Bibirnya terangkat sempurna dengan tatapan yang tajam, kedua bola mata Rauna nyaris terjatuh ke bawah saat mendengar syarat kedua yang tak mungkin ia lakukan. Mendengar namanya saja sudah membuat perutnya teraduk-aduk hendak memuntahkan sesuatu.
Sudah cukup rasanya satu acara dengan—seorang dosen yang mendapat stempel killer dari anak didiknya membuat harga dirinya turun di depan semua orang saat membuka acara tadi pagi. Bahkan, ia pun mendapat sedikit teguran dari manajernya yang kurang persiapan.
“Ya sudah, gampang kan nanti malam gue mau pulang kampung terus ngomong deh ke ibumu,” potong Azura menantang. Gadis yang merasa papan atas padahal dibalik semua itu Rauna begitu polos.
“Eh jangan, ya sudah nanti gue berusaha dekatin dia. Emang kenapa sih, harus sama dia? Gue tuh benci banget sama dosen killer itu!”
Azura menyunggingkan sudut bibirnya. “Pake ditanya, dia itu dosen gue. Cari simpatik dong, buat nilai gue tinggi. Kalau sampai jelek, gue bakalan ngadu ya ke ibumu langsung. Dan ingat, perjanjian ini tidak boleh ada yang tahu kecuali kita,” ancam Azura.
“Oke! Asal lo gak usah ngomong kejelekanku selama di perantauan ini dengan Ibu.” Rauna memberikan satu kelingking yang menandakan perjanjian itu dimulai. Azura pun mengaitkan kelingkingnya sebagai rasa setujunya.
Beberapa hari kemudian, job di mana Rauna untuk membawakan acara di family gathering perusahaan batu bara yang sedang naik daun.
Dua gadis cantik yang menjadi partner dan primadona artis malam ini sudah dirias cantik oleh team wardrobe perusahaan tersebut yang duduk di samping panggung gemilang itu.
Gaun mewah dan panjang hanya bagian belakang mampu menyapu area panggung yang berkibar bersama dengan ujung rambut memanjang gadis seorang master of ceremony. Wajahnya yang oval, senyum yang indah mengembang di bibirnya menjadi pusat perhatian para tamu undangan. Namun, sudut bibirnya kembali mendatar saat melihat salah satu tamu undangan yang begitu ia benci.
Lah, kenapa si Killer ada di sini juga? Heran banget deh, di mana-mana kenapa selalu ada dia? Bagaimana jika aku tidak konsen saat membawakan acara ini, batin Rauna yang berubah menjadi panik dan merasa tidak nyaman bekerja.
“Kita sambut Azura Dinata ….” Kemudian, Rauna memberi mic ke Azura lalu berbisik. “Laksanakan syarat keduaku.”
Jadi, dia lihat dosen itu? Duh, apes banget sih aku.
Rauna meminta izin ke toilet kepada ketua panitia saat temannya yang sibuk mengisi acara. Entah mengapa hatinya menjadi gelisah dan gundah atas kedatangan Arga. Apalagi, sedari ia membawakan acara tatapan Arga begitu tajam melihat dirinya layaknya orang yang tidak suka dengannya.
Langkahnya berderap tanpa melihat suasana yang sedang ia lewati. Dua orang yang sedang ia jauhi justru datang pada acara job terbesarnya selama menjadi MC. Namun, mendekati toilet wanita langkahnya tercegah saat seorang lelaki berwajah tampan tetapi menatapnya begitu dingin penuh interogasi.
“Jadi begini? Demi uang berani membuka hijabnya? miris banget sih, kayak gak ada kerjaan lain aja.” Tatapannya begitu menusuk seorang gadis yang hendak melewatinya.
Deru napas Rauna semakin tak karuan untuk sekadar mengambil oksigen di dekat ruangan toilet. Jantungnya memompa lebih cepat sehingga rasa gugup dan panik itu menjalar sekujur tubuh, hingga gadis itu berusaha lewat dari samping. “Asal, nggak nyuri aja itu halal!” Rauna menampiknya lalu segera masuk ke dalam toilet.
Setelah Azura selesai menyanyi, ia lantas ke toilet untuk menyusul Rauna. Tanpa belas kasihan sedikit pun, tangannya dengan lentik mengunci pintu toilet dari luar dan mematikan lampunya.
Gadis itu sangat ketakutan sebab menjadi gelap gulita di dalam. Rauna fobia dengan yang namanya kegelapan ketika sendirian. Ia pun menggedor-gedor pintu itu agar ada yang menolong dirinya.
“Tolong ... siapa pun di luar tolongin. Loh, ini kok terkunci juga sih pintunya?” Gadis itu menaik turunkan gerendel pintu dengan panik.
“Gak akan ada yang nolongin lo di sini! Kalau gak nurutin perintah gue!” bentak Azura, kembali mengancam gadis itu.
“Azura? Itu lo yang kunciin gue?”
“Kalau iya, memang kenapa? Kalau lo mau dibukain harus mendekati Pak Arga!” seru Azura.
“Iya deh, gue dekatin sama dosenmu itu! Tapi, tolong bukain pintunya dulu,” pinta Rauna. Ia memang selalu takut kegelapan, di mana sering merasakan kehampaan yang tak berujung.
Kemudian, Azura membukakan pintu itu dan menyalakan saklar lampunya.
“Ingat ya! Gue banyak banget yang remidi dan semua tugas gue, lo yang kerjain! Dekati Pak Arga, dan pastikan nilai gue sempurna harus terlampaui. Mengerti?”
Gadis itu mengangguknya dengan pasrah dan penuh ketakutan akibat ulah partner-nya. Sebenarnya ia masih sangat polos jika mendapat ancaman dari temannya. Kemudian, mereka kembali ke area panggung untuk melanjutkan bekerja.
Setelah selesai acara, gadis itu segera turun dari panggung untuk bersiap-siap pulang ke indekosnya. Namun, seorang dosen yang begitu gadis itu benci masih berada Arga di bawah panggung dengan santai layaknya masih menunggu seseorang.
“Pak Arga, boleh enggak saya nebeng? Indekos kita kan sejalan, bagaimana?” pinta Rauna, seakan merayu dosennya.
Duh, demi karier harga diri aku sampai turun lima kilo ini.
“Memangnya, tidak sama manajermu?” Arga menaikkan kedua alisnya. Ia menaruh rasa curiga dengan gadis itu yang tiba-tiba meminta bantuannya.
“Oh tidak, dia pakai motor sama Azura. Boleh ya, saya bayar deh kalau gak ikhlas.”
Arga mengerutkan keningnya. “Kau mau merendahkan saya di depan umum?”
“Bukan begitu ta—”
“Cepat ambil barang-barangmu. Saya tunggu di depan. Ingat, cepat dan tidak pakai lama! Saya tidak suka orang yang bertele-tele apalagi masih buka tutup warung!” potong Arga, ia pergi begitu saja tanpa menunggu balasan dari Rauna.
Setelah dosen killer itu pergi tak menampakkan diri, gadis itu pun menggerutu. “Buka tutup warung dikira gue pecel lele kali ya.”
Di dalam mobil Arga, mereka hanya diam. Suara jalanan pada malam hari, yang menjadi suara utamanya. Tidak ada kata sepatah dua patah dari mereka sebab Rauna tertidur dengan pulas.
“Dasar! Sudah numpang malah ketiduran! Tidak punya etika sama sekali, ternyata begini yang katanya MC handal dapat job sana-sini?”
Kedua matanya mengerjap secara bersamaan, bibirnya terangkat sempurna saat kantuknya masih melanda. Namun, tubuhnya tidak merespons seperti berada di dalam mobil membuat gadis itu terbangun.
“Sudah sampai? Sejak kapan, Pak? Kenapa gak bangunin saya? Oh, saya tahu … Pak Arga mau berduaan dengan saya, kan?” Dengan rasa percaya diri yang tinggi, gadis itu berani menunjuk jari seakan lupa berhadapan dengan siapa.
“Sejak kapan? Sedari tadi, saya bangunin kau yang tidur gak ingat tempat pakai ngorok segala. Sekarang, cepat turun! Saya tidak mau melihatmu di dalam mobil saya lagi!”
Dih sok tahu banget ini dosen! Gak tahu aja tidur aku kan cantik dan anggun. Kalau aja si Reog gak nyuruh aku deketin dia. Sudah aku lawan dari tadi!
Rauna hanya mengangguk tajam. tangannya membuka pintu mobil dengan bibir yang manyun. Namun, sebelum pintu itu terbuka lebar, Arga menyampaikan ide untuk menghukum gadis itu. “Kau kerjakan laporan pertanggungjawaban HUT dalam waktu dua hari! Artinya hari kamis jam tujuh malam, harus sudah dikumpulkan! Mengerti?”
Tangannya berhenti saat mendengar ucapan Arga barusan, “Hah, yang benar aja Pak. Kenapa harus saya, kan saya bukan mahasiswanya Bapak?” tolak gadis itu. Hal ini merasa bukan tanggung jawabnya.
“Siapa bilang? Membuat laporan pertanggungjawaban itu terserah ketua panitia siapa saja yang gabung dalam acara itu. Kalau kau tidak mau, saya akan bilang ke dosenmu. Agar nilaimu nanti dipersulit!”
Dosen killer! Dasar notabene-nya killer ya killer. Walau aku harus berpura-pura mendekati.
“Ya sudah Pak, nanti saya kerjakan!” Rauna membanting pintu mobil dengan sekuat tenaga, sampai mobilnya pun ikut bergetar.
“Dasar bocah! Gak tahu terima kasih malah dibanting pintunya!” Arga mengelus pintu mobil yang dibanting oleh Rauna.
Pagi harinya, wajah Rauna masih ditekuk saat berangkat ke kampus. Ia begitu kesal dengan sikap Arga yang meminta semaunya sendiri dengan memberikan tugas laporan. Dirinya tidak berani berkutik, apalagi ancamannya nilai yang menjadi tolak ukur kelulusannya kelak. Tangannya mengepal, giginya saling menggertak rasanya tidak jauh beda dengan singa yang kehilangan anaknya.
“Rau, lo kenapa? Perasaan dari acara HUT kemarin murung terus sih?” tanya Putri dengan entengnya.
“Gimana gue nggak murung! Yang disuruh ngerjain LPJ acara kemarin, itu gue Put,” jawab Rauna dengan wajahnya menunjukkan ekspresi kesal.
“Hah? jadi kamu yang ngerjain LPJ? Alhamdulillah deh, kalau begitu mah.” Di saat sahabatnya berkecil hati. Dengan entengnya gadis itu mengusap d**a karena bukan dirinya yang terlibat dengan pembuatan laporan yang mahasiswa hindari.
“Lho, kok Alhamdulillah sih, Put? Gue sendirian doang loh, gak ada partner-nya.”
“Ya semangat dong, yang penting kan bukan gue he-he-he. Nanti, bakalan ketemu kok sama Pak Arga ganteng,” seloroh Putri yang mencolek dagu Rauna.
“Jangan-jangan lo yang naksir ya? Mending lo aja yang lanjutin lumayan nih baru seperempat gue kerjain.” Rauna memberikan laptop yang berisi tugas beratnya itu.
“Ih, nggak mau lah. Seorang Putri, habis ngampus ya mending nyalon. Bye-bye Rauna, selamat bertugas ha-ha-ha.” Putri berjalan dengan melambaikan tangannya sebagai tanda untuk menyemangati sahabatnya.
“Dasar, Putri Tidur! Nggak ada niatan gitu bantuin gue.” Emosi Rauna kali ini benar-benar membludak, rasanya laptop yang ia pegang ingin dibanting dengan sahabatnya yang tidak mau membantunya.
Setelah selesai jam kampus, kini aia bertemu Azura di kantin yang sedang makan sendirian. Niat hati ingin memakan bakso yang super pedas untuk meredakan amarahnya sedari kemarin malah harus ketemu si Reog.
“Ini flashdisk, ada tugas individu gue. Nanti, gue japri nama file dan tugasnya. Tugas gue besok mau dikumpulkan. Ingat ya, besok! Jangan sampai telat lo kerjain,” pinta Azura, sambil memberikan alat penyimpanan itu.
“Eh, kenapa bukan kau kerjain sendiri aja sih? Nanti malam aku mau ngerjain laporan proposal HUT yang deadline.” Rauna menggeserkan flashdisk itu.
Gadis itu sangat kesal sekali sebab tidak ada yang mengasihani sedikit pun. Bagaimana mungkin semalaman mengerjakan proposal sekalian tugas dari Azura? Sedangkan nanti malam, dia ada undangan show? Apa mungkin seorang Rauna bisa menyelesaikannya dalam waktu semalam?
Akhirnya mau tidak mau Rauna tetap menerima flashdisk dari Azura. Karena kalau tidak ia akan dilaporkan ke ibunya sebab sudah melepas hijab saat show.
“Duh, gimana ya? Apa aku batalin show-nya aja ya? tapi, enggak mungkin mendadak begini yang ada si Elmo marah sama aku,” keluh Rauna.
Esok harinya ....
Rauna sudah mengerjakan sebanyak tujuh puluh lima persen, sisanya ia kerjakan setelah pulang dari kampus. Dan ia menyelesaikan sampai sore hari menjelang petang beserta tugasnya Azura.
Gadis itu menghela nafasnya secara kasar. “Huh, akhirnya kelar juga. Habis magrib, aku harus segera ke tempat indekosnya si killer itu.”
Malam harinya, gadis itu berjalan dengan santainya sambil membaca kertas berisi alamat yang diberikan oleh Arga tadi siang. Kedua bola matanya fokus melihat nomor rumah yang setiap ia lewati. Tanpa disadari ada warga yang melihat Rauna yang melihat dengan fokus tempat indekos dosen killer-nya itu.
Tanpa menunggu lama, ia masuk begitu saja ke dalam pintu gerbang yang kebetulan sudah membuka. Kemudian tangannya mengetuk pintu masuk yang masih terlihat petang dari luar.
Arga yang mendengar suara ketukan pintu itu pun segera keluar untuk saja ia belum melepas seluruh pakaiannya untuk mandi.
“Silakan duduk dulu, saya mau mengambil handphone di dalam,” ucap Arga, dengan singkat.
Ia masih memandang kecut gadis itu dengan tampilan yang jauh dari kata rapi. Ia tak yakin, jika Rauna bisa mengerjakan laporan serumit itu sendirian dengan waktu yang singkat.
Arga mendekat ke sofa yang diduduki Rauna, gadis itu pun semakin tegang saat Arga melangkah lebih mendekat.
Dan tiba-tiba kaki Arga, kesandung kaki ujung meja dan ambruk di depannya. Mata mereka bertemu, dengan posisi Arga yang berada di atas tubuh gadis itu.
Sontak ada warga yang mengintai sedari tadi pun langsung memfoto adegan yang tak sepatutnya terjadi itu di dalam keadaan remang-remang dan tanpa ada orang lain.
“Sudah ... kita dobrak saja! Biar mereka ditindak lanjuti sama Pak RT, bila perlu kita nikahkan malam ini juga,” ucap salah satu warga yang mengintai.