ADIK IPAR-6

3204 Kata
Happy Reading ---------------- 'Lancar bener bohongnya.' Benak Ruby, mendengar ucapan iparnya yang mengalir seperti air tanpa sumbatan. Ruby merasakan kepalanya berdentum-dentum seperti dipukul benda tumpul. Perutnya pun bergejolak, seolah sesuatu terdorong naik keatas. Ruby membuka pintu mobil tapi, tidak bisa. "Baiklah Safir, terima kasih, Nak. Ibu dan ayah bisa istirahat tenang." ucap Kalimaya. "Baik, Bu." Safir mematikan ponselnya. Ia menoleh ke belakang, mengembuskan nafas lelah, melihat Ruby menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Minta pintu di bukakan. Safir menekan tombol buka pintu. Ruby segera keluar mobil dan berlari ke belakang mobil Safir, memuntahkan isi perutnya. Safir menyusulnya ke belakang, membawakan botol air mineral. Apa ini adiknya Intan? Safir meragukan Ruby lahir dari rahim yang sama dengan Intan. Jangan-jangan hasil ngutip di tong sampah. "Astaga." Safir mengusap wajahnya, menyadari pikirannya terlalu negatif mengenai Ruby. Safir membuang nafas kasar. Entah seperti apa ia menjalani kehidupan pernikahan nanti dengan gadis kecil ini. Safir membungkuk, untuk menepuk punggung Ruby. "Minum ini," ia memberikan botol minuman untuk Ruby. Ruby menerima dan meneguk isinya. Mencuci mulutnya yang bau alkohol. Safir membantu Ruby berdiri dan segera di tepis Ruby. "Aku bisa sendiri." Ketusnya, berdiri dan tiba-tiba tubuhnya oleng, pusing. Beruntung Safir menangkapnya, dan membawanya merapat ke dalam pelukannya. "Aku jatuhin bisa pecah kepalamu. Dasar bodoh." Marah Safir, melepas Ruby dari pelukannya. "Jatuhin aja." balas Ruby. "Ck, cepatlah. Masuk ke mobil." Sinis Safir. Ruby mencemooh, membawa langkah masuk ke dalam mobil. Duduk di bangku penumpang. Safir, menghidupkan tape mobilnya dengan volume rendah. Ia melipat tangan didepan dαda sembari memejamkan mata. Ruby bingung, lantaran pria itu diam dan bukannya mengemudikan mobilnya untuk pulang. "Kita nggak pulang?" tanya Ruby. "Kemana?" Safir balik bertanya. "Kerumahlah," "Dengan kelakuanmu yang bodoh ini. Mabuk. Nggak jelas kamu! Jangan bergaul sama orang itu." "Ah, bodo amat." Ruby melempar botol minuman yang masih tersisa setengah ke depan. Safir jengkel, menoleh kebelakang. "Nggak sopan nih, anak." Mata Safir berkilat tajam. Drrtt …. Drrtt …. Ponsel Safir berdering masih dalam pelukan holder. Kini giliran Amber yang menghubunginya. Safir menekan gagang telepon warna hijau pada layar ponselnya. "Halo, Ma."sapa Safir. "Belum pulang?" "Ma, aku mengantuk berat dan beristirahat di pom bensin. Mungkin tidur disini, sudah nggak kuat nyetir. Tolong jaga Kristal." Lagi-lagi Safir berbohong. "Astaga. Ya sudah, hati-hati." ucap Amber. "Iya, Ma." Safir memutus sambungan telepon. Ia menoleh kebelakang. "Tidur aja By, besok pagi aku antar kamu pulang ke rumah." ucapnya. Ruby mengambil bantal dari belakang jok kemudian berbaring dan menghadap sandaran jok. Membuka game dalam ponselnya. Ia melihat akun Topaz online. Ruby melirik jam di layar ponselnya. Jam satu dini hari. Ruby keluar dari game. Mematikan ponsel itu, ia menangis dalam diam. **** Ruby keluar mobil dan menutupnya sedikit kencang begitu mereka tiba di rumahnya. Ia membuka pintu rumah dan berjalan cepat masuk dengan wajah ditekuk. "Ruby." panggil Gemma menghentikan langkah putrinya. Ruby berbalik dan melihat Gemma yang tengah duduk di depan tv, seperti biasa mengisi pagi harinya sembari menunggu sarapan buatan sang istri. "Kau dari mana?" tanya Gemma memperhatikan penampilan putrinya, yang berantakan. "Kalian sudah tahu dari kak Safir, kenapa mesti nanya lagi sih?" jawab Ruby kesal. "Kau?" Gemma mendelik, melangkah menghampiri Ruby. "aku memanjakanmu, bukan berarti kau bisa bebas seenaknya. Ada apa denganmu? Katakan kemana kau semalam?" Gemma menuding Ruby. "Papah, sudah jangan terlalu marah." Kalimaya menenangkan suaminya dengan mengelus punggung suaminya itu. "Ruby, lain kali kalau pergi pamit, nak. Jangan bikin orang tua khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu dan kami tidak tahu apa-apa?" "Memangnya kalian peduli?" Sahut Ruby ketus. "Kau!" tangan Gemma terangkat, hendak menampar putrinya. Kalimaya menahan. "Papah." "Kenapa Pah? Apa perkataan Ruby terlalu benar? Kalian tidak sayang Ruby, putri kalian hanya Intan dan aku hanya sebuah kesialan terlahir ke dunia ini." Gemma tercengang mendengarnya, ia melebarkan mata pada putrinya. "Kau bicara apa Ruby?" Teriak Kalimaya menarik tangan putrinya, menjauh dari Gemma yang mematung di tempatnya. "Hanya karena kami mendukung keinginan kakakmu untuk menikah dengan suaminya, kau menyangkal kasih sayang kami? Kau ingin bagaimana? Batal? Baiklah. Mama akan bicara dengan Safir dan---," "Tidak Ibu, Safir akan menikah dengan Ruby." Sahut Safir menyela. Membuat semua mata beralih padanya. "Aku akan mengatur pernikahan kita Ruby. Berikan semua berkasmu. Dan tunggu kabar dari kakak kapan kita menikah." Sambung Safir, melihat adiknya. "Safir, pikirkan kembali nak untuk menikahinya. Ibu tidak akan memaksakan kalian." ucap Kalimaya. "Ini Sudah keputusan Safir. Aku akan menikahinya." tegas Safir. Safir menyalami tangan Gemma yang masih terpaku di tempatnya. Kemudian menyalami Kalimaya. "Aku pulang, Bu, Ayah." pamit Safir. "Hati-hati, Nak." pesan Kalimaya. Ruby mendengus, meninggalkan tempat itu menuju lantai atas kamarnya. Ia membuka pintu dan melepas tas dan sepatunya, berserakan di lantai. Ia melompat ke atas ranjang dan menyembunyikan wajahnya pada bantal, menangis. "Kenapa dengannya? Aku seperti tidak mengenalnya." ujar Gemma, ia duduk di sofa. "Papah, menurutmu apa kita terlalu egois menikahkan dia dengan Safir. Aku justru khawatir dengan Safir. Takutnya dia nggak sanggup menghadapi Ruby." ujar Kalimaya. Ragu. "Tidak. Aku yakin Safir bisa menghadapi dia. Aku tidak peduli jika Safir mengekangnya." tandas Gemma. Kalimaya berdecak, menoleh ke lantai atas. Ia mengingat saat memasuki kamar putrinya. Foto bersama mereka tergeletak di lantai dengan bingkai pecah. Kalimaya merapikan pecahan bingkai itu dan menyimpan foto itu ke dalam laci meja rias Ruby. "Sarapan, Pah. Aku sudah siapkan di meja makan." ucap Kalimaya. "Sebentar lagi, Mah. Seleraku hilang." kata Gemma, mengusap belakang lehernya yang terasa tegang. Memikirkan kelakukan putrinya yang mendadak gila. "Ruby bilang dia punya kekasih," kata Kalimaya. Gemma menoleh pada istrinya, "Kapan dia mengatakan itu?" "Belum lama ini, dia ingin mengenalkannya tapi aku menolaknya karena kita sudah sepakat menikahkannya dengan Safir." "Dia punya pacar setelah dijodohkan dengan Safir. Dari kapan-kapan, dia tidak pernah mengenalkan atau cerita memiliki kekasih. Anak itu sudah liar di luaran sana. Papah memutuskan, dia harus menikah dengan Safir. Siapkan berkas yang diminta Safir dan antarkan padanya." kata Gemma dengan jelas. "Iya, Pah." balas Kalimaya dengan nada pelan. **** Safir kedatangan Berlian di kliniknya. Ia ingin memasang gigi kelinci yang sedang trend saat ini. Sebenarnya, itu hanya alasan untuk ia menemui dokter ini. "Bagaimana lubang gigi adikmu? Sudah ditambal?" tanya Safir, tersenyum melihat Berlian yang cantik di seberang mejanya. "Dia sudah ke dokter lain, Fir. Maaf dia tidak mau menunggu." bohong Berlian. Safir terkekeh, "Baiklah, aku jelaskan ya, sebelum kamu mengambil keputusan untuk untuk memasang gigi kelinci permanen." ujar Safir. Kemudian ia menjelaskan, resiko dan keuntungan menggunakan gigi kelinci secara mendetail. Tampak Berlian memperhatikan setiap gerakan bibir Safir saat berucap. Sangat menarik dan seksi. Safir sangat tampan di matanya. "Fir, kau sudah punya kekasih?" tanya Berlian menghentikan Safir bicara. Safir melihat Berlian kemudian mengangguk. Seketika anggukan Safir merubah wajah ceria Berlian menjadi kecewa. "Bukannya kau baru kehilangan istrimu, ya?" tanya Berlian, ia tidak percaya pria ini secepat itu menggantikan posisi istrinya di hatinya. Berlian mengingat saat pertama kali mereka bertemu di mall, pria ini melupakannya. Padahal cinta pertama itu sebuah kenangan yang tidak pernah dilupakan dalam hidup siapapun. Namun, tidak dengan Safir, dia begitu mudah melupakan dirinya. Dan mungkin itu yang sedang terjadi sekarang, Safir melupakan mendiang istrinya. "Iya, kurang lebih satu bulan." Jawab Safir, kemudian memasang wajah sendu. Membuat Berlian bingung. Safir memiliki kekasih, seharusnya dia senang namun, kenapa wajah itu berubah sedih saat aku aku menyinggung istrinya. Gumam Berlian dalam hati. "Aku tahu kamu tampan dan didukung penampilan yang keren tapi, bukankah keterlaluan jika kamu segera membuka hati dengan wanita lain? Sementara istrimu belum seutuhnya menjadi tanah." ujar Berlian. Safir terkekeh, kemudian menghela nafas panjang. "Gadis itu pilihan istriku sebelum dia pergi untuk selamanya." ucap Safir untuk menepis ucapan Berlian. Berlian membeliak, tidak percaya dengan apa yang di dengarkan oleh telinganya sendiri. "istrimu memilihkan kekasih untukmu?" tanya Berlian dengan sangat penasaran. "Kira-kira begitu, sebenarnya bukan kekasih sih, tapi penggantinya menjadi ibu untuk putriku." ucap Safir. Berlian jadi tampak bodoh, ia berdehem kecil. "apa maksudmu?" tanya Berlian, ia tertarik dengan kisah kehidupan Safir. Safir terkekeh ramah, "Erli, kau mau memasang gigi kelinci atau mendengarkan cerita tentangku kehidupanku?" "Dua-duanya," "Ohh …, baiklah. Aku kasih tahu intinya aja. Kau pernah mendengar turun ranjang?" tanya Safir. Manik mata Berlian membulat sempurna."Kau turun ranjang?" "Itu yang terjadi pada kisah hidupku, Erli. Segera aku akan menikah dengan adik iparku." tambahnya tersenyum tipis. Berlian merasa kecewa mendengar pengakuan Safir. Kesempatannya hilang untuk tebar pesona pada mantan kekasih remajanya ini. "Kapan kalian menikah?" tanya Berlian, menarik tipis senyum pada bibirnya. Untuk menutupi rasa kecewanya. "Umm, masih proses daftar berkas. Pernikahan kecil, tidak etis merayakan pernikahan besar sementara duka masih melekat di hati kami." ujar Safir, mengetuk-ngetuk pena di tangannya pada meja kerjanya. Berlian mengangguk, ia menahan mendung di kedua manik matanya, "Istrimu pasti sangat baik, sampai-sampai mewariskan istri untukmu." ucapnya, merasakan sesuatu mencubit bagian hatinya hingga terasa sakit. "Dia memang baik," Safir setuju ucapan Berlian kemudian menghela nafas panjang, "lupakan mengenai itu, kita kembali pada tujuan utama kita. Jadi gimana? Gigi kelincinya, jadi kita pasang?" tanya Safir, kembali ke pembahasan utama mereka. "Safir, aku akan kembali nanti. Maaf, aku merasa pusing. Maaf …" Berlian beranjak dari hadapan Safir. Kemudian merasa dunianya seketika runtuh hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. "Erli." Safir mendorong kursi kerjanya dengan punggung untuk kemudian ia berdiri dari tempat duduknya dan menolong Berlian. Mengangkat tubuh wanita cantik itu ke atas Bed. *** Topaz berhenti melangkah saat melihat Ruby jalan bersama Jasmin di koridor Gedung Ekonomi. "By, pacar loe." ucap Jasmin ketika kedua sorot Jasmin menangkap pria tampan tak jauh di depannya. Ruby spontan berhenti melangkah. Menatap Topaz dari jarak tiga meter. Topaz terlihat asing, penampilannya berbeda dari hari biasanya. Sedikit berantakan meskipun demikian tidak mengurangi ketampanannya. "Gue duluan, ya." Jasmin, meninggalkan dua orang yang sedang bermasalah tentang hati. "Iya, ntar gue nyusul." Jasmin melewati Topaz dan menyapa dengan senyumnya. Topaz membalas dengan senyum simpul. "Taman, By." ajak Topaz, berbalik badan. Membawa langkah pada tujuan. Mereka tiba di taman belakang kampus, Safir dan Ruby duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi dan bercat hitam. Hening … Deg. Deg. Deg. Jantung keduanya bertalu di tempat masing-masing. Sementara dua orang itu menatap lurus ke depan. Topaz menelan ludah, membuat jakun di leher jenjangnya naik turun. Mereka duduk dalam kebisuan. Tidak tahu harus memulai dari mana. Dua-duanya menjadi canggung. Topaz berdehem, menoleh sebentar sang mantan. Begitu juga dengan Ruby. Hingga tatapan keduanya bertabrakan, kemudian saling menunduk. Hening … "Kak Topaz mau bicara apa?" tanya Ruby memulai obrolan di antara mereka. Topaz menoleh gadis imut, "By, kau benar-benar akan menikah?" tanyanya, memastikan. Siapa tahu ada perubahan dalam beberapa hari ini setelah mereka putus dalam keadaan marah. "Pernikahan akan terjadi dalam waktu dekat ini." lirih Ruby, menundukkan kepala, sedih. Hati Topaz kembali patah. Kesempatannya memiliki gadis ini berakhir. Ini tidak adil! Hubungan asmara mereka yang manis kandas dalam waktu singkat, bukan karena ketidakcocokan hati keduanya. Tapi … Topaz tersenyum pahit, sepahit empedu. Ia tidak tahu mesti bicara apa. Ah sial! Topaz hanya bisa beristrikan Ruby dalam dunia game. Menyedihkan. Cinta pertama memang tidak pernah mulus. "Aku doakan yang terbaik. Semoga bahagia, By." ucap Topaz. "Kak Topaz, kau tidak ingin membantuku dalam hal ini? Selama aku menikah dengan kak Safir. Hubungan kita tetap berjalan seperti biasa." Ruby berharap Topaz merubah pikirannya untuk tidak mengakhiri hubungan mereka secara permanen. Ia sangat mencintai Topaz. Sangat. "Pernikahan itu bukan sebuah permainan, Ruby. Dimana kamu bisa mengakhiri dengan mudah."kata Topaz menatapnya dengan sedih. "Tapi, Ruby sangat mencintai kak Topaz." akunya, menunduk. "Kau yang membuat kita begini," Topaz menyalahkan Ruby. Ruby mengangkat kepala yang menunduk dalam, menatap mantan kekasihnya ini. "Kau benar, maafkan aku." sesalnya, menghentakkan nafas panjang. Melapangkan tempat hatinya yang menyesak, kemudian menunduk lagi. Topaz bangkit dari duduknya. Melihat sebentar Ruby menunduk. Seharusnya mereka bercengkrama saat ini, seperti hari-hari sebelumnya. Topaz semakin kesal dalam hati, ia membawa langkahnya meninggalkan Ruby sendirian tempat duduknya. Air mata Ruby menitik, buru-buru ia menyeka dengan punggung tangan. Mengangkat kepala yang menunduk, Topaz sudah menjauh dari tempat itu. Cintanya benar-benar kandas. *** "Kau sudah menentukan tanggal pernikahan kalian?" tanya Amber. Ia memakaikan pakaian Kristal yang baru saja dimandikan olehnya. "Umm … bulan ini, Ma." Gumam Safir. Penampilannya berantakan, ia baru saja bangun tidur. "Rencana kalau kalian sudah menikah, Mama mau pulang ke Manado. Kasihan Oma mu sendirian disana." Amber menepuk lembut pipi Kristal dengan bubuk bedak di telapak tangan. "Ck, Kristal masih kecil, Ma." Safir tidak bisa bayangkan hidup tanpa Mamanya. Siapa yang akan merawat Kristal? Dia tidak pandai dan masih gamang menghadapi Kristal. Safir masih sangat mengandalkan Mama Amber untuk merawat putrinya. "Kan ada istrimu, nanti Mama ajarkan cara merawat bayi, mertuamu juga dekat, Safir. Mereka bisa datang kesini. Sementara Oma di Manado tidak ada teman. Keluarga disana pada sibuk dengan urusan masing-masing. Kasihan…, tubuhnya sudah rentan." "Bagaimana kalau Oma aku jemput dan tinggal disini?" Safir mengusulkan. "Huh, kayak mau aja. Kalau Oma mau, sudah dari dulu Mama bopong untuk tinggal disini. Mama nggak mau jadi menantu durhaka kalau tidak merawatnya." Amber merapikan bedak dan minyak telon milik Kristal ke dalam kotak kemudian meletakkan di atas meja rias dalam kamar itu. "Mama ambilkan s**u Kristal dulu," ucapnya dan meninggalkan kamar itu. Safir membuang nafasnya. " kan ada istrimu." Safir terkekeh mengingat ucapan Mamanya. Gadis manja itu, apa sanggup merawat putrinya? But the way …kenapa Intan berpikir, Ruby bisa menjadi ibu dari putrinya. Seperti dia tidak mengenal adiknya. Safir mengangkat putrinya dan menempatkan dalam gendongannya, ia mengajak Kristal bermain-main. "Sayang, sudah wangi ya. Cantik …, Cilukba .... Papi cium dulu." Safir mencium kepala putrinya. "Umm wanginya putri Papi, cepat gede yang sayang ...." sambungnya. Kristal memasukkan ibu jari ke dalam mulut. "Haus nih putri Papi …, cebentar ya, Oma lagi bikinin s**u untuk putri kesayangan Papi..." Safir menarik tangan Kristal dari mulutnya. "Buru Oma … Kristal dah haus …" cakap-cakap Safir mengajak putrinya berbicara. Ting … Ting … Ponsel safir berdenting, sebuah pesan masuk "O~ooh … handphone Papi bunyi ada pesan … kira-kira pesan siapa ya?" ujarnya. Safir mengambil dari tempat tidur dan membaca pesan yang dikirimkan Berlian padanya. [Pagi Safir, kau sibuk? Apa boleh kita bertemu] isi pesan Berlian membuat kening Safir mengerut. Sudah satu minggu mereka tidak saling menyapa. Ia meletakkan Kristal di tempat tidur, supaya bisa membalas pesan itu. [Boleh, dimana?] balas Safir, tidak lama kemudian ponsel itu berdenting. Berlian mengirimkan tempat mereka bertemu. [Oke, sampai ketemu disana, Erli] balas Safir, meletakkan ponselnya dan di atas tempat tidur dan kembali mengajak Kristal bermain-main dengan decak-decak dari mulutnya. Amber datang membawakan s**u untuk cucunya, "hari ini kamu nggak kerja?" tanya Amber, mengangkat tubuh cucunya pelan-pelan untuk diberikan menyusu. "Kerja, Ma. Aku mandi dulu, ya." Safir beranjak dari tepian ranjang. "Gaun pengantin Ruby kapan rencana kalian pesan?" tanya Amber sebelum putranya menutup pintu kamar mandi. "Nanti aku bicarakan dengan Ruby, Ma." Safir menutup pintu kamar mandi. "Gerak cepat Safir, jangan lamban." seru Amber. Safir mendengus di kamar mandi. Memangnya menikah bisa instan? Butuh proses panjang untuk segalanya. Safir masuk ke dalam kotak kaca ruang mandi, menekan shower untuk menyiram tubuhnya yang tinggi dan ramping itu. *** Safir melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe tempat mereka membuat janji temu. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kafe tampak sepi, mungkin karena masih jam kerja. Di salah satu meja, ia melihat keberadaan Berlian sedang fokus pada ponselnya. Ia membawa langkah kesana. "Sudah lama nunggu?"tanya Safir, mengejutkan Berlian. "Oh, kau sudah datang? Tiga puluh menit," Berlian terkekeh. "Astaga, sorry. Aku mampir ke klinik tadi." ujar Safir dengan raut menyesal. "Nggak apa-apa, santai aja. Lagian aku yang salah ajak kamu ketemu di jam kerja." Berlian memanggil pelayan dengan melambaikan tangan," kamu sudah makan?" tanya Berlian. "Sudah, kamu bagaimana?" Safir balik bertanya. "Sudah dari apartemen. Kalau begitu aku traktir minum kopi aja?" tawar Berlian. "Boleh," ujar Safir, setuju. Pelayan menghampiri dengan membawakan buku menu. "Selamat pagi menjelang siang, ini buku menu silahkan di cek." Pelayan menyapa ramah seraya memberikan buku menu pada Safir dan Berlian. Safir menuliskan pesanannya. Caffe latte dengan sepotong Red velvet. Sementara Berlian memesan cake yang sama dan segelas cappucino. Safir memberikan buku menu kepada pelayan. "Ditunggu, sebentar kami akan siapkan," ujarnya ramah. Kemudian membawakan buku menu ke Barista. "Ada yang mau aku sampaikan, Fir." ujar Berlian. "Iya, apa itu?" Safir bersiap mendengarkan Berlian. Tadi sebelum dia memutuskan mengajak Safir bertemu, dia sudah belajar memberanikan diri menyampaikan isi hatinya yang ia pendam dalam beberapa hari ini. "Aku jatuh cinta, Fir." ucapnya. Safir menaikkan kedua alisnya, "Sungguh? Dengan siapa?" tanya Safir. Wajahnya ikut bersinar, turut bahagia. Berlian mengepal kedua tangan di atas pahanya. Degup jantungnya berlari di dalam dαda. Ini sangat menegangkan seperti menjelajah rumah Roy kinosi. Menantang sekaligus melemaskan tubuh. Namun, ia harus mengatakan ini, sebelum Safir membawa adik iparnya itu naik ke altar untuk meminta berkat pernikahan. "Dengan mantan pacarku. Kamu."ucapnya dengan jelas. Kedua alis Safir yang terangkat tinggi kembali datar. Safir menelan kuat saliva, membuat jakun naik turun di leher seksinya. Ia mengulum bibirnya kemudian terkekeh pengakuan berlian membuatnya salah tingkah. Sebentar Safir memalingkan wajah dari pandangan Berlian yang menatap lekat wajahnya. "Aku sudah pernah cerita, kan? Kalau aku akan menikah." Safir mengingatkan Berlian seraya menggaruk sebelah alisnya yang sama sekali tidak gatal. Deg. Deg.Deg. Jantung Berlian semakin bertalu. Ia merutuk dalam hati lantaran degup jantungnya tidak bisa diajak kerjasama. Pasti sampai ke telinga Safir. Memalukan. "Safir, aku hanya menyampaikan isi hatiku." ujar Berlian membawa kepala menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang merah tomat siap panen. Pelayan datang membawakan pesanan mereka. Meletakkan di depan safir dan Intan. "Pesanannya sudah semua, ya? Masih ada yang bisa dibantu?" "Ini aja, terima kasih." jawab Safir. "Selamat menikmati." pelayan meninggalkan mereka diam dalam keadaan membisu. Safir berdehem mencairkan suasana canggung yang mereka ciptakan di tempat itu. "Erli, pesanannya sudah datang," ucap Safir dengan bodoh. Dia tidak perlu mengatakan itu, seolah Berlian buta, tidak melihat pelayan mengantarkan pesanan mereka diatas meja yang sama. "Iya," Berlian menarik satu cake mendekat ke hadapannya, kemudian mengambil sendok untuk mencicipinya. Ia melirik Safir di hadapannya. Pria itu terlihat gugup. "Safir kau tidak perlu menganggap serius ucapanku tadi," ujar Berlian, memaksakan senyum. Safir mengangguk," sorry Erli, kau pasti kecewa." Andai saja, Intan tidak pernah memintanya menikahi Ruby, mungkin ia akan pertimbangkan mengenal kembali Berlian. Mungkin. "Jujur sih, iya. Tapi aku bisa apa? Ngomong-ngomong kau menyukai adikmu itu?" tanya Berlian, penasaran. Safir tertawa kecil, "hubungan kami karena wasiat, tentu belum ada yang saling menyukai." ucapnya. "Aku penasaran seperti apa adikmu itu." Berlian mengangkat gelas capucinonya dan menikmati isinya yang lembut. Safir terkekeh garing, dan tidak sengaja membawa tatapannya pada pintu masuk cafe dan sontak melebarkan mata ketika melihat Ruby dan Dareh jalan bersama ke tempat itu. "Dia sedikit menjengkelkan, dan susah di bilangin. Aku sudah bilang jangan bergaul dengan nya." Safir sedikit menggeram. Ucapannya membuat Berlian bingung. Sementara Safir terus mengawasi Ruby dan Dareh yang sedang memesan kopi langsung ke kasir. Tampak terkekeh-kekeh dan saling menggoda satu sama lain. Berlian mengikuti tatapan Safir, pada dua remaja di kasir. "Kau mengenal mereka?" tanya Berlian. Safir mengembalikan pandangannya pada Berlian. "Apa?" tanyanya, gugup seraya mengusap belakang lehernya. "Benar-benar susah dibilangin." gumam Safir dalam hati, mimik wajahnya berubah kesal. "Safir," Berlian mengibaskan tangan di depan wajah Safir yang tampak melamun. "Iya?" "Kau mengenal mereka?" "Dia …" Safir tiba-tiba menolehkan kepala ketika mendengar suara gaduh di depan kasir. Ia terkejut Ruby di jambak seorang perempuan dan Dareh berusaha melerai. "Dasar remaja, apa tidak ada tempat untuk bertengkar? Harus di tempat umum. Memalukan." ujar Berlian. Safir beranjak dari tempat duduknya. Dan menekan langkah menghampiri Ruby yang tengah dijambak seorang gadis. ---- See you tomorrow.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN