Dibalik Cerita

1190 Kata
Dion duduk di taman rumah sakit. Memejamkan matanya mencoba menormalkan apa yang tidak beres dalam dirinya. Sakit. Hanya itu kata yang dapat menggambarkan perasaannya kali ini. Kini semua sudah usai. Pikiran positif yang berusaha ia buat sebelumnya lenyap tak berbekas. Tempat duduk itu sedikit bergetar pertanda baru saja ada orang lain yang ikut mendudukinya. "Hubungan pertemanan kalian udah nggak kayak dulu lagi, ya." Dion membuka matanya. Tanpa harus menengok pun ia tahu siapa yang sedang berbicara itu. "Karena gue, 'kan?" Dion mengambil sebatang rokoknya lalu dinyalakan. Dihisapnya lalu diembuskan. Ia berharap perasaannya saat ini dapat keluar bersama dengan asap yang ia embuskan. "Udah baikkan kok." Dinda baru saja hendak pergi karena merasa keberadaannya sepertinya tak dihiraukan. Namun, ketika Dion mau menjawab perkataanya, akhirnya niat itu ia urungkan. "Oh, tapi keadaannya udah nggak sama kayak dulu lagi, 'kan." Itu bukan pertanyaan lebih tepatnya pernyataan. "Maaf." Lagi-lagi Dinda mengatakan itu. Seperti tidak ada yang bisa ia ucapkan selain permintaan maaf. "Harus berapa kali lagi gue bales 'ya, gue maapin'?" Dion kembali menghisap rokoknya itu lalu mengembukannya. "Lo harus belajar buat lupain masalah yang udah selesai. Nggak usah dibahas lagi, cukup jadi pelajaran aja. Biar lo maju." Dinda menatap lekat-lekat wajah cowo itu dari samping. Cowo itu tampak konsisten dengan posisinya yang lurus ke depan tanpa mau menoleh sedikit pun pada dirinya. "Ini omongan Dion?" Dinda terkekeh. "Pantesan jadi ketos, ya." Dion tersenyum tipis mendengar kalimat ejekan terselubung itu. "Udah banyak yang berubah. Ardan, lo, juga gue." Dua orang itu akhirnya tak berbicara lagi. Hanya keheningan yang menemani mereka. Dalam ketenangan, mereka sama-sama sedang mencoba menghentikan gejolak besar dari dalam diri masing-masing. Karena tidak hanya Dion yang terluka, Dinda pun sedang merasakan hal yang sama. Ini tentang bagaimana mereka harus tetap tersenyum ketika melihat orang yang paling mereka inginkan bahagia bersama senyum yang lain. Ini tentang mereka yang sama-sama sedang didera penyesalan. Penyesalan akan keegoisannya dulu. Dan yang satu, penyesalan akan kepengecutannya selama ini. *** Sejak ibunya meninggal dunia. Dion memutuskan untuk mengubah sikapnya. Janji terakhir kepada ibunya adalah ia akan berusaha menjadi anak yang lebih baik lagi. Ketika usahanya itu akan ia lakukan pada saat itu juga Adel hadir. Hadir membawa dorongan lain dalam dirinya. Sikap tertutup cewe itu membuat Dion berusaha agar dirinya dapat 'terlihat'. Salah satu caranya adalah ia harus berada di depan. Dari situlah ia berusaha keras agar dapat menjadi juara umum paralel, menjadi ketua OSIS, hingga menjadi ketua kelas. Semata-mata agar ia dapat disadari keberadaannya oleh cewe yang selalu menyendiri itu. “Adel, jangan lupa sabtu siang ke rumah gue ya, kerja kelompok bahasa Indonesia." “Adel! Lo denger gak sih?” tanya Dion kembali kala melihat cewe itu malah melamun. “E..eh, i..iya, aku denger kok. Hari sabtu, 'kan?” ucap Adel gugup. ‘Kenapa harus gugup juga sih?’ batin Adel. “Hm, gue tunggu.” Baru saja Adel ingin membalas Dion sudah berlalu dari hadapannya. Saat berbalik Dion bersumpah serapah dalam hatinya. Kenapa ia hanya mengatakan hal itu saja. Ia ingin berbicara lebih, tetapi apa daya ia terlalu gugup dan tidak ingin kegugupannya disadari oleh cewe itu. *** Dion kembali menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang perpustakaan itu. Bangku paling pojok perpustakaan itu kosong tanda bahwa seseorang yang biasa menduduki bangku itu tidak ada. Ia beranjak dan memutuskan mencari ke mana sang pemilik bangku. Di kelas tidak ada, kantin pun sama, tujuan terakhirnya adalah kantor guru. Benar saja, ketika ia sedang berjalan menuju ruang guru ia melihat Adel yang sedang dikelilingi oleh para cewe yang wajahnya tak asing lagi. Bella, perempuan yang selalu berhadapan muka dengannya dulu saat dia menjabat sebagai ketua OSIS. Dion hendak menghampiri sekumpulan cewe itu, tetapi langkah kakinya tertahan karena kedatangam gerombolan lain. Ardan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi yang bisa ia lakukan saat ini adalah memantau mereka dari jauh jaga-jaga kalau di antara mereka melakukan tindakan yang bisa membuat Dion murka. *** Hari ini tampak ada yang aneh dari Adel. Ia sedang berada di kantin dengan Ardan. Hal itu jujur membuat Dion dilanda kegelisahan dalam hatinya. Ia terus melihat kedua orang itu, memperhatikan segalanya dan ketika itu juga ia seperti ingin bertindak lebih. "Sejak kapan lo bisa deket sama tuh orang?" Ucapan tiba-tiba Dion membuat Adel berjengkit kaget. "Dion! Ngagetin aja," ucap Adel sambil mengusap dadanya. Dion meminta maaf sambil menggaruk tengkuknya. Ia lagi-lagi merutuk kebodohannya kenapa ia tidak bisa menahannya. "Emang kenapa? Kamu khawatir, ya?" "Ap-apa? Nggak kok, gue cuma nanya. Yaudahlah, nggak penting juga." Setelah itu Dion melengos begitu saja. Setelah berada jauh dari jangkauan mata cewe itu Dion memukul-mukul kepalanya. "Aduh, begok banget sih!" *** Kegelisahan tampak lebih mereda dari sebelumnya ketika ia tahu bahwa hubungan keduanya hanya sebatas teman. Meskipun begitu ia tetap selalu mengawasi keduanya dari jauh, mereka tampak semakin akrab setiap harinya. Namun, hari ini ia seperti tidak melihat Ardan. Ke mana anak itu? Apa dia sedang bolos? Dion tidak terlalu memusingkan hal itu, pikirannya sekarang malah terfokus pada cewe yang sedari tadi masih melamun di tempat duduknya padahal seisi kelas sudah kosong karena bel pulang sudah berbunyi. Dion menghampiri Adel. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. “Del." “Ah, ya? Ada apa?” tanya Adel sambil mendongakkan kepalanya ia dapat melihat raut bingung dari cewe itu. “Lo masih belum pulang?” tanya Dion. “Belum,” jawab Adel, lalu menyadari satu hal. Kelasnya sudah sepi. “Udah bel pulang?” tanya Adel sedikit terkejut. Dion memutar bola matanya malas. “Udah dari tadi,” jawabnya lalu berlalu meninggalkan Adel sendiri di kelas. Seperti sebelumnya ia tak ingin berbuat lebih lagi. Cukup percakapan singkat yang ia butuhkan. Dion tidak benar-benar meninggalkan Adel. Ia masih menunggu cewe itu merapikan peralatan tulisnya di depan kelas. Kemudian ketika ia mendengar derap langkah Adel, Dion buru-buru berlari ke arah parkiran. Ia tidak ingin ketahuan, setidaknya ia sudah menjaga Adel hingga keluar dari kelas yang sepi itu. Dion membawa motornya keluar dari area parkir. Dion kembali melihat keanehan, biasanya cewe itu akan pulang bersama Ardan, tetapi kali ini tidak. Ia melajukan motornya menghampiri Adel yang sudah keluar dari gerbang sekolah. Dion memanggil nama Adel, tetapi cewe itu justru mempercepat langkahnya. Ia kembali memanggil cewe itu dengan volume yang lebih tinggi, berpikir mungkin Adel tidak mendengarnya “Dion?” tanya Adel setelah membalikkan tubuhnya. “Lo pulang sendiri?” tanya Dion. Dion bertanya tetapi pandangannya ke arah lain. Ia sedang mengontrol jantungnya yang lagi-lagi tidak bisa diajak kerja sama. “Aku?” tanya Adel memastikan. “Yang tadi gue panggil siapa? Lagian ini udah sepi, kebetulan gue mau ke rumah sodara yang arahnya searah sama rumah lo,” tutur Dion berbohong. Ia kembali berbohong dengan apa yang ia bicarakan. Mana ada rumah saudaranya yang searah dengan rumah Adel. Ia hanya mencari alasan saja agar dapat mengantar cewe itu selamat sampai di rumah. “Jadi?” “Jadi apa?” Dion kembali memutar bola matanya. Kepolosan cewe itu membuat ia tambah ingin menjaganya. “Pulang bareng gue.” Dan jawaban Adel membuat ia ingin bersorak girang, berjoget ria bahkan ia bersedia mentraktir teman satu kelasnya. “Iya, kalo kamu nggak keberatan.” Sangat, amat tidak keberatan. Apakah Adel tidak menyadarinya? Seulas senyum tipis terukir di bibir cowo itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN