Tubuh Nara seakan membeku saat material lembut itu menyapu permukaan bibirnya. Tubuh Moa perlahan kembai menjauh, dan menatap Nara yang masih tampak terkejut.
"Kau hanya perlu makan, tidak usah banyak bicara." Ucapan Moa membuat Nara tersadar dari lamunannya.
"I-iya, maaf." Nara menunduk.
Meskipun samar, Moa bisa melihat wajah Nara yang dihiasi oleh rona merah. Ia kembali menyuapkan sepotong kentang dan langsung disambut oleh Nara. Diam-diam, Nara memperhatikan wajah Moa.
"Wajahmu masih terlihat memar," ujar gadis itu pelan.
"Sudah tidak begitu sakit," ujar Moa. "Harusnya kau mengkhawatirkan pemuda itu."
Kedua mata Nara melebar. "A-aku yakin kau tidak membunuh Yooshin."
"Kenapa kau begitu percaya padaku?" ujar Moa.
"Aku tahu kalau kau bukanlah makhluk yang bisa dengan mudah berdusta. Aku yakin kau menepati perkataanmu."
"Dan kau sengaja melakukan hal itu?" tebak Moa.
Nara tersentak pelan. "A-aku--"
"Kau sengaja melakukannya agar pemuda itu berubah menjadi membencimu dan dia tidak akan lagi mencarimu karena tahu kau mengkhianatinya. Begitukah?" ujar Moa.
Nara terdiam. Ia menatap luka di kedua telapak tangannya. "Aku tidak bisa membiarkan Yooshin berada dalam bahaya secara terus-menerus. Aku ingin dia hidup seperti apa yang dia inginkan dan tidak memikirkan tentangku lagi. Aku di sini mulai sekarang."
Moa menyeringai tipis. Ia kemudian kembali menyuapi Nara dan langsung disambut dengan baik oleh gadis itu.
***
Semua orang berkumpul begitu Yooshin membuka kedua matanya. Lelaki itu perlahan bangkit dengan bantuan sang ayah dan juga Seungmo.
"Maafkan aku. Aku gagal lagi. Aku hampir membawa Nara pulang namun aku tidak bisa." Yooshin menunduk.
"Tidak apa-apa, Nak. Kau bisa beristirahat selama beberapa hari dan memulihkan kondisimu." Seungmo merengkuh tubuh Yooshin dan mengusap bahu lelaki itu. "Semua ini kesalahanku. Jika saja aku lebih bersabar sedikit lagi, maka semua ini tidak akan terjadi pada Nara, dan juga pada kita semua," tambahnya.
"Moa terlalu berbahaya untuk dilawan sendirian. Kekuatanmu tidak akan sebanding dengan makhluk itu," ujar Tuan Hwang.
"Kurasa aku terlalu memaksakan diri," lirih Yooshin.
"Kau sudah melakukan semampumu dan itu membuatku merasa sangat berterimakasih padamu sekaligus berhutang budi. Kau benar-benar sosok pria yang baik dan Daehyun sangat beruntung memiliki murid sepertimu." Seungmo berujar.
"Aku berharap kalau kemampuanku ini bisa setara dengan Guru Daehyun."
"Kau bisa, Yooshin. Ayah yakin kau bisa." Tuan Hwang menepuk bahu putranya.
"Apa Nara baik-baik saja di sana?" tanya Seungmo.
Yooshin terdiam selama beberapa saat. "Nara baik-baik saja. Kurasa dugaanku salah mengenai Moa. Semula aku begitu khawatir dengan kondisi Nara hingga rasanya aku tak bisa tidur, namun aku sedikit bersyukur gadis itu dalam keadaan baik-baik saja. Moa menjaganya dengan baik," jelasnya.
Tuan Hwang dan Seungmo menatap satu sama lain.
***
"Dingin sekali." Nara menatap keadaan di luar dan menyadari kalau hari sudah malam. Moa yang berada di sana menatap padanya. Ia membuat sebuah api unggun dan menghangatkan tubuhnya di sana.
"Kau bahkan bisa bertahan di cuaca dingin begini," ujar Nara seraya mendudukkan tubuhnya di sebelah Moa.
Moa meliriknya sekilas, lalu elepas mantel bulu tebalnya dan memakaikannya di kedua bahu Nara. "Kau lebih membutuhkannya," ujarnya pelan. Ia kembali berfokus pada api di depannya dan melempar beberapa kayu kering berukuran kecil ke dalam api.
"Lukamu sudah baikan?" tanya Nara.
"Bukankah seharusnya kau lebih memperhatikan luka milikmu. Luka di tanganmu itu tak akan pernah sembuh jika tidak aku sembuhkan. Kau mungkin tidak bisa memakai tanganmu lagi karena luka itu," ujar Moa. Kalimatnya membuat Nara langsung mengatupkan bibir. "Lain kali perhatikanlah kondisimu sendiri, jangan terlalu mempedulikan orang lain. Itu kelemahan terbesarmu," tambahnya.
Nara menatap kedua tangannya. Meskipun lukanya mulai mengering, namun ia masih bisa merasakan sensasi panas seperti terbakar di sana. Ia masih kesulitan beraktivitas karena kondisi tangannya yang terluka. Nara membuang napas pelan.
"Kembalilah ke dalam. Di sini dingin, dan kau masih harus beristirahat," titah Moa.
Nara dengan segera berdiri. Ia berjalan perlahan ke dalam namun segera berhenti dan gadis itu bergerak kembali ke belakang.
"A-ada ular!!" Ia panik sekaligus ketakutan saat menemuka seekor ular di sana. Panik membuat Nara tak memperhatikan langkahnya dan hampir saja membuat tubuhnya terjerembap ke dalam api dan membakar habis mantel tebal milik Moa. Namun sang pemilik mantel itu seakan tak membiarkannya dan dengan cepat aia menari tubuh Nara sebelum gadis itu benar-benar menyentuh api. Moa meraih pedangnya dan langsung membunuh ular itu, lalu membuangnya jauh.
"Kau hampir saja membakar mantel milikku!" tegur Moa dengan nada tak bersahabat.
"Ma-maafkan aku," sesal Nara. Ia begitu ceroboh dan gegabah, yang lagi-lagi membuatnya hampir kehilangan nyawa untuk yang ke sekian kali.
"Sana kembali ke dalam. Tidak akan ada apa-apa di dalam sana. Dan berhati-hatilah, jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada mantel itu," ancam Moa. Kedua mata tajamnya menatap Nara hingga tubuh gadis itu menghilang dari pandangannya.
Moa mengembuskan napas pelan. Ia lalu mendongak dan menatap langit yang tampak begitu cerah dengan bintang-bintang yang tampak bersinar terang. Jumlah mereka yang tak terhitung di atas sana membuat langit tampak berkali-kali lipat terlihat begitu menakjubkan.
Terkadang Moa merasa menyesali perbuatannya sendiri. Seharusnya ia tidak melakukan kesalahan yang sama untuk yang kedua kali.
***
"Pakailah ini ke mana pun kau pergi, dan berlatihlah menggunakan pedang dan panah bersama Kakek. Jika Ibu dan Ayah pergi, kami tidak akan khawatir dengan keselamatanmu. Kau harus bisa melindungi diri dan juga orang-orang di sekitarmu, Nara. Ibu yakin kau pasti bisa."
"Ibu ... "
"Ibu akan selalu bersamamu sampai kapan pun. Jadi jangan pernah takut dan teruslah melangkah ke depan, kau adalah gadis yang kuat."
Nara membuka kedua matanya dan ia melihat Moa yang entah sejak kapan sudah berada di sebelahnya.
"Kau sudah sadar?" tanyanya.
Nara mengatur napasnya dan menyeka keringat yang membasahi dahinnya. Tunggu! Nara merasa ada sesuatu yang berbeda dengan tangannya. Ia lalu menatap kedua tangannya dan luka-luka itu menghilang secara ajaib dari sana.
"Kau pasti begitu kesakitan hingga kau mengalami mimpi buruk," ujar Moa.
"Kau ... yang mengobati ini?" Nara menatap Moa.
"Hm. Sudah kubilang kalau kau tak akan kuat menahan rasa sakitnya jika aku melakukannya saat kau daam keadaan sadar. Apa yang ada di dalam mimpimu barusan, bisa jadi salah satu bagian dari rasa sakitmu. Yaitu kehilangan." Moa menutup sebuah kantung berukuran kecil yang sebelumnya pernah ia gunakan untuk mengobati luka Nara saat gadis itu dijatuhkan ke laut.
"Kau harus bisa menerima kenyataannya, mau tidak mau. Semuanya sudah memiliki garis takdir masing-masing, tidak terkeciuali aku dan juga kau." Moa beranjak dari tempatnya dan ia berlalu dari hadapan Nara.