Jantungnya berdebar lebih kencang, kedua bola matanya membesar, kakinya terasa lemas untuk melangkah lagi. Pikirannya langsung berkelana ketika dosennya mengancam hal yang tidak akan mungkin ia berikan begitu saja.
Rauna yang tadinya sudah berhasil membuka gerendel jendela merasakan panik yang luar biasa di dalam dadanya. Mana mungkin, ia merelakan kesucian yang secara terpaksa kepada orang yang ia sama sekali tidak menyukainya.
“Jangan harap! Saya tidak akan merelakan kesucian ini untuk dosen killer seperti, Anda!” Rauna menyikap kedua tangan Arga yang bersandar di atas bahunya dengan menyunggingkan bibirnya.
“Kalau kau ikuti arahan saya pasti tidak akan melakukan itu. Tapi, kalau kau ngeyel terus saya nggak akan kasih ampun. Saya minta kali ini saja untuk bekerja sama dan tetap tinggal di sini.” Arga menatapnya dengan tatapan yang intens.
Gadis itu memang keras kepala tidak bisa sedikit pun mau bekerja sama agar warga mempercayai mereka hidup bersama. Rauna yang masih labil tak akan mau menuruti kemauan Arga. Baginya jika dia bisa kabur malam ini maka itu menjadi hal yang hebat bisa keluar dari masalah itu.
“Itu alasan Bapak saja! Lagian pas pulang warga tidak ada tuh yang ngomong begituan,” tuduh Rauna dengan menatap iris matanya Arga dengan tajam dan sinis.
Gadis itu langsung menyambar kunci pintu rumah dari Arga, ia mendorong Arga sampai terjatuh ke lantai. Tangannya segera mengarahkan kunci ke gerendel pintu, akan tetapi ia bingung rupanya ada beberapa kunci sampai ia coba tidak ada yang berhasil. Malahan Arga yang berhasil menangkap gadis itu dengan memeluknya dari belakang.
“Pak! Lepaskan saya, jangan paksa saya begitu dong!” bentak gadis itu, yang berusaha melepaskan eratannya dari tubuh Arga.
Tenaga gadis itu kalah dengan amarah Arga yang membludak. Energinya dihabiskan untuk mencegah gadis itu agar tidak keluar dari indekosnya. Arga tidak peduli dengan ocehan Rauna yang begitu memekikkan kedua telinganya sampai gadis itu memberontak.
“Sudah saya bilang! Kalau kau masih ngeyel nggak akan saya paksa untuk meminta hak malam ini juga!” pekik Arga yang mengatur napas mulai merasa sesak seakan oksigen hilang begitu saja.
Arga memeluknya dan terpaksa menarik badannya kasar agar pembicaraannya tidak didengar oleh warga sekitar. Ia tidak mau jika gadis itu pergi malam ini maka hukumannya akan ditambah oleh mereka sendiri yang memprovokator untuk menyebarluaskan berita pernikahannya.
“Pak, lepasin! Anda sudah berjanji untuk tidak menyentuh saya. Jadi tolong lepaskan saya,” sergah Rauna.
Gadis itu dengan sekuat tenaga mengalahkan Arga, bahkan sampai menangis tersedu-sedu. Ternyata ketika Arga marah sangatlah mengerikan bak seperti singa yang kelaparan. Rauna tak habis pikir sikap dan kelakuan Arga dibalik killer-nya tidak berbeda dengan seorang penjahat; keras kepala, rusuh, tidak mau mengalah, dan yang pasti pemaksa.
“Saya menyesal! Menyesal telah menikah denganmu, Pak Arga! Anda tidak punya hati dengan mahasiswinya sendiri. Pantas saja tidak mau ada yang mendekati Anda sampai bujang lapuk begini huhu,” Rauna menghinanya habis-habisan. Tidak peduli dengan sakit hati yang akan Arga terima saat ini justru ia yang merasa paling sakit dengan menangis di depannya. Menangisi dan meratapi nasib untuk ke depannya.
Ketika Arga melihat tangisan pecah di wajah gadis itu, ia langsung sadar dan mengurungkan niatnya untuk melakukannya secara paksa. Kedua tangannya Perlahan-lahan melepaskan genggaman eratnya. Tangan kanannya sibuk mengelap keringat tipis yang menghiasi wajah tampan tertutup watak killer-nya. Ada rasa penyesalan di dalam hatinya saat ia bersikap kasar dengan seorang gadis yang masih labil sekaligus anak didiknya sendiri.
“Ma-maafkan saya!” ucap Arga gugup. Gugupnya lebih dari saat ia sidang mengejar gelar Magister di hadapan para Profesor galak yang mirip dengan detektif. Salah satu kata saja harus mengulang dari awal.
Rauna menghapus air mata yang sudah membasahi wajahnya. gadis itu bangkit dari dekapan Arga saat tenaga dalamnya ia keluarkan lewat tangan aktif yang menampar dosennya dengan kasar diiringi bibirnya mengkerut.
“Maaf Bapak bilang? Kalau saya tidak menangis! Bapak sudah bertindak lebih lanjut. Ternyata selain killer, Bapak begitu kejam!”
Diraihnya kedua tangan gadis itu lalu Arga bersimpuh dengan salah satu kakinya ia setengah berdiri. Wajahnya mendongak dengan tatapan iba. Baru kali ini seorang Arga—dosen killer memandang anak didiknya merasa iba padahal ia tidak pernah terhasut dengan mahasiswa yang meminta keringanan tugas atau pun nilai. Namun, kali ini menatap wajah seorang gadis yang telah ia tajamkan tatapannya begitu teduh seakan ingin segera dikabulkan permintaan maafnya.
“Maafkan saya Rauna, beginilah saya kalau sedang marah tidak terkendali. Saya mohon malam ini kau tidur di sini. Silakan, kau pakai kamar saya untuk istirahat. Dan saya akan tidur di sini di depan televisi,” ucapnya tulus setulus seseorang yang telah melakukan kesalahan terbesarnya.
“Tapi saya harap, Anda tidak melakukan hal seperti itu lagi. Dan saya mohon, jangan ada satu pun warga kampus yang tahu kalau kita sudah menikah.” Rauna mengelap air matanya yang kembali menghujani pipi merahnya.
Arga menganggukkan lalu gadis itu mau menuruti apa perkataan suaminya. Bagi Arga kalau istrinya mau tinggal di sini sekiranya sudah membuat posisinya aman di depan warga.
Gadis itu tertidur di kamar Arga yang cukup kuno dengan hiasan yang ia pajang. Kamar dengan cat warna kuning kunyit sangatlah cerah, akan tetapi kenapa hiasannya tak sesuai model masa kini? Banyak sekali koran yang tertempel di dinding tentang surat kabar pendidikan—belum lagi ada sepeda antik yang berwarna gold.
Rauna berbaring di kasur yang tak seempuk di indekos, air mata yang sudah kering kini membasahi pipi merahnya lagi. Ia teringat dengan ibunya yang di kampung saat dirinya sedang ada masalah selalu mengingat ibunya.
Kata-kata yang keluar dari mulut ibunya membuat ia merasa menyesal dengan sikapnya yang selama ini. Niat hati ke kota besar adalah sebagian untuk belajar dan bekerja untuk membiayai kuliahnya sendiri. Namun, perkataan ibunya yang mewajibkan untuk tidak melepas hijabnya pun menentangnya sendiri. Andai ucapan ibunya selalu ia pegang, mungkin malam ini ia tidak menikah dengan dosen yang begitu ia benci karena awal warga melihat dari segi cara berkerudungnya yang tidak sesuai standar. Benar-benar menyesal.
Kedua bola mata Arga tidak mampu untuk sekadar menidurkan tubuhnya. Ia mengingat kejadian pernikahan singkatnya dengan anak didiknya sendiri dalam waktu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bukan hanya Rauna yang menyesal, ia juga telah menyesal telah memberikan tugas berat ke gadis itu.
Andai aku tak mengerjai dia dengan membuatnya laporan itu pasti tidak sampai aku menikah dengannya. Bagaimana jika Rauna mengetahui kalau tugas itu harusnya bukan dia yang mengerjakannya. Aku sudah membagi jadwal, jauh sebelum acara HUT Kampus.
“Aku harus hubungi pembuat LPJ aslinya, pengetik naskah asli laporan HUT untuk tidak menjilidnya,” lirih Arga, dia segera mengambil handphone yang sebelumnya ia taruh di kamar.
Saat lelaki itu ke kamar rupanya Rauna sudah tertidur pulas dalam keadaan sembab. Walaupun ia tak menyukai gadis itu, tetapi Arga tak tega melihat gaya tidur Rauna yang memeluk tubuhnya sendiri tanpa selimut.
Handphone itu ada di sebelah badan Rauna, saat tangannya mengambil sebuah telepon genggam itu tiba-tiba Rauna menyibak selimutnya dan memeluk Arga paksa dalam keadaan masih tertidur. Persis seperti adegan saat Arga marah dengannya kini lelaki itu pun mendapatkan balasan yang serupa.
“Ibu, maafkan aku yang tak manut denganmu. Gara-gara aku lepas jilbab, aku menikah dengan dosen killer sialan itu,” gumam Rauna yang masih menutup matanya dengan mendekap Arga yang semakin rapat tanpa jarak.
Duh, dia kenapa bisa mengigau seperti ini sih.
Gadis itu masih belum melepaskan tautannya, dia sangat merindukan sekali dengan ibunya yang di kampung yang dikira kalau Arga adalah ibunya.
Ketika sudah tidak ada pergerakkan dari gadis itu, Arga perlahan melepaskan tautannya. Namun, gadis itu masih menahannya dengan tambah erat. “Bu, aku kangen. Rasanya aku ingin pulang saja, daripada harus hidup sama si killer.”