WAJAH CANTIK, UNTUKKU!

1413 Kata
Amarah itu bertahan cukup lama, bahkan sampai terbawa ke dalam kamar tidur. Laras berbaring di tepi ranjang sambil menepuk p****t putrinya yang terlelap. Pikirannya masih dipenuhi ibu serta pria itu. Dahinya mengerut, berpikir adakah cara untuk membuat dua orang itu terpisah? Laras memandang putrinya yang tidur sambil memeluk boneka mickey mouse kesayangan. Gadis cilik nan manis, kesayangan Laras. Ia tersenyum tipis. Kehidupannya kian sempurna dengan adanya Saras dan Kevin serta memiliki orang tua teladan sebagai panutan, sebelum pria bernama Pradopo merusaknya. Laras bangkit lalu keluar kamar menuju ruang makan. Ia mengambil air minum dari dispenser yang berada di sisi kanan ruangan tersebut, bersebelahan dengan lemari es. Sambil berjalan ke meja, ia meneguknya rakus, seolah baru saja keluar dari padang pasir. "Ibu..." geramnya sambil mencengkeram gelas kosong sebelum meletakkannya kasar. Laras berpikir wanita itu tidak tahu umur. Sudah tua tapi keganjenan. Apa yang ada di pikiran wanita itu? Rasanya sulit dipercaya. Laras mengembuskan napas di udara. Rasanya sulit tidur jika pikiran terus dibayang-bayangi ibu dan pria itu. Kevin melihat Laras masih setegang kala melihat ibu mertuanya di restoran tadi. Perlahan ia mengusap dua pundak istrinya, memijatnya lembut kemudian mengecup leher wanita itu dari belakang. "Sayang, hentikan!" Ini bukan saatnya untuk memadu kasih. Tidak saat pikirannya sedang berkecamuk. Kevin tahu apa yang sedang ada dalam pikiran Laras. Sepuluh tahun membina rumah tangga. Sudah cukup bagi Kevin mengetahui segala tindak tanduk istrinya termasuk soal sulitnya Laras melupakan hal-hal yang dibencinya. "Ayolah. Saras sudah tidur." Kevin berusaha menggoda sang istri. Hanya cara ini yang bisa membuat pikiran Laras teralihkan. "Apa kamu masih ingat Ibu dan pria itu? Sayang, kupikir sebaiknya aku cari cara memisahkan mereka." Laras memutar badan demi bisa melihat suaminya. Kevin menggoda sang istri. Menyentuh titik-titik kebahagiaan wanita itu. Tapi Laras membuang muka. Bukan saatnya bercinta, itu yang dipikirkan Laras tetapi suaminya sepertinya tidak peduli. "Sayang. Aku ingin Ibu menjauh dari pria itu," ucapnya. Kevin tidak sependapat. Hidup harus realistis. Danu mati dan Fitri berhak menikah lagi. Andai ia di posisi Danu, ia tidak keberatan jika Laras menikah lagi asal dengan pria yang dengan tulus mencintai istri serta anaknya. Tetapi tentu saja Kevin tidak ingin merusak suasana atau Laras akan benar-benar murka. "Sudahlah. Pikirkan saja tentang kita! Kau bilang ingin punya anak lagi. Kita buat sekarang!" Kevin menunduk demi bisa mencapai bibir istrinya. "Sayang...." Senyum Laras merekah, ia tahu Kevin sedang berusaha mengalihkan perhatiannya. Laras menyentuh d**a Kevin yang masih terbalut kemeja biru, mengusapnya perlahan membuat libido Kevin semakin berteriak. Sudah cukup baginya memikirkan sang ibu. Kali ini biarkan Kevin mengawalnya ke puncak kebahagiaan dan tentu saja menikmati perasaan dicintai. *** Jantung Fitri berdetak kencang seolah genderang perang. Matanya terbelalak ke sosok pria yang kini melangkah pelan mendekatinya. Tuhan tolong aku, dalam hati kalimat itu terus diulang-ulang seolah itu sebuah mantra sakti yang akan menolongnya. "Am ... ambil semuanya! To ... long, jangan bb ... bunuh, aku!" Suaranya tercekik, membuatnya terbata-bata dan air mata mengalir begitu saja. Pria dengan pisau terhunus merasakan ketakutan melanda wanita yang sebenarnya masih terlihat cantik sekalipun usinya hampir senja. Tetapi ia harus menyelesaikan misi pentingnya. Mengenyahkan siapa pun yang menyakiti Laras, sekalipun itu ibunya. Pria itu semakin mendekati Fitri. Ia bukan orang berbelas kasih dengan membunuh dengan sekali tebas. Sudah lama ia tidak menikmati nyanyian kematian. Kali ini ia ingin mendengarkan nyanyian dari suara wanita. Pasti sangat indah. Fitri tak berkutik. Tubuhnya sudah merapat dengan dinding. Wajahnya memerah, keringat dingin menghiasi wajahnya. Tatapan ketakutan menghiasi matanya. Tubuhnya bergetar hebat namun begitu kaku. Sangat kaku hingga menggeleng saja serasa sulit, tetapi tetap ia paksakan. Seolah gelengan itu akan menghentikan pria yang entah apa maunya. Tangan pria itu menyentuh pundak Fitri. Terasa dingin awalnya, namun pelan-pelan terasa hangat. Sentuhan itu kini berubah menjadi cengkeraman kuat. Kaki pria itu membuka lalu duduk di atas perutnya. Tangannya berusaha menggapai pria itu. Memukul dan menendang-nendang serampangan, berharap ia bisa lolos dari malaikat maut yang mungkin saja menjemputnya. Pria itu menyatukan pergelangan tangan Fitri ke atas kepala. Mengikatnya dengan menggunakan tali tambang kecil yang telah ia persiapkan. Pria itu memutar kedua tangan Fitri yang terikat ke belakang kepala wanita itu. Bagai sebuah bantal walau tak nyaman. Bantal yang akan Fitri pakai untuk menjemput kematian. "To ... long. Ja ... jangan!" erang Fitri. Fitri masih saja berteriak, seolah suaranya akan membuat beberapa tetangganya datang. Tapi Fitri sudah lupa, rumahnya diapit dua kebun dan sudah jelas tetangga depan rumahnya tidak akan membantu sama sekali. Sang pemilik sedang pergi, entah kemana. Pria itu meletakkan pisaunya di samping tubuh Fitri. Melihat sebuah kesempatan membuat Fitri berusaha menggapai pisau itu dengan merubuhkan tubuhnya. Walau tingkat keberhasilannya sangat minim, namun patut dicoba. Tetapi sang pria misterius kembali mengambil pisaunya, sementara tangan lain membuat tanda larangan dengan telunjuk yang digoyangkan ke kanan dan kiri. "Ssssttt..." Pria itu meletakkan telunjuknya di depan bibirnya sendiri. Perintah paling menakutkan yang pernah dilihat Fitri. Bagaimana bisa ia berdiam diri sementara hidupnya sedang dipertaruhkan. Satu tangan pria itu merogoh saku celana, entah apa yang hendak pria itu keluarkan tetapi perintah berteriak terus ada di pikiran Fitri. Fitri hendak berteriak namun sayangnya terlambat. Pria itu tahu apa yang hendak diperbuat targetnya. Ini bukan pembunuhannya yang pertama, tetapi akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir bagi Fitri. Pria itu membungkam mulut Fitri dengan mengikatkan sapu tangan kotak-kotak merah tepat saat mulut wanita itu terbuka. Kini hanya air mata yang bisa bersuara, sementara suara yang keluar dari kerongkongan Fitri, teredam hampir sempurna. "Nikmatilah, Sayang." Senyum seringai terbentuk, sayangnya Fitri tidak bisa melihatnya. Bahkan jika pun bisa, itu hanya membuat kengerian semakin sempurna. Pria itu kembali mengambil pisaunya. Menyentuh muka Fitri dengan usapan lembut dari ujung belatinya. Bergerak perlahan mengitari sekeliling wajah Fitri. Awalnya dari dahi, bergerak perlahan melintasi tulang pipi, rahang lalu kembali ke tulang pipi hingga kembali dahi satunya. "Kau cantik. Tahukah kau?" Pertanyaan itu mengandung makna mengerikan. Bahkan diantara ketakutannya, Fitri bertanya-tanya apa maksud pria itu. Tetapi apapun maksudnya, jelas itu bukan hal baik. Fitri memejamkan mata. Waktu tiba-tiba terasa sangat lambat. Sentuhan pisau di kulitnya begitu terasa menyiksa, sekalipun sebenarnya sentuhan itu begitu ringan dan lembut. Detak jantungnya kian terasa keras. Debarannya seolah terdengar di telinganya, menutupi suara rintihan menyayat yang sedikit redam oleh ikatan sapu tangan. Tuhan, tolong aku! Kepala pria itu meneleng sedikit. Wajah wanita ini tidak boleh tertimbun tanah. Terlalu cantik untuk dimakan ulat-ulat di dalam kubur. Ia harus menyelamatkan wajah wanita itu. Perlahan pria itu menusuk kulit dahi Fitri, darah merembes keluar dan mengalir pelan turun ke tulang pipi hingga menetes jatuh di atas pangkuannya. Rasa perih tak tertahankan. Fitri menangis tersedu-sedu. Teriakannya teredam karena bungkaman di mulutnya dan isak tangis yang tidak mampu ia hentikan. Rasa perih yang timbul hanya dirasakan sekali dan begitu perih, bahkan saat belati menyayat kulit wajahnya nan mulus perlahan turun dan terus turun. *** Percayakah kau dengan naluri? Pradopo percaya. Hatinya tak enak sejak ia berpisah dengan Fitri. Awalnya ia pikir karena penolakan wanita itu. Tetapi sekarang, ia tahu alasannya. "b*****h!" umpatan yang sangat wajar keluar dari bibir Pradopo. Melihat wanita terkasihnya sedang di ujung maut, membuat amarahnya memuncak. Pria itu menoleh kepadanya. Pria bertopeng yang sedang berusaha ... Oh Tuhan, entah apa yang sedang dilakukan iblis itu kepada wanitanya. Pradopo melangkah cepat ke arah pria itu. Menarik kemeja pria itu hingga berdiri. Pria itu menancapkan belati yang masih digenggamnya tepat di bahu Pradopo. Membuat darah seketika mengalir bersama rasa perih yang sebenarnya ia rasakan begitu kuat. Tetapi saat melihat wajah Fitri memucat dengan darah yang menghiasi wajah wanita itu. Rasa sakitnya seolah tidak ada artinya. "AYAH!" Lesmana, sang putra tunggal Pradopo datang membantu. Membuat pria itu terkejut dengan tubuh terpaku di tengah pintu. Pria itu mendorong Pradopo hingga terjungkal di atas lantai lalu mendorong Lesmana yang masih berdiri dengan tatapan terkejut. Ia masih terlalu bingung dengan kejadian itu, membuatnya lengah dan dengan mudah didorong sang pria pembantai hingga punggungnya menubruk dinding. Lesmana marah, sekalipun sadar itu terlambat. Ia hendak mengejar pria itu tetapi Pradopo mencegahnya. Pradopo berpikir yang terpenting sekarang adalah Fitri. "Tapi Ayah..." Lesmana berpikir sebaliknya. Fitri bisa ditenangkan Pradopo dan ia bisa mengejar pria itu tetapi saat melihat Pradopo bangkit dengan sebilah pisau menancap di bahu pria itu. Lesmana sadar, ayahnya benar. Fitri menangis tergugu. Matanya memerah dan keringat membasahi wajahnya. Melihat kejadian menyeramkan yang baru saja dihadapi, serasa mimpi. Tetapi saat merasakan sakitnya nyata, Fitri tahu ini benar-benar sedang terjadi. "Fitri, tenangkan dirimu! Kau aman sekarang. Fitri...." Pradopo merangkum wajah Fitri. Diciumnya dahi Fitri dan memeluk wanita itu begitu erat dan membiarkan wanita itu menangis dalam dekapannya. Fitri tidak ada pilihan bagimu. Aku harus menikahimu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN