Pernyataan Perasaan

1067 Kata
Adel membuang muka darinya. "Aku pulang dulu." Gadis itu bersuara. Dengan mengumpulkan keberaniannya, Adel mendongak dan membalas manik hitam milik Dion. "Maaf aku udah nggak sopan ngeliat kayak tadi, padahal kita cuma teman." Dipaksanya tersenyum untuk walau nada bicaranya sudah bergetar. Dion yang tidak ingin melakukan kesalahannya dua kali langsung menarik tangan Adel untuk mengikutinya. "Ikut gue!" "Ki-kita mau ke mana?" Adel memberontak untuk melepas cengkeraman Dion di pergelangannya. Namun, Dion justru tambah mengeratkan pegangannya. "Yon, aku mau pulang aja," cicit Adel. Dion mengacuhkan Adel dan terus membawa perempuan itu menuju mobilnya. Tangannya yang lain merogoh kunci di saku celananya. "Izinin gue ngasih tau sesuatu ke lo," ujar Dion sambil membuka pintu mobilnya. Adel terdiam saat melihat pintu itu terbuka. Rasanya ia ingin berlari dan menjauhi Dion. Namun, sikap Dion yang keukeuh seperti ini membuat cewek itu tidak bisa menolak. Dapat dipastikan adegan drama yang sering ia tonton akan terjadi jika ia memutuskan untuk menolak cowok itu. Untuk itu Adel menunduk dan perlahan melangkah masuk ke dalam mobil. Saat melewati Dion, Adel dapat mendengar helaan napas lega dari lelaki itu. Ingin memberitahu sesuatu? Adel harap hal itu tidak membuatnya menjadi perempuan menyedihkan season dua *** Dion membawanya ke bangunan yang ditempati lelaki itu. Sebuah rumah minimalis yang terletak tidak jauh dari jalan raya. Ini pertama kalinya Adel mengetahui rumah Dion. Mengingat maksud Dion yang belum jelas membuat Adel kembali bertanya. "Kita mau ngapain? Kamu mau ngasih tau apa?" Dion melirik sekilas sambil membuka sabuk pengamannya. "Ayo, masuk." "Nggak bisa di sini?" Adel memegang sabuk pengamannya. Enggan melepas apalagi turun dan ikut masuk bersama lelaki itu. "Nggak bisa. Yang gue mau tunjukin ada di dalam." "Kalo dibawa ke sini?" "Del." "Yon." Dion menghela napasnya. "Percaya sama gue." Dion menatap dalam mata bulat Adel. "Please," mohonnya. Adel menggigit bibir bawahnya. Meskipun ia tinggal di negara bebas, Adel tidak pernah sekali pun melewati batas. Termasuk masuk ke dalam satu ruangan bersama laki-laki. Dion mengambil ponselnya yang ia letakkan di saku celana. Mengetikkan sesuatu di layar ponselnya kemudian menyodorkan kepada Adel. "Ini nomor polisi, kalo gue macem-macem lo bisa langsung pencet." Adel menatap ponsel milik Dion di hadapannya. Lalu ia bergeleng sembari membuka sabuk pengaman. "Nggak usah, aku percaya." Dion tersenyum tipis. "Terima kasih." Saat kakinya menginjak halaman depan rumah Dion, Adel menghirup udara dalam-dalam sambil meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Ia berharap sesuatu yang ingin Dion lihatkan kepadanya tidak akan menyakitinya. Untuk itu ketika Dion membuka pintu rumahnya, Adel justru menutup matanya. "Del?" Dion memanggil cewek itu. Keningnya bertaut kala melihat Adel yang malah tak bergeming. Perlahan kelopak mata perempuan itu terbuka. Tidak ada yang aneh. Matanya menyapu seluruh ruangan. Ruangan pertama yang ia masuki adalah ruang tamu. Terdapat sofa panjang dan meja panjang di sana. Meja kecil yang diletakkan di setiap ujung ruangan terdapat bingkai foto dan beberapa pajangan berupa miniatur kendaraan seperti becak, mobil, motor, dan sepeda. Adel sedikit takjub, untuk ukuran anak lelaki ruangan ini cukup atau justru sangat rapi. Tidak ada makanan atau bungkus makanan yang berserakan di lantai. Hanya beberapa jaket yang tersampir di sandaran kursi. "Maaf berantakan," kata Dion ketika menyadari mata Adel yang meneliti satu persatu sudut rumahnya. "Segini berantakan?" Dion mengambil jaket dan kausnya yang ia taruh di sandaran kursi. "Iya, berantakan ini," kata dia sambil ke arah belakang yang Adel tebak itu adalah ruangan cuci baju. "Enggaklah. Kamar Ardan tuh baru berantakan. Mm, kayak gudang lebih tepatnya." "Kalo lo sendiri?" Adel mengerjap. Apa Dion tahu bahwa dirinya sama berantakannya dengan Ardan? "A-aku, rapih juga kok." "Ahahaha!" Dion tergelak. "Becanda kali." Adel menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Suara tawa renyah Dion entah kenapa terasa enak di telinganya. Dion yang berada di depan menuntunnya masuk ke salah satu ruangan. Adel yang mengekorinya tidak langsung masuk. Ia membiarkan Dion untuk menyalakan lampu ruangan itu. Kepala Adel menyembul dari ambang pintu. Maniknya memutar mengabsen satu persatu benda yang tertempel di dindingnya. "I-ini...." Adel tergugup. Benda itu adalah lukisan dirinya saat SMA. Lukisan pertama adalah saat ia ospek di SMA. Menggunakan kucir lima dengan kalung permen dan kaus kaki berwarna merah muda. "Kamu tau aku?" "Kayaknya lo lupa kalau gue cowok yang waktu itu lo kasih sapu tangan." Dion mengambil kain kecil yang diujungnya tertulis nama Adel. Perempuan itu membulat tak percaya. "Yang cowo nyantai padahal udah kesiangan itu kamu?!" Dion terkekeh. Lalu Adel melihat lukisan ke dua. Ia yang sedang berjongkok sambil memegang kucing. "Gue pengendara motor yang lo panggil 'kak' saat itu. Lagi enak-enak berangkat sekolah tiba-tiba ada cewek ga jelas ngehalangin jalan gue." Adel terdiam. Jantungnya kini berdetak lebih cepat saat ia melihat lukisan selanjutnya. Seorang perempuan berambut pendek yang diberikan topi oleh seorang siswa. Dengan susah payah Adel menelan salivanya. "Topi itu bener punya kamu?" Suara tawa Dion kembali terdengar. "Padahal kita udah sering ketemu. Tapi lo masih nggak inget gue juga?" Adel menggigit bibir bawahnya. Dion mendekati Adel dengan satu tangan ia masukkan ke dalam celana. Berdiri di samping gadis itu dan kembali berkata, "Kita udah sering ketemu gini, tapi yang kenal duluan gue. Yang inget terus gue. Gue awalnya penasaran aja kok bisa lo masih nggak ngenalin gue. Tapi entah sejak kapan rasa penasaran gue jadi berubah." Dion menggantungkan kalimatnya. Ia menarik napas dan mengembuskan perlahan sebelum kembali melanjutkan. "Berubah jadi ketertarikan." Dion mengambil salah satu tangan Adel dan menuntun perempuan itu untuk melihat hasil karyanya yang lain. Selanjutnya adalah saat cewek itu membawa setumpuk buku. Kemudian saat cewek itu menuntun sepeda. Lalu, lukisan Adel dengan seragam putih abu-abu sedang memainkan piano. Setiap lukisan itu terdapat tanggal, bulan, dan tahun kejadian. Adel menutup mulutnya saat ia melihat tanggal dari lukisan bermain piano itu. Itu saat di mana ia masih kelas sebelas semester awal. Saat ia pikir belum ada satu pun orang yang mengetahuinya. "Jadi, orang pertama yang tau bakat aku bukan Ardan ... tapi ..." "Gue," jawab Dion dengan percaya dirinya. Air mata menggenang di pelupuk mata Adel. Ia tidak menyangka, di saat ia merasa tidak ada yang mempedulikannya justru saat itu ada satu orang yang selalu memperhatikannya. Saat ia merasa sendiri, justru dialah yang tidak menyadari kehadiran seseorang. "Maaf." Hanya itu yang Adel dapat sampaikan. Permintaan maaf atas ketidakpekaannya Dengan sekali tarikan di pergelangannya, tubuh ramping Adel sudah berada dalam dekapan lelaki itu. "Maafin aku—" "It's okay," potong Dion. "Gue lega bisa ngasih tau hal ini ke lo," bisik cowok itu tepat di depan telinga Adel. "Gue lega bisa memperlihatkan ke lo tentang perasaan gue."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN