Chapter 1

1219 Kata
Beberapa orang tampak memasuki sebuah rumah dan meletakkan seorang gadis kecil di dekat perapian. Wajah gadis itu tampak begitu pucat dan berkeringat, bibirnya bergetar dan napasnya memburu cukup hebat. Dia ... tampak seperti sekarat. Seorang pria tua yang tadi membawanya langsung mengambil sesuatu yang berada di atas meja. Sebuah mangkuk yang terbuat dari kayu itu berisi cairan berwarna hijau pekat—bahkan cenderung kehitaman. "Minumlah," ujarnya seraya sedikit menegakkan tubuh gadis kecil di pangkuannya. Kening gadis itu berkerut begitu merasa ada cairan aneh yang mengalir ke melewati kerongkongannya. Kedua matanya perlahan terbuka. "Apa dia baik-baik saja?" tanya pria lain yang ada di sana. Si pria tua mengangguk. "Dia akan segera membaik," ujarnya dan membuka kepalan tangan gadis itu. Sesuatu tampak digenggamnya dengan begitu erat. Si pria tua menghela napas lega. "Badai salju yang mengerikan. Kita datang di waktu yang tepat," sahut yang lain. "Hal yang lebih mengerikan akan terjadi jika makhluk itu berhasil mengambil Nara. Beruntung anak ini selalu membawa norigae yang Kiara berikan. Benda ini berisi mantra dan akan selalu melindunginya dari roh jahat, tidak terkecuali Moa." Kedua mata sayu milik Nara menatap ke luar jendela begitu sang kakek membaringkan tubuhnya di sebuah ranjang kayu di dekat perapian. Badai salju di luar sana tak kunjung berhenti. "Kau bermain terlalu jauh, Nara. Tempat itu terlarang," ujar sang kakek seraya mengobati luka yang ada di leher cucunya. Darah tampak mengalir dari sana, dan ia tahu kalau luka itu berasal dari pedang milik Moa. "Untung kami segera datang. Aku yakin badai salju sekarang bukanlah badai salju biasa. Kurasa ini kemarahan Moa karena kami berhasil mengambilmu terlebih dulu." Salah satu pria yang tadi bersama kakeknya berkata demikian. "Dia terluka." Nara berujar pelan tanpa melepaskan pandangannya dari luar. Pohon-pohon di luar sana bergerak ke sana-kemari seperti hendak terlempar ke udara. "Kau yang terluka, Nak." Kakeknya membersihkan robekan yang ada di salah satu kaki cucunya. Lukanya cukup dalam, membuat darah segar itu tidak henti-hentinya mengalir. "Aku melihat ayah dan ibu di sana." Gerakan tangan kakeknya terhenti sejenak. "Mereka bukan ayah dan ibumu. Itu hanyalah Moa yang menyamar dan berencana membunuhmu." "Aku melihat mereka di sana. Mereka terluka." "Moa membunuh orang tuamu di sana, Nara. Kau tidak boleh ke sana lagi. Kau adalah penerus ibumu. Kau harus tetap melakukan ritual itu untuk melindungi desa ini. Kau tidak boleh mati. Hanya kau yang memiliki darah ibumu di sini." Sang Kakek menatap cucunya yang terdiam. Kedua mata gadis itu tampak mengkilap. Kepalan tangannya mengerat, menggenggam norigae pemberian dari mendiang ibunya. ~Flashback~ "Tunggu aku!" Nara berlari mengejar dua orang di depannya. Dia semakin jauh dari perbatasan tanpa disadari, meninggalkan desa tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. "Ayah! Ibu!" Nara mengerang saat salah satu kakinya tergelincir dan terperosok ke dalam semak berduri. Gadis itu meraih sebuah akar di dekatnya dan berpegangan kuat. Dia semakin terisak tatkala melihat salju di kakinya berubah menjadi kemerahan. Dia takut jatuh dan takut pada darah. "Ayah! Ibu! Tolong aku!" teriaknya dengan air mata yang berlinang. Namun sayang karena dia hanya sendiri di sana, tanpa kehadiran dua sosok tadi. Mereka entah menghilang ke mana dan meninggalkannya di sana, dengan hari yang semakin gelap. "Akh! sakit sekali!" erangnya. Tangannya terasa kebas dan juga semakin perih. "Tolong!" "Tolong!" Nara berteriak kuat, berharap ada seseorang yang mendengarnya namun tak ada seorang pun yang berani mendekat ke kawasan paling terlarang itu. "S-sakit," isaknya. Telapak tangannya sudah memerah dan hampir mengeluarkan darah. "Sakit?" Dengan pandangan yang semakin buram karena air matanya, Nara samar-samar bisa melihat sepasang kaki tidak jauh di depannya. Gadis itu mendongak dan melihat seseorang. Wajah Nara seketika memucat. Makhluk mengerikan di hadapannya tidak lain adalah pembunuh kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Sosok yang diyakini Moa itu perlahan melangkah mendekat, namun langsung berhenti begitu melihat sesuatu yang menggantung di baju gadis itu. Kedua matanya memicing dan kepalanya sedikit berdenyut. "Aku benci sesuatu yang berhubungan dengan ibumu." Ditariknya sebuah pedang dari sarungnya dengan perlahan. Permukaan pedang itu tampak berkilau karena terpaan sinar bulan yang sudah mulai menampakkan diri. "Aku akan menolongmu." Salah satu sudut bibir orang itu terangkat. Dia mengarahkan ujung pedangnya yang begitu tajam tepat beberapa senti di atas permukaan kulit leher Nara hingga napas gadis itu langsung tercekat. "Tapi pertama, aku harus menyingkirkan benda ini. Lalu aku bisa menyingkirkanmu." Ujung pedang itu bergerak ke bawah, tepat ke sebuah norigae yang menggantung di baju Nara. "Aku akan mencabik-cabik jantungmu dengan tanganku sendiri," lanjutnya. Tubuh Nara bergetar. Pedang itu adalah pedang yang digunakan untuk menghabisi nyawa ayah dan ibunya. Nara menggenggam norigae yang menggantung di bajunya dengan begitu erat. Air matanya sudah tidak bisa dia bendung lagi. Sosok di depannya, adalah makhluk berbahaya yang paling ditakuti di desanya. Nara kini dilanda dua ketakutan besar. Dia tidak bisa memilih. Jika dia terus di posisi itu maka dia akan jatuh ke jurang dan mati. Tapi di sisi lain Moa juga tidak akan benar-benar menolongnya, Nara tahu itu. Moa hanya mengincar nyawanya dan menginginkan kematiannya. Nara kembali berteriak begitu tubuhnya semakin bergerak ke bawah. Akar yang menjadi pegangannya seperti kehilangan kekuatan dan bersiap menerjunkannya ke dalam jurang di bawah sana. "Kau memiliki dua pilihan, Nak. Mati terperosok ke bawah sana dan jasadmu menghilang hingga membusuk, atau buang benda itu dan aku akan menolongmu." Moa menyeringai. Diarahkannya ujung pedang ke leher Nara hingga membuat gadis itu semakin ketakutan. "Sekarang pilih. Kau ingin mati di bawah sana, atau mati di tanganku?" ujarnya dengan begitu jelas. Kedua mata Nara menatap Moa dengan lehernya yang hampir tergores. Air matanya kembali jatuh. "A-aku tidak ingin mati .... " Nara berujar lirih. "Aku tidak ingin mati!!" Moa terdiam begitu kedua mata gelapnya bertumbukan dengan mata milik Nara. Tangannya mengepal kuat. Gadis kecil di depannya, kelak akan menjadi sumber ancaman baginya. Moa semakin mendekatkan ujung pedangnya hingga benar-benar menyentuh kulit leher Nara. Setetes darah segar terlihat menuruni leher gadis itu. Nara semakin menguatkan genggaman tangannya. Dia yakin, selama norigae itu ada padanya, Moa tidak akan pernah bisa membunuhnya. Kepala Moa kembali berdenyut. Telinganya menangkap sesuatu yang perlahan mendekat. Dia mendorong pedangnya semakin masuk ke dalam leher Nara hingga gadis itu mengerang dengan diiringi tangisan. Pedangnya, adalah satu-satunya yang bisa menangkal mantra yang ada di dalam norigae itu. Ya, itu artinya Moa tetap tidak bisa menyentuh Nara menggunakan tangannya secara langsung. "Ayah ... " Nara berkata dengan suara parau. Gerakan tangan Moa berhenti tatkala melihat air mata yang kembali jatuh dari kedua pelupuk mata milik gadis yang masih berumur delapan tahun itu. Dia masih anak-anak, batin Moa. Kedua matanya mengerjap. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini, dia harus segera menghabisi Nara. "I-ibu ... " Di detik berikutnya Moa menarik kembali pedangnya. Dengan cepat ia bergerak maju dan menarik tubuh Nara ke permukaan. Ia mengerang dengan tubuh yang seperti tersengat dan juga panas hingga terpental cukup jauh ke sebuah pohon besar yang ada di sana. "Nara!" Beberapa pasang kaki terdengar mendekat ke sana. Nara yang sudah kedinginan serta ketakutan itu seperti kehilangan suaranya. Gadis itu menatap sosok yang terbaring di bawah pohon, lalu sebuah panah melesat dan menancap di bagian dadanya. Ia mengerang dan menatap beberapa manusia yang ada di sana. Nara menatap kakeknya yang kembali memegang busur panah, namun meleset karena targetnya sudah melarikan diri dengan begitu cepat. "Nara!" Seseorang meraih tubuh Nara ketika pandangan gadis itu menggelap. ~Flashback Off~ Note: Norigae adalah aksesori khas Korea tradisional yang digantung pada hanbok (pakaian tradisional Korea).
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN