Ketidakmungkinan

1420 Kata
Adel masih berusaha membujuk Mas Rey yang sedari tadi merajuk. Pasalnya kenyataan bahwa adanya perubahan dalam kehidupan Adel baru diketahui olehnya. Ia hanya merasa sedikit kesal karena tidak mengetahui hal itu. Karena sebelumnya Adel selalu menceritakan apa saja yang ia alami dan rasakan. “Udah dong, Mas Rey, kan udah aku ceritain.” “Ceritainnya terlambat.” “Kan aku lupa, lagian siapa suruh Mas Rey udah nggak pernah ngehubungin aku lagi.” “Sibuk skripsi kan, Del.” “Ya udah kita impas berarti.” “Oke-oke, jadi siapa aja nama-nama temen baru kamu?” “Kebiasaan, dah ah, males ngulang,” cibir Adel karena sifat Mas Rey yang memang tidak bisa menghafal nama orang yang tidak dekat dengannya. Mas Rey terkekeh menyadari bahwa Adel mengetahui kelemahannya. “Jadi penasaran temen-temen kamu serajin dan secerdas apa sih.” Mendengar itu Adel meringis dalam hati, pasalnya abang angkatnya itu belum mengetahui bahwa teman-temannya jauh dari kata rajin dan cerdas. Atau mungkin iya? Rajin bolos dan cerdas dalam hal menyontek. *** Adel pulang dari kafe ketika sore menjelang malam. Sesampainya ia di depan pagar, Adel melihat sebuah motor besar yang sudah tak asing lagi bertengger tanpa didampingi empunya. Dengan langkah lebar Adel memasuki rumahnya. Benar saja, sepasang mata yang tertutup sedang duduk manis dengan tangan terlipat. Perlahan ia mendekati orang itu. “Ardan, Dan!” Sedangkan yang dipanggil tak kunjung membuka mata. Adel mengembuskan napas lelah, ia mengangkat satu tangannya untuk menyentuh pundak yang terbalut jaket kulit cokelat. Dalam tepukan kedua Ardan mulai membuka matanya yang terasa berat. “Eh, hai Adel.” Ia menegakkan badannya seraya mengucek mata. “Udah lama di sini? Ada apa?” tanya Adel. “Dari jam 3 tadi,” jawab Ardan mengingat jarum jam yang mengarah ke angka tiga ketika ia baru sampai di rumah itu. Adel melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tiga jam Ardan menunggu. “Oh, maaf, tadi aku pergi,” kata Adel merasa tidak enak. “Iya, nggak pa-pa tadinya mau ngajak ke rumah pohon.” Ia melirik pada Adel yang sedang menunduk. “Oh, iya, Del, bunda ke mana?” “Belum pulang ya?” Kepalanya menoleh ke dalam rumah. “Berarti masih di toko kue.” Sejurus kemudian Ardan beranjak dari duduknya. “Eum, Del, ya udah gue pamit dulu deh, kapan-kapan lagi aja.“ “Maaf, ya, Dan. Kita nggak bisa ke mana gitu, karena nggak jadi ke rumah pohon. Pasar malam, mungkin?” kata Adel berusaha menahan. Ardan melihat Adel yang kini menatapnya penuh harap. “Lo nggak keberatan?” Adel menggeleng. “Nggak kok, malah akunya yang nggak enak ke kamu.” “Nggak usah nggak enakan, Del. Nggak juga nggak pa-pa kok.” Mendengar ucapan Ardan, Adel tersenyum. Senyum yang justru membuat Ardan bingung. “Ada ilernya ya?” ucap Ardan sambil mengusap daerah mulutnya. Adel terkekeh. “Nggak kok.” Ardan kembali memandang bingung Adel. “Terus?” “Ardan udah nggak pemaksa lagi.” Jawaban Adel membuat Ardan menjadi kikuk. Ardan berdehem. “Jadi ... sekarang kita ke pasar malam nih?” Adel menjawab hanya dengan anggukan. Kemudian Ardan menarik lembut pergelangan tangan Adel. “Pasar malam, kami datang!” kata Ardan dengan nada yang dibuat-buat, membuat gadis yang berada di genggamannya terkekeh. *** Suasana meriah khas pasar malam membuat dua anak manusia itu semakin melebarkan senyumnya. Kebahagiaan yang tercipta dari pasar malam ini menjadi faktor semakin eratnya tangan itu menggenggam, dan semakin dekatnya jarak di antara mereka. “Di sini nggak ada tornado apa? atau giant swing gitu,” tanya asal Ardan. “Iya, ya, kok nggak ada ya?” Ardan memandang wajah Adel ketika mengatakan itu, tampak serius. “Ya, ampun, Del. Gue bercanda doang, jangan dianggep serius elah.” “Aku juga bercanda kok.” Ardan menaikkan satu alisnya. “Del, dari tadi kita cuma muter-muter doang loh ini. Nggak ada niatan buat naik salah satu wahana?” “Akhirnya!” kata Adel setengah berteriak. “Apa?” “Dari tadi aku nunggu kamu nanya itu.” Ardan menggelengkan kepalanya dan membawa tangannya yang tidak menggenggam Adel untuk mengacak lembut pucuk rambut gadis itu. “Dasar!” Wahana yang mereka naiki pertama kali adalah bianglala. Permainan yang memiliki sangkar yang hanya dapat dimasuki tiga orang. Membawa Ardan dan Adel berputar ke atas dan ke bawah. Ketika di atas mereka dapat melihat keseluruhan situasi pasar malam. “Lo sering ke sini?” ucap Ardan memecahkan keheningan yang tercipta. Adel yang awalnya sedang fokus melihat sederetan penjual gulali mengalihkan pandangannya. “Nggak juga.” Ia menggeleng. “Dulu sesekali ke sini diajak sama—“ Ia mengingat ketika Mas Rey dulu pernah mengajaknya ke pasar malam. “Sama?” “Kakak.” “Kakak?” “Eum, maksudnya, kakak angkat gitu.” “Oh, ‘abang adek-an' gitu ya?” godanya sambil menaik turunkan sebelah alisnya. “Ih, Ardan, apa sih.” Ardan tergelak melihat tingkah Adel yang terlihat salah tingkah. Setelah wahana bianglala itu berakhir, mereka melanjutkannya dengan wahana yang lain. Mereka akan tetap mencoba wahana jika salah satu dari mereka ingin mencobanya, meskipun salah satunya lagi keberatan karena itu sudah menjadi perjanjian. Seperti ketika Adel yang hanya memeluk satu tangan Ardan dan menutup mata ketika mereka memasuki rumah hantu. Ardan yang cemberut ketika menaikki komedi putar karena kebanyakan dari pengunjung yang menaiki wahana itu adalah anak kecil. Adel yang muntah-muntah seusai menaikki ombak banyu. Sampai wahana terakhir yang mereka naikki adalah kereta. Kereta yang membawa mereka mengelilingi area pasar malam. Meskipun terkadang harus mengalami kemacetan, kendati begitu mereka tetap menikmatinya. Dan ketika mereka sudah selesai menjelajahi pasar malam itu dengan kereta. Mereka melangkahkan kakinya menuju penjual permen kapas. Ardan sempat pamit sebentar, kemudian kembali menghampiri Adel yang baru saja selesai menyaksikan bagaimana serbuk itu berubah menjadi permen kapas. “Baru kali ini gue naik kereta terus macet,” kata Ardan sambil menyeruput minuman gelas yang langsung kandas dalam satu tegukan. “Keretanya kan beda, mau?” tawar Adel menyodorkan permen kapas. Ardan menjawab dengan gelengan. “Del.” Belum sempat Adel menjawab, Ardan sudah mendorong bahunya untuk membelakanginya. “Ada apa?” “Sst, diem dulu.” Adel merasa seperti ada yang aneh bertengger di atas kepalanya. Ia meraba benda yang melingkar itu. “Tadi gue nemu tuh bando, lucu menurut gue, polkadot pink gitu.” “Nemu?” “Nemu yang jual maksudnya. Dah yuk ah kita pulang udah mulai malem.” Sejurus kemudian Ardan berjalan mendahului Adel yang masih berdiam berusaha mengontrol jantungnya yang berdegup sangat kencang. “Adel lo mau gue tinggal!” teriakan Ardan sukses membuat Adel panik. “E-eh tunggu dulu Ardan.” Ketika Adel hendak menaikki jok motor, Ardan memberhentikannya. “Ada apa?” “Pake nih jaket gue.” Dengan jantung yang semakin meronta-ronta Adel menerima jaket pemberian Ardan itu dan langsung memakainya. Setelah itu Adel mendaratkan bokongnya di jok Ardan. Ardan melirik sebentar memastikan Adel sudah duduk dengan benar, kemudian ia menyalakan mesin motornya dan menjalankan ninjanya itu. Malam yang indah, momen yang tak terlupakan. Seindah inikah persahabatan? Rasanya Adel menyesal karena menutup dirinya selama ini. Karena kehidupan luar ternyata lebih indah dari yang ia bayangkan. *** “Pagi, Pak Rey.” “Pak Rey ganteng banget sih.” “Pak Rey ntar ngajar di kelas aku kan.” Dan masih banyak lagi godaan-godaan dari beberapa siswi ketika Reynaldo atau akrab dipanggil Rey. Rey berjalan menyusuri lorong-lorong melihat berbagai macam tingkah muridnya. Seperti film, memorinya akan masa SMA berputar ulang di benaknya. Ia melihat segerombolan siswa yang sedang nongkrong di bawah tangga menuju kelas duabelas. Dari penampilannya Rey dapat menebak jika siswa yang seperti itu adalah tipe siswa pembuat onar dan selalu membuat ulah. Bahkan yang terparahnya mereka tidak segan-segan menindas orang-orang yang mereka anggap lemah. Ia jadi teringat bagaimana tipe teman baru Adel. Apakah ia pernah menjadi korban penindasan anak-anak itu? Baru saja ia memikirkannya, sang pemilik nama sudah berada jauh di depan matanya. Ia melihat betapa lebarnya senyuman itu bagaikan di dunia ini tidak ada warna suram hanya dikelilingi warna cerah. Namun, tak berapa lama ia melihat Adel dihampiri segerombolan anak yang barusan ia lihat. Dengan langkah lebar dan setengah berlari Rey berusaha menghampiri Adel. Ia takut bahwa Adel akan menjadi korban penindasan, tetapi sedetik kemudian ia mulai memelankan langkah kakinya. Pandangannya masih tak lepas pada gadis itu. Berbagai spekulasi terngiang dalam otaknya ketika ia melihat gadis itu kini sedang menampilkan wajah ceria penuh percaya diri, melepas topeng penghalang ekspresi yang selama ini ia gunakan. “Nggak mungkin mereka,” gumam Rey sambil menggelengkan kepala tak percaya. . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN