Cinta? Akira jadi merasa geli dengan istilah itu. Mana mungkin. Ia pria yang pernah menjalani mahligai rumah tangga bisa secepat itu merasakan getaran pada seorang gadis. Dia,'kan bukan usia remaja yang selalu merujuk akan rasa suci bernama cinta itu.
Akira jadi mencibikkan bibirnya, yah.., paling dia hanya tertarik secara gender. Apalagi Sachi sangat cantik dan seksi. Ah, memikirkannya membuat Akira merasa dirinya pria amoral. Sebegitu putus asanya'kah dirinya ditinggal sang istri. Seorang kawan satu selnya terus memperhatikan senyum yang berusaha kuat Akira kulum.
"Bang, lo kenapa?" tanya Dony sambil terkekeh. Temannya ini baru tumben lihat Akira cengengesan gak jelas.
"Kesambet,ya?" godanya lagi sembari menyikut lengan Akira. Akira tertawa. "Masa iblis kesambet, mana ada ceritanya;" balasnya. Yah.., Akira merasa ia seorang iblis. Iblis yang dengan teganya mengakhiri nyawa sang istri.
***
Sachi berbaring di ranjangnya. Rasa kantuk tidak bisa membuat ia lengah memikirkan cara mendapatkan keadilan untuk Delia. Sachi sudah mencoba opsi menyerahkan semua kepada pihak polisi. Tapi ia juga cemas, Luke bisa saja kabur ke negara asalnya disaat polisi mengumpulkan bukti-bukti. Kalau seperti itu, apa bisa kebenaran cepat ditegakkan. Bagaimana kalau ia meneror hidup Zero?
Sachi tidak mengerti lagi, fikirannya memutih seolah tak ada pilihan lain, selain main hakim sendiri. Ia bahkan tidak peduli kalau hal itu bisa menghancurkan karier yang ia tempuh selama ini. Daripada ia harus hidup dalam perasaan bersalah, bukan? Masalahnya, ia gak mau bertindak seorang diri. Sachi terlalu hijau untuk urusan kriminal menantang hukum negara. Seandainya saja ada seseorang yang bisa ia andalkan.
Hm, Sachi jadi menghemuskan nafas, tapi tiba-tiba saja bayangan Akira terbesit di otak cantiknya.
Dia terperanjat dari ranjang "Kenapa gak dari kemarin aku mikir cowok itu!"
Tak ingin berlama, ke esokkan harinya, Sachi kembali ke lapas. Untuk mengunjungi Akira.
Ia datang dengan kacamata hitam juga tingkahnya yang anggun. Seolah menegaskan dirinya tidak layak ada di sini.
"Pak, saya mau bertemu dengan tahanan yang bernama Akira," ucapnya ke salah satu sipir ber'name tag, Fandy.
Pria pelontos itu tidak bisa menahan tawa. Ia ingat kejadian kemarin.
"Hm, jadi pacaran nih?" Ia malah meledek Sachi. Sachi menyeritkan alis dan menurunkan kaca mata hitamnya. "Maksudnya?" siapa yang pacaran. Dia dan pria nyeleneh itu, Hah, jangan mimpi. Meski di dunia ini cuma tinggal Akira'lah pria yang tersisa. Sachi juga tidak akan mau dengannya.
"Cepat panggilkan saja." Sachi tidak mau membuang waktunya.
Akira langsung dipanggil. Padahal ia sedang olahraga tinju dengan teman-teman selnya. Peluh membanjiri otot liatnya. Seluruh kulitnya jadi mengkilap tapi sialnya Akira masih terlihat begitu memukau.
Fandy menggeleng sebentar. Berapa kali ia bilang gak boleh latihan tinju di dalam sel. Gimana kalau baunya tidak bisa menguar, yang ada mereka sendiri yang gak bisa tidur.
Ia melambaikan tangan ke Dony.
"Sini aku bilangin..," Dony yang dipanggil jadi terkekeh. Ia menaikikan alis seolah penasaran. Fandy merangkul bahunya.
"Bilangin temennya, dicari cewek tuh. Cepet keluar gih." Ternyata Fandy mau menggoda Akira. Dony yang sebagai perantara jadi bingung.
"Siapa?" tanyanya mau tahu.
"Itu," Fandy menunjuk Akira. Baik Dony dan Fandy tertawa bersamaan.
"Apa aku harus meminjamkan jasku padamu, Akira?"
"Jangan lupa pinjam,'kan juga dasi kupu-kupunya, hahaha!" Tanggap Fandy. Akira mengepal tangannya, memang gak akan ada habisnya bersenda gurau dengan mereka. Jadi lebih baik ia keluar. Lagi juga, Akira penasaran siapa wanita yang mencarinya.
Sesampainya di depan ruang temu, ia tertegun. Betulkan wanita itu.., wanita yang membuatnya seperti orang gila karena selalu tertawa sendiri. Akira mengikuti langkah kakinya semakin maju. Ia bahkan tidak sadar kalau dirinya tidak berpakaian.
"Ahk," pekik Sachi spontan menutup matanya. Ia sangat tak suka dengan pemandangan yang ada di depan matanya. Sachi merasa matanya ternoda paksa.
"Kenapa?" Akira terlonggo. Ia baru sadar setelah melirik ke bawah. Ah. Hahaha.., sudahlah, anggap saja melihat otot atlet.
Ia malah duduk di depan Sachi. "Ada apa kau kemari?" Akira suka menggoda Sachi. Tatapannya tidak bisa lepas dari Sachi.
Akhirnya Sachi membuka tangannya perlahan. Ia juga berdehem dan kembali bersikap angkuh. Sachi tidak mau kalah dari keusilan Akira.
"Aku mau minta bantuan," ujar Sachi tegas.
Akira tidak memberikan reaksi tapi otaknya mencoba menelisik. Bukannya wanita ini gak suka sama dia. Malah, nyaris gak percaya. Terus sekarang minta tolong. Bukannya itu aneh. Tapi ia tidak mau mengatakan itu. Alih-alih protes, Akira malah mau tahu. Apa yang Sachi inginkan darinya.
"Tolong apa?" sahutnya tidak kalah lugas.
Sachi terangga. Saat kesini, ia sudah memikirkan banyak alasan kalau Akira menolaknya. Tapi lelaki itu malah langsung bertanya ke intinya.
Sachi memaju,'kan badannya. "Tapi kamu mau,'kan menolongku?"
"Ya apa dulu?" sahut Akira seraya melipat tangan di d**a.
"Aku.., aku." Sachi nampak gelisah. Bola matanya berputar karena tidak ingin menatap Akira. Sayangnya Akira malah mendekati. Pria itu duduk di samping Sachi.
"Cepat. Aku tidak punya banyak waktu," tekan Akira. Sachi tahu. Akira benar..,
Ia jadi terpancing untuk menghadap Akira.
"Dengar baik-baik. Aku akan membebaskanmu." Bukannya bahagia. Akira malah memundurkan wajah.
"Aku tidak meminta dibebaskan." Sial. Seharusnya pria itu bahagia, bukankah terbebas adalah harapan mewah para napi.
Sachi mencoba menghirup udara, supaya otaknya tidak panas menghadapi pria itu.
"Aku bisa membantu kebebasanmu tapi dengan satu syarat." Sachi tetap melanjutkan tawaran tanpa terpengaruh. Ia sedang mencoba berunding pada Akira. Sachi juga tanpa sadar memajukan wajahnya ke d**a Akira. Ia seolah tidak risih dengan keringat yang masih menempel di sana. Akira yang sadar akan posisinya jadi mendekati dadanya semakin rapat ke Sachi.
"Kita cuma perlu menangkap seorang pembunuh setelah itu... Sudah.., kau bisa bebas!" Sachi memekik spontan.
Hei, semudah itu memangnya menangkap seorang pembunuh. Dan kenapa gak minta pak polisi saja. fikir Akira.
Ia menggeleng dengan tampannya.
"Aku tidak tertarik." Semudah itu Akira menjawab. Untuk apa ia bebas, kalau di sini Akira merasa bahagia. Setidaknya di dalam penjara ia tidak akan merasa sebatang kara. Masih banyak kawan yang bisa ia temui dan ajak ngobrol. Berbeda dengan di luar sana.
Sachi menarik bahu Akira kesal. Ini tawaran yang sangat menarik, tapi kenapa Akira melewatinya semudah itu. Saat tangannya menyentuh pundak Akira. Ia merasa tersengat kenyataan betapa kerasnya lengan atas pria itu.
"Apa. Aku sudah katakan. Aku tidak tertarik." Akira mengulang kembali ucapannya. Sesaat Sachi tersadar. Harus apa dirinya, sedang dalam benaknya cuma Akiralah yang ia harapkan. Sachi jadi memasang mimik minta dikasihani.
"Tolong fikirkan sekali lagi," ujarnya lebih lembut. Sebagai lelaki sejati. Tentunya Akira tak akan tega menghancurkan harapan yang terlihat jelas dari mata Sachi begitu saja.
Mungkin ia bisa meminta bayaran lebih untuk kerja kerasnya nanti. Apa saja, misalnya boleh memiliki Sachi seutuhnya?.