Aku hanya perlu percaya sama kamu
***
Dinda tengah menikmati sarapannya saat Reno yang baru datang langsung heboh. Lelaki pecicilan itu mendudukkan badannya dan langsung bercerita, "Tadi pas ke ruang sekretariat, anak-anak pada ngomongin Nathan yang jalan sama cewek di bioskop."
Sudah ia duga.
"Jadi, lo jauh-jauh dari fakultas Sastra cuma buat kasih tau ini?" tanya Dinda seolah tak terpengaruh dengan pemberitahuan lelaki itu.
"Gak jauh, Din, fakultas kita sebelahan," koreksi Reno tersenyum kemenangan. Merasa kalah, Dinda berdecak dan kembali menekuni bukunya, kebetulan di mata kuliah jam pertama ia kebagian presentasi.
Reno sempat pergi sebentar untuk memesan makanan. Lima menit kemudian lelaki itu sudah kembali membawa semangkuk bubur ayam di tangannya.
"Mau gak?" tawar Reno.
"Gue juga beli bubur, Moreno Adiyasa." Dinda mengarahkan dagunya ke arah mangkuk yang masih penuh.
Reno sendiri kini cengengesan, padahal ia hanya basa basi menawari. Mengingat pembahasan awal mereka, lelaki itu kembali membuka suara, "Terus gimana soal tadi? Lo gak papa kalau mereka tau?"
Dinda menutup bukunya, balas menatap Reno yang menunggu jawabannya dengan tak sabar. "Gue gak masalah meski merasa sedikit khawatir," ucapnya pelan. "Gue lebih gak nyaman kalau kita terus sembunyi."
Reno mengerti perasaan gadis itu. Ia bahkan beberapa kali menasehati Nathan agar segera jujur pada sahabat kecilnya, tapi lelaki itu terus mengulur waktu.
"Kita tahu gimana Naina," ujar Reno karena saat SMA dulu mereka satu sekolah dan satu kelas. Dunia memang sesempit ini. "Sejak dulu, dia selalu egois menyangkut Nathan."
Memang seperti itulah Naina. Gadis itu tidak pernah membalas perasaan Nathan, tapi tak juga mau melepasnya.
"Nathan juga bodoh, seharusnya dia bisa belajar dari pengalaman." Reno tak mempedulikan keberadaan Dinda yang merupakan kekasih dari lelaki yang ia rutuki.
"Ren," panggil Dinda membuat Reno memfokuskan atensi. "Apa mungkin ... Nathan masih ada rasa sama Naina?"
Reno sempat tertegun sebelum kemudian tertawa sumbang. "Lo ngomong apa sih? Ngaco."
"Nathan kayak gak mau banget Naina tahu hubungan kita." Dinda dapat melihat kekhawatiran yang terpancar di mata lelaki itu setiap mereka membahas mengenai hubungan keduanya.
Reno sebenarnya juga memikirkan hal itu sejak lama, tapi ia berusaha bersikap biasa karena tak ingin menambah beban pikiran Dinda.
Nathan menyukai Naina dalam waktu yang lama. Mungkin tidak mudah untuk sahabatnya melupakan gadis itu, tapi Nathan juga harus sadar kalau saat ini ada hati yang harus ia jaga.
"Ren? Gue bener?" tanya Dinda lagi.
Reno tak tega memupuskan harapan gadis di depannya. Dinda sudah pernah terluka oleh sahabatnya yang lain, Gavin namanya.
Jadi, dirinya, Nathan dan Gavin merupakan sahabat sejak duduk di sekolah menengah atas. Namun, Gavin masuk perguruan tinggi yang berbeda meski persahabatan mereka masih tetap berlanjut hingga kini.
Dinda adalah mantan Gavin saat masih SMP. Sempat terjadi kesalahpahaman di antara mereka hingga masalah terbawa ke masa SMA.
Sekarang hubungan keduanya sudah membaik. Kejadian tersebut telah beberapa tahun berlalu. Mereka kini sudah duduk di tahun ketiga bangku perkuliahan.
"Din, lo cuma harus percaya sama Nathan. Dia pilih lo karena emang dia yakin lo yang terbaik buat dia."
Mungkin Reno benar, tapi Dinda selalu merasa tak pernah puas akan jawaban itu. Nathan tidak pernah mengatakan mencintainya. Lelaki itu hanya bilang bahwa Dinda berhasil menarik perhatiannya dan membuatnya nyaman.
"Gak usah terlalu dipikirin. Nathan sayang sama lo, jangan pernah raguin dia, ya?"
Dinda mengangguk masih dengan pikiran melayang jauh.
"Kalau gitu gue pergi dulu," pamit Reno. Mangkuk di depannya sudah bersih. "Oh iya hari ini lo cuma satu mata kuliah, 'kan?"
Dinda menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa emang?"
"Mau ikut ke Star cafe?" ajak Reno. Saat itulah mata Dinda berubah berbinar. Ia mengangguk cepat. "Ikut! Gue kangen sama mantan."
Reno tertawa, tak dapat membayangkan bagaimana ekspresi Nathan mendengar ucapan kekasihnya.
***
Nathan menggeram kesal, mendengar sahabatnya mengajak Dinda pergi ke tempat itu. Andai saja tidak ada perkuliahan lagi, pasti dirinya sudah menyusul. Ia akui, perasaannya pada gadis itu masih abu-abu. Namun, melihat Dinda bersama lelaki lain membuatnya tak suka.
Nathan tidak bisa memungkiri bahwa Naina masih mendiami hatinya sampai saat ini. Ia tahu dirinya jahat, tapi menjadikan Dinda kekasih sudah ia pikirkan dengan baik-baik. Dinda selalu berhasil membuatnya melupakan perasaan terhadap Naina barang sejenak. Nathan pikir tak ada salahnya mencoba untuk mencintai Dinda. Ia hanya butuh waktu lebih banyak lagi untuk berusaha.
"Lo kemarin jalan sama anak UKM Teater ya?"
Nathan yang tengah memperhatikan presentasi temannya langsung mengalihkan perhatian. Arga menaik turunkan alisnya diiringi senyum menggoda. "Lo tau dari siapa?"
"Adinda anak fakultas Ekonomi, 'kan?" ucapnya mengabaikan pertanyaan Nathan.
"Gue tanya lo tau dari siapa, Arga?"
Lelaki itu malah terkekeh membuat beberapa temannya menoleh karena terganggu. "Bukan dari siapa-siapa."
Nathan menatap curiga. Ingatanya kembali pada malam di mana ia bertemu dengan Sera.
"Bioskop. Gue ada di sana, duduk satu bangku di belakang lo bareng Trisa."
Nathan mengembuskan nafasnya. Ternyata backstreet memang tak mudah. "Kalian gak ngasih tau siapa-siapa, 'kan?"
Lelaki berambut cepak itu mengangkat bahu. "Kalau gue sih enggak, gak tau Trisa. Eh, tapi gue sempet liat anak-anak UKM sebelah nonton bareng gitu. Terus emang gue sempet denger gosip tentang elo sih."
"Gosip apaan?" Nathan mengernyit.
"Iya, masalah lo yang jalan sama cewek bikin heboh banget. Gue bisa nebak kalau sebentar lagi anak-anak bakal tahu tentang dia," ucapan Arga membuatnya bungkam seketika. Ah, bagaimana kalau Naina tahu?
***
"Hai, Mantan!"
Lelaki yang tengah menuangkan minuman itu mendongak lalu terkekeh mendapati Dinda melambaikan tangannya diiringi senyuman lebar. "Hai juga mantan!" balasnya lalu melengos mendapati sosok di belakang gadis itu, "apaan lo? Gue gak bakal nyapa lo ya, sorry."
Reno yang hendak mengangkat tangannya cemberut, segera mengikuti Dinda yang sudah terlebih dahulu memilih tempat duduk.
"Tumben udah ke sini?" tanya lelaki bertubuh tinggi yang kini menyerahkan kopi favorit keduanya. Ia sudah sangat hafal karena mereka terlampau sering datang.
"Gak ada kelas lagi," jawab Reno selesai menyeruput minumannya, "lo sendiri gak kuliah, Vin?"
Gavin menggeleng. Selain kuliah, lelaki itu memutuskan untuk bekerja paruh waktu dengan alasan menambah pengalaman. "Gue kalau Kamis gak ada jadwal," jawabnya kemudian mengalihkan tatapan pada Dinda. "Maura gimana kabarnya, Din? Dia udah jarang banget main ke sini. Gue kangen."
"Sama gue enggak?" tanya Dinda menumpukan dagunya dengan senyuman menggoda. Hal tersebut menimbulkan decakkan dari kedua lelaki itu. "Jangan bilang lo belum bisa move on dari gue?"
"Ah, lo tau aja sih kalau gue masih sayang sama lo?" Dinda menampakkan senyum sok manisnya. Reno yang melihat itu langsung mendorong dahi Dinda hingga hampir terjengkang. "Aws! Lo kejam banget sih, Ren!"
"Awas aja ya kalau kalian coba-coba main belakang." Reno memancarkan tatapan lasernya. Gavin menepuk keras bahu sahabatnya. "Ya elah santai kenapa sih, Ren. Lagian juga gue gak suka nikung temen sendiri."
"Iya sih. Lagian gue juga udah gak ada perasan tuh!" timpal Dinda. Mereka saat ini memang murni hanya sebatas teman. Terlebih Gavin sangat dekat dengan adiknya.
"Sukur deh kalau gitu. Gue cuma takut aja ada baku hantam lagi kayak dulu," singgung Reno mengingat kejadian beberapa tahun lalu ketika Nathan mempermainkan Maura dan Gavin sebagai sosok yang sudah menganggap gadis itu sebagai adiknya tak main-main menghajar Nathan, melupakan fakta bahwa Nathan adalah sahabatnya.
"Gak bakal ya elah, kecuali kalau Nathan emang pingin gue hajar lagi," ucap Gavin, "Din, kalau entar Nathan nyakitin lo bilang sama gu-"
"Gak usah," potong Reno, "lo kok ngerasa jadi cowok paling bener aja sih? Lupa ya, siapa yang dulu buat Dinda nangis?"
Mendengar hal itu sontak Gavin mendengkus. Sahabatnya yang satu ini memang pandai sekali membuatnya mati kutu. Dinda sendiri hanya bisa menahan tawa melihat ekspresi keki Gavin. Tatapan gadis itu beralih keluar jendela, bunga-bunga di halaman Cafe terlihat segar dan berwarna-warni, membuatnya betah untuk berada di tempat itu. Gue harap Nathan gak akan pernah lakuin itu, Vin.