Akhir Perjuangan

1003 Kata
"Kamu ngelamar aku?" "Kamu udah mau ngelamar aku waktu itu. Tapi aku udah nolak dengan alasan mau fokus kerja dulu." Kepala Dinda menunduk. "Aku ngerasa jahat banget. Aku yang ngejar kamu, aku juga yang nolak. Aku mau minta maaf ke kamu." Ardan bergeleng. Ia mengangkat dagu perempuan itu. Membuat kedua netra mereka bertemu. "Aku nggak keberatan kok. Aku bakalan nunggu kamu buat siap. Kayak kamu yang nunggu aku sampai aku siap ngejalanin hubungan sama kamu. Kita sama." Lelaki itu mengambil tangan Dinda dan mengecupnya sekilas. "Aku mau jadi bagian dari hidup kamu." Kemudian ia menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. "Makasih udah nembak aku duluan. Makasih udah lamar aku duluan. Tapi ... biar aku nanya lagi ke kamu." Ardan melepas pelukannya. Ia mengeluarkan sesuatu di kantong celananya. Sesuatu yang selalu ia bawa. "Apa kamu bersedia menghabiskan hari kamu bersama aku? Aku nggak bisa janji kalau aku bisa menjadi sumber bahagia kamu, tapi aku janji untuk selalu membantu kamu mencari kebahagiaan itu. Aku nggak janji untuk enggak menjadi sumber kesedihan kamu, tapi aku janji akan selalu berusaha buat ngehapus kesedihan itu. Apa kamu siap untuk itu?" Dinda sudah tidak tahu sebanyak apa air matanya saat ini. Dengan seluruh kesadarannya, ia mengangguk mantap. "Mau, Arfabian. Aku mau!" Senyum Ardan mengembang. Ia menyematkan cincin yang sudah ia siapkan sebulan yang lalu itu di jari Dinda. Malam itu, malam yang takkan pernah terlupakan. *** Berbeda dengan Adel. Konsep pernikahan Dinda dan Ardan termasuk sederhana. Tadinya acara itu akan dilakukan di rumah mempelai wanita. Namun, karena kondisi rumahnya yang tak memungkinkan. Ardan dan Dinda mengadakannya di luar. Ardan dan Dinda menyewa satu taman dengan lahan luas. Dengan dekorasi yang menyesuaikan dengan selera Dinda yang menyukai bunga. Ada meja dan bangku panjang di sana. Mereka juga menyediakan live music untuk menemani para tamu dengan lagu-lagu yang memanjakan telinga. Setelah akad, Dinda dan Ardan mengadakan pesta pernikahannya di taman itu. Ardan dan Dinda hanya mengundang sahabat dan keluarga dekat saja. Tidak ada panggung tempat Ardan dan Dinda duduk. Selain menyesuaikan dengan kebiasaan Ardan yang tak bisa diam. Dinda pun sudah membayangkan bagaimana pegalnya berdiri dan duduk di satu tempat seperti yang dilakukan Adel. "Hai, Din! Selamat, ya! Happy Wedding!" ucap Shella. "Terima kasih Shella udah dateng." Shella melemparkan senyum santainya. Tidak ada wajah canggung tercetak di sana. Padahal sejujurnya, Dinda masih merasa kecanggungan atas kejadian tidak enak yang pernah ada di antara mereka. "Sama-sama. Kevin itu paling males ke acara undangan kayak gini. Kecuali sahabat atau saudaranya. Tanpa ada paksaan dan berantem dulu. Malah dia yang nyiapin baju ini. Niat banget nggak tuh," celoteh Shella menceritakan kekesalannya kepada Kevin. "Kayaknya itu juga diancem sama Ardan," kelakar Dinda. "Pantesan!" Shella terkekeh. "Ish, Kevin itu gue ajak jalan ke mana susah, gue berasa haus jalan-jalan ini. Makanya kalau dia udah ajak jalan semangat banget gue." Dinda mengangguk merespon. "Ya udah makan dulu sana." Dinda mempersilakan. Acara itu berlangsung sampai jam delapan malam. Teman dekat, kerabat dan orang tua Ardan dan Dinda sudah meninggalkan tempat itu. Hanya tersisa sahabat Ardan. Tadinya Adel dan Dion ingin ikut bergabung. Katanya, mau sekalian reunian. Namun, karena Adel tengah mengandung, Ardan melarang keras dan menyuruhnya pulang. "Nggak nyangka gue, Ardan udah nikah aja! Perasaan baru kemaren kita cabut pas pelajaran," celetuk Galang. "Kalimat lo udah kayak tantenya Ardan yang tadi ege," ledek Anton. "Perasaan kamu dulu masih Tante cebokin sekarang udah nikah aja." "Diem lo jomblo!" ketus Galang. "Yeu nggak ngaca lo jomlo!" sulut Anton. "Woy, sesama jomlo malah gelut lo pada," nimbrung Aldi. Kondisi meja yang heboh itu kembali berisik saat melihat satu temannya yang baru datang. "RYAN!" histeris Kevin. "BEBEP RYAN!" jerit Galang. "RYAN KECAYANGAN KITA!" Aldi merentangkan tangannya sambil berlari ke arah Ryan. Ryan membenarkan kacamatanya yang merosot. Ia menggaruk belakang kepalanya sambil melirik ke belakangnya. Memalukan. "Liat kan? Mereka gila," bisik Ryan kepada perempuan di belakangnya. "Eh, udah ada gandengan?" kata Ardan saat samar-samar melihat perempuan di belakang punggung bidang Ryan. Sahabatnya satu itu semakin dewasa semakin berbentuk saja tubuhnya. "Wow, kenalin ke kita dong," serbu Aldi. Dinda dan Ardan menghampiri Ryan dan perempuan di samping lelaki itu. "Selamat, Bro!" kata Ryan lalu merangkul sebentar Ardan. "Din, sabar ya, sama Ardan dia yang paling absurd dari kita berenam. Lo harus tahan banting," ucap Ryan dengan nada serius. "Ahahaha, siap-siap! Bisa aja lo, Yan." "Tapi gue serius. Nggak bercanda." Tawa Dinda hilang. Teman Ardan yang satu ini, paling datar, paling kalem. Padahal baru kenal, Dinda sudah paham sedikit-sedikit sama semua teman Ardan. "Terus ini siapa?" tanya Anton kembali mengambil alih pembicaraan. "Ini Putri." "Halo, semua!" sapa Putri. Kevin merangkul Ryan lalu berbisik. "Bisa aja nyari cewek." Ryan mengerutkan keningnya. "Dia menurut lo cantik? Berarti gue nggak salah, ya?" "Sialan!" kata Kevin sambil menggeplak kepala Ryan. "Lo macarin karena apa emangnya?" "Karena baik. Gue kira mukanya biasa aja," jawab Ryan polos. "Ckck. Kalau yang kayak gini biasa. Yang cantik menurut lo siapa coba." "Nggak tau. Semua cewek cantik." Kevin menghela napasnya. Pengetahuan tentang cewek yang selama ini diam-diam ia tumpahkan kepada Ryan ternyata belum banyak mengalami perubahan. "Eh, ngapain lo berdua bisik-bisik!" tegur Ardan. "Kepo lo." "Lagi buat strategi nyusul gue, ya?" kata Ardan lalu berdiri di antara Kevin dan Ryan. "Ah, Kevin mah kalau disuruh ngelamar nyarinya ciut. Bisanya nembak cewek, godain cewe. Beuh jago dia. Jangan mau Ryan deket sama Kevin," sahut Shella yang duduk di samping Dinda. Putri ikut duduk di samping mereka saat Dinda menepuk tempat kosong di sampingnya. Ucapan Shella sontak membuat Ardan, Aldi, Anton, Galang, dan Ryan tertawa. Mereka takjub baru kali ini ada Kevin bertemu dengan perempuan seperti Shella, yang tahu semua aib dan keburukan cowok itu. Walaupun begitu, di sisi lain mereka salut dengan Shella yang sudah mau bertahan sampai saat ini. Pacar Kevin sebelum ini, setelah mengetahui sikap buruk lelaki itu mereka langsung memutuskan Kevin. Namun, kali ini berbeda. Sejujurnya, mereka semua penasaran akan bertahan sampai akhir-kah hubungan Kevin dan Shella. Atau seperti mantan Kevin lainnya. "Kamu kuat, ya, Shel, ngehadapin Kevin." Shella menoleh ke Dinda. Ia tersenyum tipis. "Kamu juga kuat berjuang buat Ardan."

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN