Dengan ditemani oleh Yooshin, Nara pergi ke beberapa tempat yang ada di desa. Orang-orang tampak beraktivitas seperti biasanya. Begitu mereka melihat Nara di sana, sebagian menyambutnya dan bahkan terharu sekaligus begitu bersyukur karena bisa melihat Nara lagi dalam kondisi gadis itu yang baik-baik saja setelah semua yang terjadi. Ada beberapa pula yang terkejut dan tidak menyangka karena ternyata Nara benar-benar selamat, lalu ada juga yang merasa bersalah dan malu.
“Aku senang mereka menyambutmu dengan baik. Orang-orang sangat khawatir padamu,” ujar Yooshin.
Nara menatap ke sekitarnya seraya tersenyum tipis. “Aku sudah memaafkan mereka,” lirihnya.
Yooshin menoleh. “Hm?”
“Aku … sudah memaafkan mereka.” Nara mengulang kalimatnya.”Semua yang telah mereka lakukan padaku, sudah aku maafkan.”
Yooshin terdiam sejenak, lelaki itu tersenyum kecut dan mengusap bahu Nara. Lalu bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil berlari ke arah Nara dan Yooshin dengan begitu antusias, bahkan gadis kecil itu terlihat berurai air mata, membuat Nara terkejut melihatnya.
Gadis yang tingginya hanya mencapai perut Nara itu pun memeluk erat dengan tangis yang semakin pecah. Nara menatap Yooshin dengan pandangan terkejut. Ia lalu mengubah posisinya menjadi berlutut untuk menyamai tinggi anak itu. Ia mengusap kedua matanya yang basah lalu menangkup kedua pipi anak itu.
“Kenapa kau menangis, hm?” tanya Nara.
Gadis kecil itu masih terisak pelan, lalu kembali memeluk Nara erat. “Aku takut Nona pendeta tidak akan kembali! Aku takut jika sesuatu terjadi kepada Nona Pendeta!” Ia kembali menangis.
Nara mengusap punggung anak itu, berusaha menenangkannya sebisa mungkin. Bagaimana pun, apa yang telah ia lakukan selama ini sudah membuat seorang gadis kecil menangis dengan begitu hebatnya seakan takut kehilangan orang yang paling berharga di hidupnya, dan Nara tak pernah membayangkan sebelumnya kalau ada anak semuda itu yang merasa begitu peduli padanya.
“Kau benar-benar khawatir padaku, hm? Kau takut aku tak kembali?” Nara kembali menangkup wajah anak itu.
Gadis kecil itu mengangguk dengan kedua sudut mata yang basah. “Aku sangat beryukur kalau Tuan Yooshin bisa membawa Nona Pendeta kembali ke desa dengan keadaan selamat. Aku benar-benar lega. Nona Pendeta adalah orang yang baik dan Nona Pendeta pernah menolongku, membelikanku ini.” Ditunjukkannya sebuah norigae yang pernah dibelikan oleh Nara.
Kedua sudut bibir Nara naik. Ia menatap norigae itu dengan begitu terharu, kedua matanya lantas berkaca-kaca. “Aku tidak menyangka kalau kau benar-benar menyimpannya dan bahkan masih mengingatku dengan baik.” Ia mengusap puncak kepala anak itu.
“Dia selalu menanyakanmu setiap kali bertemu denganku. Kurasa anak ini adalah penggemar beratmu,” ujar Yooshin seraya terkikih pelan.Ia pun mengusap kepala gadis kecil itu dengan gemas.
Mereka kemudian berjalan-jalan bersama, sesekali mendengarkan celotehan gadis muda yang beberapa saat lalu menangis.
“Cuacanya cerah sekali. Ah, apa Nona Pendeta sudah pergi ke kuil hari ini? Aku melihat pohon ek di sana tumbuh menjadi semakin tinggi dan besar, aku senang sekali melihatnya karena mereka tumbuh dengan baik dan aku percaya pohon-pohon itu bisa melindungi kuil.”
Nara tersenyum. “Menurutmu begitu?”
“Hm.” Anak itu mengangguk dengan begitu semangat. “Apalagi sekarang Nona Pendeta sudah kembali, aku yakin kalau kita semua akan aman. Dan kita semua akan melindungi Nona Pendeta juga agar tidak diambil lagi oleh mahluk menyeramkan itu. Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi lagi,” tegasnya.
Nara tertawa pelan. “Terima kasih sudah mau melindungiku, ya. Aku beruntung sekali bisa mengenalmu.” Ia mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan membentuk senyuman, namun dalam hatinya ia bereaksi sebaliknya.
Andai saja gadis kecil itu tahu apa yang sudah dilakukan orang-orang desa terhadap dirinya, batinnya.
Mereka bertiga mengunjungi salah satu kedai makan dan makan bersama di sana. Namun baru saja beberapa suap, Nara tiba-tiba berhenti dari aktivitasnya dan ia justru teringat saat ia dan Moa pergi ke salah satu desa dan menghabiskan waktu bersama di sana, salah satunya makan bersama.
“Ada apa?” tanya Yooshin saat menyadari perubahan ekspresi Nara.
Gadis itu tersenyum tipis dan kembali melahap makanannya. “Tidak ada.”
“Kau tidak suka makanannya?” Yooshin kembali bertanya.
“Ah, tidak juga. Rasanya enak, kok. Aku menyukainya.” Nara tersenyum.
***
“Kau dari mana?” tanya Seungmo begitu melihat cucunya baru pulang.
Nara menatap kakeknya sekilas lalu kembali melangkah masuk ke dalam rumah. “Aku pergi dengan Yooshin. Hanya berjalan-jalan di sekitar sini, tidak jauh,” jawabnya.
Seungmo menghela napas menatap punggung cucunya yang semakin menjauh. “Sesuatu yang salah pasti terjadi selama dia berada di hutan,” lirihnya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku merasa Nara berubah semenjak dia pulang dari hutan. Dia seperti bukan cucuku.” Ia kembali menghela napas. Ia begitu takut dan khawatir kalau apa yang pernah dialami Kiara akan terjadi dan dialami oleh Nara. Seungmo tidak pernah menginginkan itu kembali terjadi.
Namun begitu mendengar kalau Nara sempat pergi bersama Moa ke suatu tempat, hal itu membuat Seungmo kian merasa cemas. Akan jadi masalah baginya jika Nara sampai mengambil tindakan yang salah dan itu akan mengancamnya. Dan yang paling berbahaya lagi, jika Nara dan Moa saling jatuh cinta.
Persis seperti apa yang dialami oleh Kiara dulu.
“Kiara pasti masih hidup jika saja dia tidak memiliki perasaan semacam itu terhadap makhluk seperti Moa,” ujarnya.
Beberapa bulan menjelang pernikahan Kiara, Seungmo merasakan ada yang aneh dengan putrinya itu. Ia sering kali pergi seorang diri ke Hutan Moa, secara diam-diam. Seungmo tak mengikuti langkah wanita itu, namun dia hanya menunggu dan bersmbunyi di perbatasan.
Kiara sering kembali menjelang sore, tanpa membuahkan hasil apa-apa. Bahkan semua pakaian dan anak-anak panahnya utuh dan juga bersih dari darah. Yang artinya, Kiara ke hutan tidak untuk membunuh Moa, karena mustahil bagi manusia sepertinya untuk mengalahkan Moa sendirian dengan tangan kosong, tanpa senjata satu pun, apalagi dia wanita. Perbandingan tenaga mereka sudah jelas berbeda.
Seungmo menghela napas berat mengingat saat itu. Dia benar-benar tidak menyangka kalau sosok seperti Kiara, yang merupakan pendeta di desanya yang terkenal suxi, ternyata memiliki sisi gelap yang bahkan ikut terhisap ke dalam pedang Moa. Namun Moa sama sekali tak menghisap jiwa Kiara, mengingat wanita itu adalah seorang pendeta, yang apabila jiwanya ia hisap, maka akan menyebabkan masalah untuknya.
"Aku benar-benar minta maaf padamu, Kiara. Setelah bertahun-tahun berlalu, namun aku masih merasa bersalah padamu hingga hari ini, hingga detik ini. Aku benar-benar minta maaf," ujarnya. Seungmo mendudukkan tubuhnya dan ia menatap langit di atas sana. Mungkin di atas sana, Kiara dan Daehyun menatapnya dengan begitu kecewa.