Chapter 24

1014 Kata
"Aku tidak akan pernah lagi membiarkan Yooshin pergi ke hutan itu." Tuan Hwang membuang napas pelan melihat keadaan putranya. Yooshin terlihat belum sadarkan diri. "Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku," ujar Seungmo. "Anda tidak bersalah, Tuan. Akulah yang lalai dalam memperhatikan putraku. Harusnya aku melarangnya pergi ke sana lagi. Dia sudah beberapa kali menghadapi situasi yang berbahaya yang bisa mengancam nyawanya, aku tidak bisa membiarkannya menghadapi hal seperti itu lagi." *** "Kakekmu, Kim Seungmo, adalah manusia picik yang juga aku benci hingga detik ini. Dia penyebab dari semua ini. Dia mengadu-dombakan aku dan juga ibumu. Dia tahu kami membuat kesepakatan dan dia mengacaukan segalanya. Dia dan juga orang-orangnya membunuh penduduk lalu berkata pada Kiara kalau akulah yang membunuh mereka semua." "Ibumu marah dan menyudutkanku. Dia dan ayahmu diam-diam masuk ke dalam hutan di malam purnama dan membunuh semua keluargaku. Dia membunuh mereka saat mereka dalam kondisi lemah karena purnama. Dan aku tidak menyangka kalau putri kesayangannya ini justru melakukan hal yang sebaliknya. Putrinya justru berkata kalau ia tak tega membunuh mahluk yang sudah membunuh kedua orang tuanya saat makhluk itu dalam kondisi lemah. Dia benar-benar pintar menyia-nyiakan kesempatan besar." "Lalu kenapa dia sampai membuangmu? Dia membuangmu ke laut. Bahkan saat kondisimu hampir sekarat dan dia masih berpikir untuk membunuhmu dan menyingkirkanmu dari hadapannya. Dia dengan mudah menganggapmy tak berguna. Lalu dia menyuruh orang-orangnya untuk membakar perbatasan hutan, membiarkanku masuk ke wilayahnya dan membunuh manusia yang ada di sana. Berharap orang-orang akan mengejarku dan membunuhku." "Aku tidak tahu yang mana yang harus aku percayai." Nara memeluk kedua lututnya dan memejamkan kedua matanya. Dia seketika diliputi dilema. Nasibnya bahkan seolah tak berubah jika ia memilih pergi dari hutan atau tetap tinggal di hutan, karena pada akhirnya, Moa akan tetap membunuhnya dan mungkin makhluk itu akan membantai habis warga desa sebelum benar-benar mengakhiri hidupnya. "Jika kakek adalah dalang dari semua ini, artinya ibu adalah korban. Ibu dan Moa diadu domba sehingga timbul kesalahpahaman di antara mereka berdua, lalu berakhir saling membunuh." Nara lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke atas langit yang biru. "Tidak akan ada harapan untukku. Entah aku memilih pergi atau tinggal di sini, aku akan berakhir mati. Jika aku kabur, Moa akan dengan cepat menemukanku dan membunuhku, juga orang-orang di desa. Begitu pula jika aku tetap berada di sini, maka aku akan berakhir dengan nasib yang sama. "Dia akan mengakhiri hidupnya sendiri begitu selesai membunuhku," gumam Nara. *** Suasana di salah satu ruangan yang ada di kediaman Seungmo tampak sepi. Atmosfir di sana terasa lain dari biasanya, kedua pria itu terlibat sebuah pembicaraan yang cukup serius. "Kurasa kita sebaiknya diam dan tak bergerak dari sini," ujar Seungmo. "Lalu bagaimana dengan Moa? Bagaimana jika dia datang ke desa dan membuat kekacauan lagi?" Tuan Hwang menanggapi. "Moa sudah mendapatkan apa yang dia inginkan sejak lama. Artinya, selama cucuku berada di sana, Moa tidak akan kembali ke desa. Untuk itulah, kita harus melihat perubahannya. Kita beri waktu sekitar tiga bulan dan jika tak ada tanda-tanda Moa kembali ke desa, berarti benar, kalau cucuku membuat perjanjian dengannya tanpa sepengetahuanku," jelas Seungmo. Ia setengah tak percaya begitu mengetahui kalau Nara melakukan hal yang sama dengan apa yang mendiang ibunya lakukan dulu. "Tu-Tuan, lalu bagaimana kalau ternyata Nara sudah—" "Jika apa yang terjadi saat ini sama seperti apa yang terjadi pada Kiara, maka Moa juga tak akan membunuh Nara. Aku tahu ini sangat berisiko, namun kau bisa percaya padaku. Aku terpaksa melakukan semua ini karena sudah terlalu banyak korban berjatuhan dan aku tak bisa membiarkannya lagi." Seungmo menginterupsi. "Putramu juga sudah terlalu sering mengalami kesulitan karena ini. Jadi dia harus beristirahat dengan waktu yang cukup kali ini. Jangan biarkan dia pergi lagi ke hutan itu, jadi bicarakanlah hal ini secara baik-baik padanya." "Baiklah, akan aku bicarakan ini dengannya. Tapi apakah tiga bulan tidak terlalu lama?" "Kurasa itu waktu yang cukup. Jadi perintahkan orang-orang agar mereka tak ada yang masuk lagi ke kawasan Hutan Moa dan tinggalah di desa layaknya seperti biasa." Tuan Hwang menundukkan kepalanya. "Baik, Tuan." *** Hutan terlihat terang begitu bulan muncul ke langit. Nara mengamati permukaan bulan yang bersinar. Ia masih saja merindukan ibu dan ayahnya, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Kepalanya lantas menoleh saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Gadis itu tertegun selama beberapa saat melihat sosok dengan rambut putih berjalan ke arahnya. "Kau ... terlihat berbeda." Nara membuang kembali pandangannya dan melempar kayu berukuran kecil ke dalam kobaran api yang berada di hadapannya. Moa mendudukkan tubuhnya di sebelah gadis itu. "Aku terlihat lemah?" "Terlihat tua," ujar Nara pelan, namun masih bisa terdengar jelas oleh telinga milik Moa. "Kau seperti seorang kakek tua." Salah satu sudut bibir milik Moa naik. "Kau lagi-lagi berada di luar sendirian. Apa kau sudah terbiasa, hm? Kau tidak takut lagi dengan binatang buas di sini?" "Satu-satunya yang harus aku takuti itu adakah kau. Karena pada kenyataannya kau itu lebih menyeramkan ketimbang babi hutan atau semacamnya." "Karena itulah, kau tak bisa membunuhku, tidak lain karena kau takut." Moa menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Apa bisa sekali saja tidak membahasnya? Rasanya aku muak." Moa tertawa pelan. "Aku ingin bertanya lagi. Kekuatanmu melemah selama fase bulan purnama. Itu artinya, apakah kau akan tetap diam di hutan? Maksudku, di sini?" "Hm. Aku hampir tak bisa melakukan apa-apa Karena saat purnama tiba, kuku-kuku milikku juga tak bisa tumbuh." "Benarkah?" Nara menatap Moa dari atas hingga bawah. "Dengan tampilanmu yang sekarang, kau lebih terlihat seperti pria tua yang menemani cucunya," cibir Nara. "Lalu bagaimana dengan kekuatan yang ada di dalam pedangmu? Apa mereka juga ikut melemah?" Nara kembali bertanya. "Hm. Jika kau terluka karena pedangku di waktu purnama, kau hanya akan mendapat robekan di kulit dan lukanya tak terlalu dalam. Jadi aku jarang menggunakan pedangku saat purnama, karena rasanya tak asyik jika tak membunuh dengan ini," ujar Moa. "Kau pasti sudah tidak waras." Moa tertawa. "Kenapa? Toh pedang ini juga ditakdirkan untuk merenggut nyawamu, 'kan?" Nara seketika terdiam, membuat seringaian tipis tercetak di bibir Moa begitu melihat raut wajah Nara. "Kau benar-benar tidak bisa diajak bercanda. Selera bercandamu itu sangatlah buruk."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN