Ketika Cinta Anita Menghilang

1912 Kata
Hari sudah menjelang malam, hatiku berdebar-debar kencang ketika membuka pintu rumah. Jam tangan hadiah dari Lutfi, suamiku untuk hari ulang tahun pernikahan kami yang ke sepuluh sudah menunjukkan pukul setengah tujuh  malam. Aku sudah siap-siap akan diberondong dengan pertanyaan demi pertanyaan dari Lutfi tentang kepulanganku yang terlambat ini. Tadi di layar handphone ku saja, sudah ada  limapuluh  miss called darinya. Bayangin  aja . Ada limapuluh  panggilan yang tak terjawab , itu berarti hampir setiap menit dia menelepon  aku selama satu jam.  Bukan karena aku sengaja tidak mau menjawabnya tetapi karena aku tidak mendengar suara dering teleponnya yang aku letakkan di dalam tas  tanganku dan saat itu aku juga keasyikan ngonbrol dengan teman masa kecilku.  Hari ini adalah jadwalnya  aku belanja bulanan, dan kebetulan di supermarket aku bertemu Annie , sahabat masa kecilku. Aduh senangnya berjumpa dengan Annie setelah dua puluh lima  tahun lebih tidak bertemu. Kami dulu bertetangga di kota Medan. Kami bersahabat dari taman kanak-kanak  sampai kami SD kelas lima dan berpisah karena Annie harus pindah ke Jakarta mengikuti  papanya yang  dipindah tugaskan. Kami tangis-tangisan sesorean ketika hendak berpisah, janji saling memberi kabar dan surat-suratan. Setelah perpisahan itu kami ada berhubungan beberapa kali sampai kemudian benar-benar kehilangan kontak. Saya kirimi  surat ke Annie, suratnya selalu kembali dengan alasan alamat tidak dikenal. Dan ternyata tadi Annie bercerita bahwa dia mendapat beasiswa melanjutkan SMP nya di Singapore dan keluarganya juga pindah ke Surabaya mengikuti papanya yang kembali dipindah tugaskan . Annie juga mencoba menyurati aku, tapi aku dan keluarga juga sudah pindah ke Jakarta. Di zaman kami dulu memang belum ada sosial media dan handphone atau email-email seperti sekarang, jadi akhirnya persahabatan masa kecil itu harus terputus. Tadi kami asyik ngobrol ke sana kemari. Menjalin cerita hidup kami yang terpotong selama dua puluh lima tahun . Annie baru menikah tahun lalu, dia tinggal di Singapore sekarang dan saat ini ia dan suaminya berada di Jakarta untuk mengunjungi orangtuanya. Aku jadi melupakan tugas belanjaku, lupa waktu dan lupa melihat handphone. Semua rasanya hilang dengan rasa bahagia bertemu dengan Annie. Dan ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam sore aku seperti Putri Cinderella yang tersadar waktu ku sudah habis. Baju, sepatu dan kereta kudaku sudah akan segera  berubah menjadi tikus dan labu. Aku mulai panik dan langsung pamit kepada Annie dengan janji akan menghubungi nya kembali. Kami bertukaran nomor Handphone dan alamat email . Segera aku berlari menuju mobil sambil membuka handphone dan ternyata sudah ada lima puluh missed called dari Lutfi. Aku tahu tidak berguna untuk meneleponnya balik dan menjelaskan lewat  telepon , lebih baik aku menghadapi kemarahannya langsung di rumah.  Sambil duduk di kursi belakang mobil BMW putih  yang disupiri Pak Dono, supir setia keluarga Lutfi dari zaman papanya. Mobil melaju tenang  menuju rumah.  Aku tetap sibuk berdoa dalam hati  " Ya .. Tuhan jangan biarkan Lutfi marah besar, buka kan pikirannya agar ia mengerti bahwa aku bukan sengaja tidak menjawab teleponnya, bahwa aku hanya bertemu sahabat masa kecilku, buka kan pintu pengertiannya Tuhan, biarkan ia hanya marah sebentar dan setelah itu ia bisa mengerti." Doa-doa itu aku ulang-ulang sepanjang perjalanan yang tidak begitu panjang menuju rumah kami di Lippo Cikarang.   Dan sekarang ketika aku membuka pintu rumah, aku juga masih berdoa, Pintu ruang tamu aku buka, kelihatannya masih damai dan tenteram. Pasti Lutfi dan Catherine sudah makan dan sedang berada di kamar masing-masing. Lutfi memang selalu tepat waktu. Jam lima sore dia sudah sampai di rumah dari kantor. Sehabis mandi jam setengah enam dia sudah ada di meja makan dan kami makan malam bareng. Menurut Lutfi makan malam sebelum jam enam akan membuat metabolisme tubuh menjadi lebih baik, kalau makan malamnya  kemalaman maka perut masih akan bekerja waktu kita tidur dan itu tidak sehat. Aku melangkah naik ke lantai atas, di depan kamar yang ada tulisan “ My sweet room”  aku mengetuk pintu " Catherine" panggilku ketika melihatnya duduk di meja belajarnya sambil menulis. " Mama". Katanya " Kok baru pulang?" Tanyanya dengan mata penuh kekhawatiran. Ya Tuhan hatiku pedih memandang matanya. Dia tahu pasti aku akan dimarahi papanya. Catherine memang lebih dewasa dari umurnya yang empat belas  tahun. Dia adalah temanku dalam suka dan duka, bila papanya lagi marah dan mengucapkan kata-kata kasar yang menyakiti hatiku, pasti Catherine yang akan menjadi temanku dan menghiburku agar bisa tertawa lagi. Aku memang tidak punya teman sejak menikah dengan Lutfi. Sudah hilang Anita yang supel, Anita yang kembang kampus, Anita yang cantik, aktif dan ceria. Lutfi telah mematikan semuanya. Aku juga heran kenapa Lutfi bukan lagi seperti Lutfi yang pertama aku kenal dulu. Waktu pacaran dia begitu manis, tidak pernah marah, bahkan aku yang sering marah dan mencuekinya. Lutfi perlu perjuangan ekstra keras untuk menjadikanku pacarnya karena aku dulu adalah seorang kembang kampus dan banyak cowok yang memperebutkanku. Aku jadi tidak menganggap Lutfi penting, kalau memang ia tidak tahan dengan sikapku, ia bisa memutuskanku dan aku bisa memilih  cowok lain. Tapi Lutfi dulu selalu sabar menghadapi sikapku yang ke kanak-kanakan dan manja. Ia diam dan hanya tersenyum ketika aku membatalkan janji nonton karena ingin makan bareng dengan sahabat-sahabatku. Ia hanya mengangguk waktu aku bilang tak jadi pulang bareng padahal dia jauh-jauh khusus datang menjemputku dari kantornya hanya karena aku kepingin  nonton konser musik jazz di kampus  bareng teman-temanku. Ia benar-benar cowok dewasa secara sikap dan prilaku juga mapan karena melanjutkan bisnis orang tuanya.. Lutfi juga ganteng, penuh perhatian dan sabar. Sehingga aku tidak berpikir dua kali lagi ketika ia melamarku untuk menjadi istrinya, meskipun saat itu umurku baru 22 rahun. Kami menikah tepat 3 bulan setelah wisudaku sebagai seorang sarjana sastra. Ilmu yang ku dapat tidak ada yang kupraktekkan karena Lutfi melarangku bekerja. Aku full menjadi ibu rumah tangga. Saat itu aku merasa sangat beruntung . Punya rumah mentereng, suami ganteng, di kasih mobil plus supir  dan dua orang pembantu rumah tangga. Tugasklu hanya melayani Lutfi sebaik-baiknya. Menyiapkan makannnya ketika dia pulang, mendengar keluh kesahnya tentang pekerjaan kantornya. Duniaku hanya untuk Lutfi, Lutfi dan Lutfi. Lutfi begitu memanjakan aku, aku mau apa pasti diikutinya..Tiap akhir tahun membawaku pelesir keluar negri, membelikanku hadiah mahal. Aku juga tidak protes ketika ia mulai melarangku untuk bertemu dengan teman-teman kuliah yang katanya tidak ada manfaatnya bagiku untuk bergaul dengan mereka, mereka hanya akan jadi benalu yang akan menggerogoti aku dan memanfaatkan segala fasilitas ku. Aku benar-benar jadi cewek rumahan dan bergantung segala hal kepada Lutfi. Kehilangan persahabatan, kehilangan sosialisasi bahkan keluargaku, karena untuk pergi menjenguk mama dan papa aku juga sudah tidak leluasa. Harus menunggu Lutfi atau supir yang mengantarku. Mulanya aku menerima saja semua larangannya , karena aku pikir memang itulah yang harus aku jalani sebagai seorang ibu rumah tangga juga aku pikir kalau Lutfi melakukan semua larangan itu adalah untuk kebaikanku dan juga tentunya  karena rasa cintanya yang begitu besar kepadaku. Hari-hariku benar-benar habis untuk Lutfi apalagi ketika Catherine lahir satu tahun setelah pernikahan kami. Hidupku benar-benar hanya untuk Catherine dan Luutfi. Duniaku seakan berputar untuk mereka, tidak ada sedikitpun untuk diriku sendiri.Lutfi yang mengambil semua keputusan, baik untuk diriku atau Catherine. Semua hal dalam rumah tangga harus melewati persetujuannya. Aku tidak boleh mengambil keputusan sendiri, dari baby sitter sampai pembantu semua dia yang handle. Mulanya aku senang karena aku berangapan bahwa ia benar-benar menyayangi aku sehingga aku tidak perlu melakukan hal-hal sepele seperti itu. Urusan rumah tangga  dari pembantu sampai urusan lanja keperluan dapur semua sudah ada yang mengatur, Tapi dengan beranjaknya waktu, aku semakin merasa tidak berguna. Di bilang ibu rumah tangga, tapi tidak pernah mengatur rumah. Ada satu orang pembantu tua warisan dari mama Lutfi yang mengurusi balanja bulanan dan masak makanan  untuk kami. Mau menjaga anak hanya boleh saat Lutfi berangkat ke kantor. Kalau malam hari, anak tidur sama baby sitter dan aku harus menemani Lutfi. Pokoknya kalau Lutfi sudah di rumah, dia adalah sentral bagi semua kegiatanku. Aku harus mengambil nasinya, menyendokkan lauk, menemaninya makan meskipun aku belum lapar dan tentu saja melayaninya di tempat tidur. Tidak boleh aku berpaling darinya selama dia ada di rumah dan juga aku tidak boleh berkata TIDAK padanya. Semua perkataan, pendapatnya harus aku setujui dan tidak boleh dibantah meskipun kadang-kadang menurut aku pendapatnya tidak benar. Kalau aku membantah, Lutfi pasti akan mengatakan kata-kata kasar dan menghina " Tau apa kamu ?? cewek itu nggak tau apa-apa tentang urusan kantor. Apalagi cewek bodoh seperti kamu. Tugasmu itu hanya melayani aku, kalau aku berbicara padamu, aku tidak perlu pendapatmu, aku hanya ingin kamu mendengarkan aku!"Dalam hati aku berkata, seharusnya Lutfi ngomong sama dinding saja yang cuma bisa mendengar dan tidak bisa mengelurkan suara.  Kalau Lutfi sudah berangkat kantor, barulah aku boleh menggendong dan menjaga Catherine dan mencurahkan seluruh kasih sayang ku kepadanya. Aku jadi seperti robot. Pagi harus  bangun jam lima, mandi dan berdandan karena sewaktu Lutfi bangun jam enam aku sudah harus siap melayaninya dengan tampilan yang cantik agar ia semangat bekerja , itu alasannya ketika ia mengharuskan aku dandan meskipun aku hanya di rumah. Menemaninya sarapan, baca koran lalu menyiapkan baju untuk berangkat ke kantor. Setelah ia berangkat, aku seharian bermain dengan Catherine sampai jam lima sore dan  Lutfi  pulang dari kantor  dan waktu ku kembali  lagi harus fokus hanya untuk Lutfi. Pernah waktu Catherine berumur dua tahun, sehabis makan malam dia lari kepelukanku di kamar  "Mama ayo main boneka" Lalu Lutfi langsung marah dan menjerit kuat  pada baby sitter " Sudah saya bilang Catherine jangan masuk ke sini kalau saya sudah pulang kerja.,kamu saya gaji untuk mengasuh dia. Jangan mau main lari ke mamanya!  Dia bisa main sama mamanya sampai puas, kalau  saya tidak ada di rumah !" Baby sitternya langsung lari terbirit-b***t menggendong Catherine yang meronta ronta. Hatiku hancur melihatnya. Tapi aku tak berani melawan. Hal-hal seperti itu berlangsung terus sampai Catherine mulai bersekolah di Taman Kanak-kanak.     Catherine sepertinya juga mengerti kalau ada papanya dia tidak boleh mendekati aku dan tidak boleh mengajakku bermain.   Waktu Catherine sekolah di taman kanak- kanak, aku diijinkan Lutfi untuk mengantar Catherine ke sekolah  karena waktu sekolah yang masih pendek dan Lutfi masih kerja di kantor. Di sekolah Catherine, aku bertemu ibu-ibu sesama orang tua murid. Sambil menunggu aku mengobrol dengan mereka. Aku jadi tahu bahwa kehidupan mereka sebagai ibu rumah tangga ternyata tidak seperti yang aku jalani selama ini. Mereka bisa bergaul, punya waktu nongkrong bersama teman, punya waktu shopping bareng dan punya waktu untuk mengurusi diri sendiri. Tidak seperti aku yang semuanya diurusi. Ke salon harus bareng Lutfi, beli baju harus bareng dia, kemana saja harus ada dia. Pikiranku menjadi terbuka dan aku jadi punya teman, kami mengobrol, tukar informasi tentang segala hal dan yang paling aku suka adalah makan bakso bareng sambil ketawa ha ha hihi. Rasanya duniku sewaktu kuliah kembali ada mengisi hatiku yang empat  tahun ini terasa hampa bagai ruang kosong . Selama ini Lutfi tak pernah tahu, entah mengapa aku diam dan merahasiakan tentang pertemanan dengan sesama orang tua murid  darinya karena perasaanku berkata kalau aku mengatakannya pasti Lutfi tidak akan mengizinkanku mengantar Catherine lagi.   Ketika Catherine naik ke Sekolah Dasar, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk  jalan bareng teman-teman sesama orang tua murid karena anak-anak SD pulang sekolahnya lebih siang, kami jadi bisa ke mall atau salon. Aku masih terus menyimpan rahasia itu. Kalau di tanya Lutfi apa yang aku lakukan di sekolah saat menunggu Catherine aku selalu menjawab " Nunggu aja di kantin sambil membaca n****+" . Tidak pernah sekalipun , aku  bercerita bahwa aku sudah mempunyai geng ibu-ibu. Dan suatu hari ,  petaka itu datang melanda…  Hidup terkungkung bagai burung di sangkar emas   Pasti ingin  terbang menuju dunia bebas   Agar nestapa bisa hilang dan penderitaan bisa lepas
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN