Bab 8. Rencana jahat Raya

1109 Kata
“Mama jangan gitu, dong! Bara ini anak mama, loh!” protes pria itu pada ibunya. “Mama tahu, mama juga nggak amnesia. Tapi, Mama melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Bara!” “Kebaikan yang mana, Ma? Mama memintaku bertanggung jawab atas kelakuan buruk orang lain. Itu yang Mama bilang terbaik?” Bara kembali meninggikan suara. “Lihat, Pah! Selain pengecut, anakmu ini juga ingin menjadi anak durhaka!” seru Sukma jengkel. “Tante, jangan salah paham dulu. Bara–” “Diam kamu, Jalang!” bentak Sukma semakin emosi. Keributan yang terjadi di ruang tengah akhirnya membuat Icha terusik. Wanita hamil itu keluar dari kamar. Dia terkejut saat melihat sang mertua sedang perang mulut dengan Bara dan Raya. “Mama, Papa,” panggil wanita itu. Sukma dan Panji langsung menoleh. Keduanya buru-buru menghampiri sang menantu. “Icha, kamu baik-baik saja, Sayang?” tanya Sukma khawatir. “Tentu saja, Ma. Icha baik-baik aja,” jawabnya, wanita itu terpaksa berbohong pada mertuanya. Sukma menggeleng tak percaya. Dia juga pernah muda. Dia tahu bagaimana perasaan Icha saat ini. “Jangan berbohong pada Mama, Icha,” ujar Sukma tegas. Kini Sukma beralih menatap Raya dengan sorot mata penuh amarah. “Kamu mau pergi sendiri atau perlu saya panggilkan satpam untuk mengusir kamu?” tanyanya dengan nada sarkas. Diusir secara terang-terangan tentu membuat Raya semakin kesal. Dia menatap Icha bak seekor singa yang akan menerkam mangsanya. Sebelum pergi dari rumah Bara, wanita itu sempat menyenggol lengan Icha, hingga wanita hamil itu nyaris terjatuh. *** Beberapa hari setelah kejadian itu, Bara tidak lagi berani membawa kekasihnya ke rumah. Selain tidak ingin hak warisnya jatuh pada Icha, dia juga tidak mau membuat sang pujaan hati diperlakukan buruk oleh Sukma. Sepulang kerja di kantor, Bara menyempatkan diri untuk mengunjungi sang kekasih di apartemen. Seperti biasa, mereka bermesraan demi melepas rindu. “Babe,” panggilnya dengan nada sensual. Kini kepala Raya sedang berada di pangkuan Bara. Lelaki itu dengan lembut membelai surau hitam sang kekasih. “Kenapa, Sayang?” tanya Bara, dengan tangan yang masih terus melakukan hal yang sama. “Sampai kapan, sih, kita begini? Aku ini pacar kamu, Bara. Tapi, gara-gara si Icha itu, aku jadi terlihat seperti pelakor,” adunya dengan nada yang dibuat seolah dia yang tersakiti. Sejenak Bara terdiam. Tangannya yang sejak tadi membelai rambut sang kekasih, kini diam tak bergerak. “Babe!” seru Raya yang kian kesal karena Bara malah mendiamkannya. “Iya, Sayang, sabar,” balasnya ragu. “Kita cari cara buat menyingkirkan dia, gimana?” tawar Raya tiba-tiba. “Maksud kamu?” Bara sungguh tidak paham dengan maksud sang kekasih. “Ya, kita hilangkan dia dari hidup kita, Babe. Kalau dia tiada, kita pasti bisa bersama,” jawabnya dengan percaya diri. Tanpa ragu Bara menggeleng. “Aku nggak setuju, Raya. Kita memang kesal pada Icha, tapi jangan sampai kita berbuat kriminal,” tolak Bara dengan tegas. Moodnya yang tadi bagus, seketika berubah setelah mendengar rencana yang diberikan sang kekasih. Meski dia membenci Icha, tetapi dia sama sekali tidak tega menyakiti Icha secara verbal. Lelaki itu langsung menyingkirkan Raya dari pangkuan. Dia juga bangkit dari sofa yang semula dia duduki. “Aku pulang,” ucapnya singkat. Bara benar-benar pergi dari apartemen Raya. Meski dia begitu mencintai wanita itu, tetapi dia sama sekali tidak setuju dengan ide konyol yang diberikan oleh Raya. “Di antara banyaknya ide, kenapa harus cara itu yang terlintas di pikiran Raya?” tanyanya tak menyangka sang kekasih akan berpikir sejahat itu. Lelaki itu memilih pulang ke rumah. Walaupun dia tidak suka bertemu dengan Icha, tetap saja dia adalah suami dari wanita itu. Mau tidak mau, dia memang harus tinggal bersamanya. Hubungan mereka tidak ada kemajuan apapun. Bara masih saja bersikap acuh, sedangkan Icha mulai tidak percaya diri untuk mendekati suaminya. Hari ini adalah tepat 3 bulan pernikahan Bara dan Icha. Namun, Bara sama sekali tidak mengingat momen tersebut. Lelaki itu bahkan langsung masuk kamar pribadinya dan tidak keluar lagi. Icha menatap nanar kue buatannya. Meski begitu, dia menyalakan lilin yang ada di kue tersebut. “Selamat hari jadi pernikahan ke 3 bulan, Bara. Maaf, maaf jika sampai saat ini aku belum bisa menjadi kebahagiaan untukmu,” ucapnya sendu, lalu meniup api lilin, hingga, padam. Malam sudah sangat larut. Icha yang juga merasakan kantuk, segera masuk ke kamar. Dia meninggalkan kue ulang bulan pernikahannya di meja makan begitu saja. Tubuh Icha yang dulu kurus, sekarang lebih berisi. Usia kehamilannya sudah memasuki 5 bulan. Walau morning sickness sudah tidak lagi dirasakan, tetapi dia malah kesulitan untuk tidur setelah perutnya semakin membesar. Terlebih lagi, janin di perutnya mulai aktif bergerak. Wanita itu membaringkan tubuhnya, miring ke sebelah kanan. Karena mengantuk, Icha memejamkan matanya. Namun, herannya, dia tak kunjung tidur. Kedua mata itu kembali terbuka lebar. Tendangan yang lumayan keras dari calon anaknya, membuat Icha tidak bisa tidur. Dia selalu kaget setiap kali sang janin bergerak. “Nak, tidur, ya! Ini sudah malam. Mama lelah sekali,” ucap Icha pada janin di perutnya. Seolah tahu dengan nasehat ibunya, anak di perut itu langsung diam. Icha sampai tersenyum senang. Dia kembali berusaha memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, dia telah larut dalam mimpi. Di sisi lain, saat tengah malam, Bara tiba-tiba saja terjaga. Tenggorokannya terasa kering dan membutuhkan air. Dikarenakan dia lupa membawa minum sebelum tidur tadi, jadilah dia terpaksa keluar menuju dapur. Dia tidak biasa berjalan dalam gelap, oleh karena itu dia menyalakan lampu. Dia berjalan pelan ke dapur. Begitu sampai di tempat tujuan, Bara dengan jelas melihat ada kue ulang tahun di atas meja. Penasaran, dia pun mendekat dan membaca tulisan di atas kue tersebut. “Hah, dia seniat ini dalam merayakan pernikahannya denganku?” Kepala pria itu menggeleng. “Dasar tidak tahu malu. Dia pikir aku akan berbahagia dengan pernikahan ini? Rupanya kenal sejak kecil pun tidak menjamin kita akan tahu watak seseorang,” lanjut Bara, lelaki itu kembali melangkahkan kakinya menuju dispenser air untuk mengambil air putih. Teguk demi teguk dia nikmati. Tenggorokannya yang tadi terasa kering dan gatal, kini terasa lebih nyaman. Dia pun kembali ke kamar dan melanjutkan tidur. Esok harinya, Bara berangkat kerja tanpa berpamitan pada istrinya. Lelaki itu berangkat pagi-pagi sekali. Memang niatnya untuk menghindari Icha. Ketika bangun, Icha sudah tidak mendapati suaminya. Dia menghela napas saat lagi-lagi Bara pergi tanpa memberitahu dirinya. Suara bel mengalihkan perhatian Icha. Wanita hamil itu tersenyum senang karena mengira Bara pulang lagi. Dia pun bergegas menuju pintu rumah. Dengan wajah berseri, Icha membuka pintu. Namun, bukan Bara yang dia lihat. Melainkan Raya yang berdiri angkuh di depannya. “Nih, titipan sarapan dari Bara! Gue sebenernya ogah datang ke sini, tapi demi pacar gue, jadi terpaksa nganter makanan buat Lo!” Raya menyodorkan goody bag pada Icha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN