Seungmo sudah siap dengan pedangnya namun ia tak menemukan apapun di antara keramaian. Suasana pasar tampak seperti biasanya, hanya saja sebagian barang-barang milik para pedagang tampak berantakan. Kedua mata Seungmo menelusuri ke setiap sudut pasar, namun ia tak menemukan hal yang mencurigakan. Bahkan setetes darah pun tak ia temukan di sana.
"Ada apa ini?" Seungmo menyarungkan lagi pedangnya dan berjalan menghampiri penduduk yang terduduk di permukaan tanah.
"Seorang pencuri baru saja ke sini dan membuat kekacauan. Dia mengambil beberapa buah dan pergi dengan cepat, entah apa saja yang dia ambil," jawab salah seorang pedagang.
Kedua alis Seungmo saling bertaut. Ia menatap kekacauan di sekitarnya, lalu beberapa saat kemudian Tuan Hwang berlari ke arahnya dengan raut wajah yan sulit diartikan.
"Ada apa ini?" Tuan Hwang menatap keadaan di sana. Namun, Seungmo justru terfokus pada ekspresi lain di wajah milik Tuan Hwang.
"Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu? Apa ada sesuatu yang lain?"
Tuan Hwang seketika mengubah mimik wajahnya dan menunduk. Dengan lirih ia berkata, "Yooshin pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku."
"A-apa?"
"Kurasa dia pergi untuk mencari Nara." Raut menyesal tercetak di wajah itu. Tuan Hwang menyayangkan kepergian putranya dari rumah demi Nara. Pasalnya, ia juga turut menyesal atas apa yang menimpa Nara, namun ia tak bisa berbuat banyak.
"Orang-orang berkata kalau peti itu sudah tak terlihat lagi. Hanya ada kecil kemungkinan Nara bisa selamat. Apalagi cucuku it tidak bisa berenang." Seungmo menghela napasnya pelan.
Tuan Hwang tertegun. Dia benar-benar terkejut atas apa yang dilakukan oleh Seungmo pada cucunya sendiri. "Bukankah Tuan melakukan semua ini untuk menarik Moa? Tapi bagaimana jika Moa tahu kalau Nara sudah mati? Bukankah akan sangat gawat? Moa mengincar keturunan Kiara sejak dulu."
"Aku tetap berharap cucuku selamat, bagaimana pun keadaannya nanti."
"Semua pohon ek di perbatasan sudah dibakar habis, lalu Anda menyingkirkan Nara yang merupakan penjaga desa ini. Jika semua ini hanya akan berakhir seperti ini, berarti semua yang sudah Nara lakukan akan menjadi sia-sia. Bukan hanya Nara yang menjadi korban, tapi penduduk juga. Jika Moa mengamuk, tak akan ada lagi yang bisa mengendalikannya. Apa Anda tidak berpikir ke sana?"
Seungmo tiba-tiba berlutut, membuat orang-orang di sana menatap ke arahnya.
"Aku tidak bisa membiarkan Nara merasakan sakit lebih lama. Luka yang dia derita kemarin, tak akan sembuh bahkan dengan obat apapun. Hanya Moa yang bisa menyembuhkannya, dan satu-satunya cara adalah memberikan Nara padanya. Itu sama saja seperti memberi makan harimau kelaparan. Nara pada akhirnya akan mati di tangan Moa sama seperti ibunya dan aku tidak mungkin membiarkan hal seperti itu terjadi lagi." Air mata Seungmo menetes. "Aku juga tidak ingin melakukan ini. Jika Moa mengamuk, biarkan saja aku yang dijadikan umpan kemarahannya. Kau bisa menggunakan panah milik Nara dan juga pedang milik Daehyun untuk membunuh kami."
***
Nara menatap sesuatu yang dibawa oleh Moa. "Kau ... mendapat ini dari mana?"
Moa melepas topi yang dikenakannya dan duduk di tempat yang mirip seperti singgasana. "Aku pergi ke pasar dan mengambilnya. Aku tidak membunuh manusia di sana. Yah, meskipun aku ingin," ujarnya.
"Kau mencurinya?" Kedua mata Nara membulat.
"Aku tidak punya uang, lagi pula aku tidak butuh. Cepat makan saja, kau pasti lapar. Atau kalau kau tidak mau, pergilah cari ikan sendiri di sungai. Manusia memang merepotkan." Moa membuang pandangannya dan pergi dari sana.
Nara menatap beberapa buah di hadapannya. Lalu metanya menatap sebuah hanbok berwarna merah muda yang juga ada di sana. Gadis itu terdiam. Apa Moa juga membawa hanbok itu untuknya?
Di luar, Moa tampak melihat-lihat keadaan di sekitar hutan. Burung-burung tampak berkicau dengan riang. Ia lalu duduk di atas sebuah akan pohon besar yang menyembul, menatap ke arah dedaunan di atasnya yang begitu rindang.
"Aku tidak akan berbohong. Mari bertemu di perbatasan hutan, dan aku akan datang padamu."
Api berwarna kebiruan lantas menyala di ujung salah satu telunjuknya. Kalimat penuh kebohongan itu tak akan lenyap dari kepalanya. Nyatanya, Kiara datang dengan diikuti penduduk secara diam-diam. Manusia adalah pendusta paling hebat, itu yang sampai detik ini Moa tanamkan pada dirinya. Kiara berniat membunuhnya, tepat setelah perjanjian itu dilakukan.
Namun hal yang paling Moa sesali dalam hidupnya ialah, ia yang terlalu lemah pada sosok Kiara. Ia ... jatuh cinta cukup dalam pada wanita itu hingga membunuhnya dengan keji, tepat di depan mata putrinya sendiri yang masih belia.
Moa hampir saja mengeluarkan pedangnya begitu mendengar suara langkah kaki mendekat namun ia urungkan saat menyadari kalau itu Nara. Ia lantas kembali membuang pandangannya. Sebuah tangan lalu menyodorkan jeruk padanya.
"Kau juga harus memakan ini," ujar Nara pelan. Tanpa persetujuan, ia lalu meletakkan jeruk itu di tangan dingin milik Moa dan duduk tidak jauh di dekatnya.
"Dari pada memakan ini, akan lebih baik jika aku memakanmu."
Nara tersentak pelan dan menelan ludah, lalu menggeser tubuhnya semakin menjauh.
Moa tersenyum miring. "Kau tidak akan pernah bisa membunuhku jika rasa takut itu masih bersarang dalam dirimu. Kupikir kau lebih berani dari ibumu. Tapi kurasa dugaanku salah. Kau hanya gadis biasa tanpa peralatan memanahmu itu. Jika kau tak kuselamatkan, kau pasti sudah membusuk atau dimakan oleh ikan-ikan yang ada di lautan." Ia melemparkan jeruk itu pada Nara dan langsung ditangkap dengan baik oleh gadis itu. "Kau saja yang makan." Ia menatap sungai di bawah sana.
"Aku tidak menaruh racun apapun di sana, jadi kau tidak perlu khawatir." Moa kembali berujar.
"I-ini ... "
Moa menoleh dan menatap jeruk yang sudah dikupas oleh Nara. gadis itu menunduk, seolah tak berani menatap matanya.
"Makanlah. Aku ... hanya merasa berhutang budi-" Kalimat Nara terputus saat kakinya tak sengaja terpeleset akar dan tubuhnya limbung. Moa dengan sigap menangkapnya saat tubuh Nara hampir terjun ke lereng di belakangnya. Buah yang berada di tangan Nara itu pun langsung menggelinding ke bawah sana.
Detak jantung Nara berpacu cepat. Ia pasti sudah mati jika jatuh ke bawah sana.
Moa mendorong tubuh Nara agar menjauh dari tubuhnya. "Manusia memang merepotkan," ujarnya.
Nara mengerucutkan bibirnya dan menunduk. Ia masih terkejut sekaligus bersyukur karena ia lagi-lagi ditolong, meskipun itu oleh Moa.
"Kau sangat ceroboh dan keras kepala."
"Maaf." Nara kembali duduk di tempatnya tadi. Ia memeluk kedua lututnya, lalu sesekali melirik Moa secara diam-diam. "Apa kau ... tidak bosan hanya sendirian di sini?"
Kedua mata tajam Moa lantas meliriknya, membuat Nara dengan cepat kembali menunduk.
"Kau pikir siapa yang membuatku jadi sendirian, hm? Kau lupa kalau itu ulah kedua orang tuamu? Semua orang di desa berkata kalau aku berbuat keji, tanpa mereka berpikir kalau apa yang mereka lakukan bahkan lebih keji. Dua manusia yang mereka banggakan itu membantai habis seluruh bangsaku. Jadi menurutmu jika aku membalas dendam atas kematian semua keluargaku, apa aku melakukan hal yang salah? Apa aku yang sepenuhnya salah? Memaafkan itu sama sekali tidak semudah yang kau bayangkan," ujar Moa.
"Dan aku juga tidak bisa diam saja karena kau penyebab kematian ayah dan ibuku." Nara membalas.
Salah satu sudut bibir Moa naik. "Kalau begitu tak usah marah. Kita berada di posisi yang sama. Bukankah itu menarik? Kita sama-sama saling membalaskan dendam."