Dad melempar tatapan menyelidik ke arah aku dan Hellen. Dia mulai datang mendekati kami setelah menutup pintu rumah. Aku dan Hellen langsung berdiri di tempat, saling berdampingan. Kami saling melirik satu sama lain dengan wajah gugup.
“Danny? Hellen? Kalian tidak sekolah?” tanya Dad kembali. Langkah tegas Dad akhirnya sampai beberapa jarak di depan kami. Beliau memerhatikan satu per satu sikap kami yang aku tahu pasti kentara sekali kegugupan kami berdua.
“Itu ...” ucap Hellen menggantung kalimatnya. Aku melirik ke arah Hellen yang kini tengah melirik ke arah lenganku. Pandangan mata Hellen lalu mengarah ke atas dan terkunci dengan tatapan mataku. Aku langsung menahan napas. Kedua mataku membola penuh. Aku merasa Hellen akan mengungkapkan semua rahasia mengenai lenganku pada Dad saat ini. Buru-buru aku langsung memotong ucapan gadis itu.
“Kami pulang cepat Dad!”
“Huh?”
“Huh?!”
Baik Hellen dan Dad kini sama-sama memandangku dengan wajah heran dan penuh tanya. Aku diam-diam melotot ke arah Hellen dan mencoba berkomunikasi dengan gadis itu lewat bahasa kalbu bercampur kode mata. Aku berharap penuh Hellen akan menutup mulutnya dan membantuku lepas dari penyelidikan ini.
“Kenapa kalian pulang cepat Hellen?” tanya Dad yang mengarah pada Hellen. Seketika kami tersentak kecil dan dengan gugup menoleh ke arah Dad. Terlebih aku. Sepertinya Dad lebih mempercayai jawaban Hellen dibanding aku yang merupakan anak kandungnya sendiri.
“Itu ...” Hellen terlihat bingung harus menjawab apa. Sepertinya otaknya masih tidak bekerja maksimal untuk mencari alasan yang tepat dari pertanyaan itu. “Itu ...” Hellen nampak melirik ke arahku untuk meminta bantuan. Tentu aku langsung berada di garis depan untuk Hellen.
“Sekolah ada rapat penting untuk membahas tour kami bulan depan Dad. Dan kami telah menyelesaikan ujian penting, jadi mereka mengambil setengah hari untuk melaksanakan rapat itu,” jelasku dengan mantap. Dad nampak mengangkat kedua alisnya dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan setelah mendengar penjelasanku itu. Terjadi jeda sejenak di antara kita yang justru semakin membuat aku dan Hellen merasa lebih terintimidasi karenanya. Kulihat bola mata Dad kembali bergulir ke arah Hellen.
“Benarkah itu Hellen?” tanya Dad untuk memastikan penjelasan yang baru saja kuberikan. Hellen langsung menganggukkan kepala menjawab pertanyaan itu.
“Hm, baiklah kalau begitu,” jawab Dad kemudian. Dad mengangguk kecil, setelah itu melangkah melewati kami berdua hendak menuju kamarnya. Seketika aku dan Hellen menghela napas lega secara bersamaan. Kami berhasil mengelabui Dad dengan cukup mudah.
“Kali ini Dad akan melepasmu Danny. Tapi tidak untuk ke dua kali, oke?” lanjut Dad kemudian. Sekali lagi aku saling berpandangan dengan Hellen sambil melempar wajah horor. Ternyata Dad tidak jatuh dalam permainan kami. Aku menghela napas kemudian. Tentu saja Dad tidak akan mudah untuk dikelabui.
“Baik Dad,” jawabku dengan lesu. Hellen terkikik geli melihatku. Langkah kaki Dad terdengar semakin menjauh. Tapi sekilas aku melihat ada gurat senyum di wajah pahlawanku itu sebelum menghilang di balk pintu kamar. Aku tahu Dad tengah menertawai kebodohanku ini, dan itu membuatku semakin malu dan kesal sekaligus. Aku melempar pantatku ke atas sofa cukup keras. Untung sofa itu cukup lembut sehingga membuatku kembali terpantul kecil karena pegas di dalamnya.
“Hahh ...” hela napasku dengan berat. Hellen ikut kembali duduk di sampingku dengan tawa gelinya.
“Hihihi ...” Aku langsung menghadap ke arah Hellen dengan tatapan tajam dan menuntut.
“Hellen! Kita sudah sepakat untuk menyembunyikan rahasia ini tadi!” seruku dengan tertahan. Aku tidak ingin Dad datang dan mendengar pembicaraan kami berdua. Aku tengah membahas masalah luka di lenganku dengan Hellen dan itu tidak boleh didengar oleh Dad. Hellen menghentikan tawa kecilnya dan melempar tatapan penuh penyesalan ke arahku.
“Maaf. Sedikit tadi aku berpikir ingin mengatakannya pada paman Peter. Danny, sejujurnya aku masih mengkhawatirkan keadaanmu itu,” sesal Hellen dengan wajah cemas menatapku.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Hellen. Aku akan baik-baik saja. Tolong percayalah padaku,” jawabku. Aku berusaha untuk meyakinkan gadis itu untuk lebih menaruh kepercayaan kepadaku, dan kulihat Hellen terdiam sejenak sambil menatapku. Aku membalas tatapan itu dengan penuh keyakinan, hingga pada akhirnya Hellen menghela napas dengan berat.
Hellen mengalihkan pandangan ke arah lain. Gadis itu kembali menghadap ke depan di mana layar tv berada dan menampilkan adegan film yang tengah berhenti di tempat.
“Baiklah, aku mengerti,” jawabnya kemudian. Hellen kembali meraih remote tv dan menekan tombol untuk melanjutkan adegan selanjutnya. Mendengar itu aku melempar senyum lega kemudian.
“Terima kasih,” ucapku pada Hellen. Hellen sengaja mengabaikanku. Gadis itu lebih memilih fokus kembali pada film di depan matanya. Aku tidak masalah dengan itu. Aku juga mulai kembali menonton film tersebut. Tidak lama kemudian aku ikut tenggelam dalam alur ceritanya lagi. Tidak kukira alurnya akan menjadi semakin menarik. Benar kata Hellen bahwa saat ini adegannya semakin memanas dan aku hampir saja melewatkannya.
Beberapa waktu kemudian di saat kami berdua tengah fokus dengan adegan dalam film tersebut, terdengar suara pintu dari kamar Dad dibuka. Aku menoleh ke arah itu dan melihat Dad muncul dengan penampilan yang lebih segar. Sepertinya Dad baru saja selesai membersihkan tubuhnya.
Dad dengan kaos putih polos nampak terlihat penuh kharisma. Tubuhnya yang besar dan berisi itu sering kali berhasil membuat beberapa gadis menjerit kesenangan. Aku yang seorang pria saja bahkan juga mengaguminya. Hanya saja terkadang tubuh Dad itu berhasil membuatku bertanya-tanya. Kenapa tubuhku yang merupakan anak kandung Dad tidak berbentuk sama?
Baik tubuh, dan stamina, juga ketampanan, kita benar-benar berbeda. Aku kurus kering kerontang dengan kaca mata minus seperti seorang Nerd. Sedangkan Dad terlihat seperti pahlawan super dengan tubuh atletis berisi yang terlihat begitu menawan dan eksotis. Jangan lupakan wajahnya yang terlihat matang di mata kaum wanita yang semakin membuatnya terlihat menggiurkan.
Mom juga terlihat cantik dan memiliki tubuh indah berbadan sintal. Ada apa dengan tubuhku sendiri? Memikirkan hal itu membuatku kembali merasa kesal. Jika orang luar berpikir bahwa aku adalah anak pungut Mom dan Dad, maka aku tidak akan menyalahkannya. Karena terkadang aku sendiri juga berpikir seperti itu. Semakin dipikir, semakin membuatku sebal. Aku mendecak lidah cukup keras hingga Hellen menoleh ke arahku dengan wajah bingung.
“Ada apa Danny?” tanya gadis itu. Aku ikut menoleh ke arahnya.
“Ha? Oh bukan apa-apa. Aku hanya memikirkan sesuatu yang lain,” jawabku asal. Hellen nampak tidak perduli kembali. Dad menyampirkan handuk kecil untuk mengeringkan rambut basahnya di atas pundak. Pria paruh baya itu melangkah menuju lemari pendingin dan membuka pintunya. Untuk sejenak Dad berdiri di sana sembari memerhatikan isi dalam lemari pendingin.
“Danny, apa kau mengambil jus jeruk milik Dad?”
Deg! Seketika Hellen menoleh horor ke arahku. Terlihat sekali bahwa gadis itu begitu terkejut dan tidak menyangka bahwa jus yang diambilnya adalah milik Dad. Aku terkikik geli dengan sepelan mungkin.
“Ah, aku yang mengambilnya paman Peter. Maafkan aku,” sesal Hellen dengan wajah memelas pada Dad.
“Oh tidak apa-apa Hellen. Kau bisa mengambilnya.” Dad tersenyum kecil untuk Hellen. Senyuman mematikan yang langsung berhasil membuat gadis itu terpesona. Seketika gadis itu melemas dengan menyandarkan tubuh dan kepalanya ke sisi tubuhku.
“Ahh, aku bahagia,” gumam Hellen dengan lirih. Raut wajahnya nampak begitu bahagia dengan senyuman lebar, dan aku yang melihat itu hanya memutar bola mata dengan malas. Berlebihan sekali gadis ini, batinku.
Dad yang baru saja meraih minuman lain, kini membawanya ke arah kami. Melihat kedatangan Dad, Hellen langsung bergerak cepat membenarkan posisinya untuk duduk dengan manis. Dad memilih duduk di sofa tunggal dan berakhir ikut menonton film bersama kami. Dengan santai Dad menyandarkan tubuhnya di punggung sofa dan menenggak minumannya.
Jakun jantannya nampak bergerak beberapa kali seirama tenggakan minuman yang dilakukannya. Aku melirik ke arah Hellen. Gadis itu sudah menatap Dad dengan air liur yang seakan siap menetes saat ini. Dasar wanita, batinku. Aku meraih minumanku juga dan menghabiskannya dalam sekali teguk.