahkan anak-anak dari UKM lain yang akrab dengannya ikut menanyakan kebenaran tersebut. Dinda tahu di balik ucapan selamat teman-temannya akan datang sesuatu yang kurang mengenakan. Naina tidak mungkin membiarkannya lolos begitu saja. "Ciee yang udah jadian, diem-diem bae." Dinda melengos, melanjutkan kegiatannya, mengetik tugas di laptop, sedangkan gadis di sampingnya malah berdecak sebal. "Heh, gak usah pura-pura tuli deh!" "Sh, sakit tau gak sih?" Dinda meringis karena tarikan di telinganya. "Makanya respon dong kalau orang lagi ngajak ngomong," sebal Divia yang tak suka diabaikan. Merasa terganggu, Dinda membalikkan setengah badannya sehingga berhadapan dengan gadis itu. "Divia sayang, lo dapet gosip itu dari mana sih?" "Itu bukan gosip, elo emang jadian, kan sama Nathan?" Dinda mengangguk. Tidak ada alasan lagi untuk menyembunyikan semuanya. Terlebih Via adalah teman dekatnya. "Tuh, 'kan? Elo jadian udah lama gak bilang-bilang, emang apa untungnya backstreet sih?" Sahabatnya memang persis seperti Maura yang kalau bicara tidak bisa santai. Melihat beberapa orang sudah melihat ke arah mereka, Dinda segera membungkam mulut gadis itu. Ia hampir lupa di mana posisi mereka sekarang. "Lo berisik banget sih Via Valen. Tau tempat dong kalau mau teriak-teriak!" "Ya sorry, gue, kan emang suka gak kenal tempat." Via melirik pada orang-orang yang kembali sibuk dengan aktifitasnya. "Abis lo ngeselin sih. Main rahasia-rahasiaan." Dinda menghela nafasnya. "Vi, kita punya alasan." "Karena cewek itu?" tebak Via. "Siapa maksud lo?" Dinda berpura-pura tidak tahu. "Naina, 'kan?" Dinda berpikir sejenak, apakah ia harus menceritakan kisah di masa lalunya atau tidak. "Dia sahabatnya Nathan sejak kecil dan emang keadaannya sulit buat kita, terlebih hubungan gue sama Naina gak baik." "Maksudnya?" "Gue, Nathan, sama Naina udah kenal dari SMA," jelas Dinda. "Dulu ... kita sahabatan." "Elo sama Nathan?" Dinda menggeleng. "Gue sama Naina, sedangkan sama Nathan cuma temen sekelas. Posisinya Nathan adalah sahabat kecil Naina yang saat itu cinta banget sama dia. Di lain sisi, adek gue jatuh cinta sama Nathan. Yah, Maura yang pecicilan dan gak tau malu sering ngejar-ngejar Nathan. Gue udah peringatin dia buat berhenti, tapi emang dasarnya Maura bebal." Terdengar helaan nafas sebelum Dinda melanjutkan ucapannya. "Sampai akhirnya Nathan deketin adek gue biar cowok yang suka sama dia ngejauh." "Kenapa? Nathan mulai suka sama adek lo?" Dinda menggeleng. "Karena cowok yang suka sama Maura adalah cowok yang disukain Naina. Saat itu Nathan adalah tipe orang yang rela ngorbanin perasaannya cuma biar bisa liat orang yang dicintai seneng. Dia ngebuat Maura berharap dan nolak cowok itu. Yah, hingga akhirnya rahasia Nathan terbongkar. Gue sempet ribut sama Nathan. Gue juga muak sama Naina yang terus ngejelekin adek gue." Via menepuk pundak sahabatnya. "Puncaknya gue marah banget, tapi entah dari mana tiba-tiba Naina berpikir kalau gue bela Maura karena gue sendiri pingin milikin Nathan. Gue yang terlanjur sakit hati digituin akhirnya ngeiyain aja biar Naina syok sekalian dan ... lo bisa tebak sendiri sekarang. Cap penghianat dari dia masih terus melekat." "Ya ampun, gue gak nyangka hubungan kalian serumit itu, tapi gimana bisa lo sekarang sama Nathan pacaran?" "Sebenernya gak lama abis kejadian itu, Nathan sadar sama kesalahannya dan minta maaf, bahkan memberikan Maura kesempatan untuk ngebuat Nathan balas perasaannya, tapi Maura udah nyerah duluan dan jatuh cinta sama temen sekelasnya." "Ending-nya mereka gak dapetin cinta mereka, right?" Dinda mengangguk. "Kalau dipikir-pikir gue bodoh banget ya, bisa-bisanya jatuh cinta sama cowok yang pernah nyakitin adek gue, bahkan kayaknya Nathan masih ada perasaan sama Naina." "Lo gak bodoh Din. Cinta, emang siapa yang bisa nebak bakal jatuh di mana? Lo cuma perlu bersabar. Kalau emang Nathan masih ada rasa sama Naina, perjuangin dia, rebut hatinya seperti yang selama ini lo lakuin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN