Chapter 3

1245 Kata
"Lepaskan!" Nara segera melepaskan anak panah di tangannya dan benda itu langsung menancap sempurna di tubuh pohon yang sudah diberi tanda oleh kakeknya. Seungmo berjalan ke pohon itu untuk melihat hasilnya. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dan segera mencabut busur yang menancap itu. "Sedikit lagi. Sudah ada peningkatan," ujarnya. Nara tersenyum. Kemampuan memanahnya sudah mulai berkembang. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki rasa takut, tapi dia yakin kalau dia akan sehebat sang ibu yang hebat dalam memanah, juga seperti sang ayah yang handal dalam memainkan pedang dan turun ke medan perang. Nara tahu, perang yang akan dia alami bukanlah seperti perang pada umumnya. Musuhnya hanya satu, tapi di dalamnya tersimpan ratusan atau bahkan ribuan jiwa-jiwa manusia yang tak berdosa. Termasuk jiwa kedua orang tuanya. Bersamaan dengan itu seseorang berlari memasuki halaman rumah dengan napas memburu, membuat Nara dan Seungmo menoleh ke arahnya. "Tuan, gawat! Dua orang dinyatakan hilang dan mayatnya ditemukan tergeletak di dekat pohon ek di perbatasan dengan luka di punggung." "Apa? Apa yang mereka lakukan di sana? Apa mereka tidak tahu kalau tidak ada satu pun yang boleh mendekat ke sana?!" Dengan langkah lebar, Seungmo dan Nara berjalan mengikuti pria itu. "Tidak, Nara! Kau jangan ikut!" cegah Seungmo. "Apa? Kenapa?" "Kau sebaiknya tetap berada di sini dan jangan pernah mendekat ke sana. Ini terlalu berisiko untukmu. Bagaimana jika Moa sengaja melakukannya dan menjebakmu. Ingat, purnama masih tersisa satu malam lagi dan kau harus tetap aman." "T-tapi ... Kakek!" Nara menatap kakeknya yang sudah pergi dengan membawa pedangnya. Gadis itu menatap sebuah busur yang tadi dia gunakan. Salah satu tangannya mengepal kuat. Ia dengan cepat menarik sebuah anak panah dan melepaskannya hingga tepat mengenai titik berwarna merah di pohon itu. Sementara itu Seungmo kini sudah tiba di perbatasan. Dia menatap dua mayat yang tergeletak di sana. "Menurut beberapa saksi, mereka adalah sepasang suami istri Suaminya mengalami Alzheimer dan tersesat ke dalam Hutan Moa. Beberapa orang sudah mencoba menolong tapi istrinya nekat masuk sendirian. Kami hendak melaporkannya pada Tuan tapi tidak lama setelah itu mayat mereka seperti dilemparkan keluar hutan. "Sudah jelas ini ulah Moa," gumam Seungmo. "Bawa mereka ke desa. Pastikan tidak ada lagi yang masuk lagi ke hutan setelah ini." "Baik, Tuan!" Seungmo menatap deretan pohon ek di hadapannya. Moa benar-benar menuntut bayaran atas kematian semua kaumnya. Setelah membunuh Kiara, yang tidak lain adalah pendeta desa sekaligus ibu Nara, makhluk itu kini mengincar putrinya. Bahkan Daehyun yang merupakan ahli pedang dan sering turun ke medan perang pun tak bisa menghentikan Moa. Pandangan Seungmo lurus ke depan begitu netranya melihat sesuatu yang perlahan muncul di hadapannya, tepat di balik pohon ek. Kedua mata gelap itu lurus menatapnya, dengan sebuah pedang yang sudah berada di tangan. "Aku akan menghancurkanmu." Mata Moa mengkilap dan berubah menggelap. "Dan aku akan menghancurkan anak itu." "Kau tidak akan pernah bisa menyentuh Nara. Dia yang akan membunuhmu kelak. Kau tidak akan bisa mengalahkannya." Salah satu sudut bibir Moa naik. "Manusia memang bermulut besar. Kau, hanya tua bangka. Aku akan membantumu agar bisa pergi ke alam baka dengan cepat." "Apa yang kau inginkan? Kau sudah membunuh Kiara." "Jangan menyebut namanya!" Moa mengibaskan pedangnya hingga pohon-pohon ek itu bereaksi. Kening Seungmo berkerut. "Kau menginginkan semua penduduk desa mati? Kau ingin jiwa kami semua?" "Berikan anak itu padaku." "Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan Nara." Rahang Moa kian mengeras. Sekali lagi, dia mengibaskan pedangnya hingga pohon-pohon ek itu bergetar dan menjatuhkan bulir-bulir salju. "Aku akan mencabik-cabik jantungnya dan kukirim jiwanya ke neraka!" "Nara tidak salah! Kau tidak berhak membunuhnya!" Seungmo berujar dengan begitu lantang. "Manusia pembunuh!" Kuku-kuku tangan Moa perlahan memanjang. Netranya semakin menggelap. "Kau yang pembunuh, Moa. Kau membunuh semua penduduk. Kau membunuh Daehyun, dan kau membunuh Kiara." Moa bungkam telak. Tangannya yang semula mengacungkan pedang itu perlahan turun dan kembali ke sisi tubuhnya. Napasnya yang memburu perlahan berubah teratur. Kedua netranya masih menatap Seungmo, tanpa ada satu pun kalimat yang keluar dari bibirnya. Tubuh Moa menghilang di detik berikutnya. "Nara akan menjadi pendeta yang lebih kuat dari ibunya." *** Nara menyibak tirai untuk melihat keadaan di luar. Hari sudah malam dan bulan mulai terlihat. Begitu terang, hingga gadis itu bisa melihat pohon-pohon yang dilewatinya. Kini dia berada di dalam sebuah tandu yang dibawa oleh empat orang pria untuk dibawa ke tempat ritual. Di sana, dia yang akan memimpin doa bersama penduduk desa. Memohon kepada Dewa dan memohon keselamatan. Nara mengenakan hanbok berwarna putih, dengan busur dan anak panah yang berada di punggungnya. Jika sudah dewasa, pedang milik mendiang ayahnya akan turut serta bersamanya, akan dia genggam begitu kuat setiap kali malam purnama. Namun kali ini sang kakek-lah yang memegangnya. Pria tua itu kini berjalan di barisan paling depan, tepat di depan tandu yang dinaiki Nara dan memimpin orang-orang di belakangnya. Tidak lama kemudian tandu diturunkan di depan sebuah kuil. Nara keluar dan berjalan menaiki satu per satu anak tangga. Nara menyalakan satu per satu lilin lalu bersimpuh, diikuti oleh semua penduduk di belakangnya. Gadis itu merapatkan kedua telapak tangannya dan mulai berdoa dan merapalkan mantra yang sudah diajarkan kakeknya. Mantra yang dia ucapkan kelak akan memperkuat segel di pohon ek, selama hati sang pendeta bersih. Nara perlahan meletakkan peralatan memanahnya di sebuah meja di hadapannya. Bersamaan dengan itu, Seungmo berjalan menaiki tangga ke arahnya dan memberikan pedang milik Daehyun dan kembali ke tempatnya. Nara menerimanya dan meletakkannya bersama dengan busur milik ibunya. Dia kembali berdoa. "Ayah, Ibu, tolong lindungi kami. Pinjamkan kami kekuatan kalian. Dewa akan memberkati kalian di surga." Air mata gadis itu hampir menetes. Di usianya yang bahkan belum menginjak sepuluh tahun, Nara harus menanggung beban yang begitu berat untuk anak seusianya. Di saat teman-temannya bermain bersama, Nara justru harus tetap berlatih menggunakan panah dan pedang, sesekali pergi ke kuil untuk berdoa. Setiap kali selesai berdoa, pendeta akan mengambil dua buah biji ek yang sudah diberkati dan menanam salah satunya sekitar kuil. Sementara yang satunya akan ditanam di perbatasan desa dan hutan Moa, lalu biji itu akan tumbuh besar yang diharapkan menjadi perisai utama desa dari ancaman Moa. Selesai mengubur biji ek itu, Nara menatap beberapa pohon ek yang sudah tumbuh besar. Beberapa tahun sebelum saat ini, ibunya-lah yang selalu melakukannya. Nara selalu melihat bagaimana ibunya berdoa. Nara selalu ikut ke kuil dan selalu duduk di antara ayah dan kakeknya. Dari bawah, dia bisa melihat sisi lain dari sang ibu. Kiara adalah pemilik hati bersih yang sesungguhnya. Dialah wanita hebat, yang selama bertahun-tahun bertaruh nyawa bersama Daehyun untuk melindungi para penduduk. Dialah wanita hebat yang sudah berhasil melenyapkan banyak Moa. Namun dia lengah terhadap salah satunya dan terbunuh. Di tempat lain, ujung pedang milik Moa bergetar pelan hingga membuat sang pemilik menghentikan laju larinya menuju perbatasan. Pedangnya bereaksi, itu artinya Nara berada tidak jauh dari posisinya. Gadis itu kemungkinan tengah berada di perbatasan untuk mengubur biji ek di sana. Moa kembali bergerak cepat. Tepat seperti dugaannya, Nara terlihat berada di sana bersama beberapa orang, termasuk kakeknya. Dengan balutan hanbok berwarna putih, anak itu tampak begitu mirip dengan ibunya. Nara menegakkan tubuhnya kembali. Dia berdiri setelah selesai menanam biji ek. Tepat sebelum dia berbalik, netranya menangkap sesuatu yang berada jauh di depan sana. Sesuatu yang mengkilap itu, Nara tahu. Salah satu anak panahnya bereaksi. Seperti dugaannya, Moa pasti menyadari keberadaannya di sana dan ia mendekat. Samar-samar kedua matanya bertumbuk dengan mata milik Moa. Mungkin di sana hanya dia yang menyadari keberadaan makhluk itu, karena orang-orang di belakangnya tengah bersimpuh dengan kepala menunduk. "Moa ... " ujarnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN