ADIK IPAR -2

4973 Kata
Happy Reading ----------------- Satu bulan berlalu kepergian Intan, keadaan Safir masih sama. Lukanya masih, menganga. Sekalipun Safir mencoba menyibukkan diri di kliniknya. Bayangan Intan masih betah berkeliaran dalam pikirannya. "Terima kasih dokter, saya akan kembali bulan depan." Pasien puas, melihat hasil kerja tangan Safir di giginya yang di pasang pagar. "Sama-sama dan jangan lupa rajin gosok gigi." pesan Safir ramah. "Tentu, baiklah saya akan selesaikan p********n jasanya." Pasien beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan ruangan itu. Safir melepas sarung tangan kemudian membuangnya ke tong sampah. Ia mencuci tangan di wastafel sembari menatap wajahnya dalam cermin yang menggunakan masker. Sebagai dokter gigi, keseharian Safir bermain di mulut para pasien. Safir mengeringkan tangan pada mesin Hand Dryer dan duduk di meja kerjanya. Perawatnya mengetuk pintu ruangan itu dan tanpa ijin Safir ia masuk. "Dokter ada kiriman makan siang." ucapnya meletakan paper bag di meja Safir. "Thank you, ya." "Sama-sama, dokter." Ponsel Safir berdenting, sebuah pesan singkat masuk dari ibu mertuanya. Safir membacanya. [Menantu, ibu memasak cumi sambal balado pete, dan ingat kau sangat menyukainya. Jadi aku putuskan mengirim ke klinik. Makanlah.] Safir melihat paper bag di mejanya, ia pikir Amber yang mengirim makan siang untuknya seperti biasa. Ternyata Kalimaya, ibu mertuanya. Safir mengeluarkan kotak makan dan membuka tutupnya. Aroma makanan itu segera membaui ruangannya, menggoda untuk di lahap. Safir mencobanya, seperti biasa masakan ibu mertuanya sangat lezat. Safir teringat akan Intan. Dia cukup pandai memasak dan rasa masakan antara mendiang istri dan mertuanya hampir sama. Safir mengisi mulutnya penuh dengan makanan hingga wajahnya merah saat mengunyah, mencoba menahan gerimis di manik mata namun, tetap tidak sanggup hingga tumpah begitu saja. Setiap mengingat Intan air matanya tidak pernah habis. Sementara disisi lain. Satu jam Ruby menunggu Topaz di kafe tempat biasa mereka bertemu. Ruby bermain game membunuh rasa bosan menunggu kekasih yang sedang mengurus suatu hal di kampusnya. Ruby mengibaskan pedang pada seluruh musuh dalam game hingga menyisakan dua lawan yang tangguh. Sejujurnya dia tidak pernah sekuat itu dalam game, dia selalu kalah dalam permainan andaipun mampu bertahan hidup, itu karena sang dewa (Topaz) melindunginya. Membagi hati dan menghidupkannya setia kali sekarat. Dewa berjanji akan melindunginya sampai kapanpun dan jika harus mati biarkan saja mereka mati bersama. Dalam dunia nyata pun Topaz selalu mengatakan itu. Dia akan melindungi Ruby dan mencintainya sampai titik nafas terakhir. Ah ...Topaz. Andai kau tahu masalah rumit yang akan kau hadapi. Srak … Leher sang dewi ditebas dan menggelinding di medan perang. Kuda yang ditungganginya pun menjerit dan dijarah sang musuh. Ruby akhirnya kalah di tangan lawannya tanpa ada yang membantu. Dewa pelindungnya tidak dapat melindungi karena offline. Ruby berdecak, meletakkan tab di meja dan menyeruput kopi. Tiba-tiba dua telapak tangan menutup matanya dari belakang. Ruby menyentuh dan mengetahui siapa pemilik tangan itu. "Ih sayang …." Ruby mencubitnya pelan. Tawa renyah Topaz pecah lalu mencium pipi Ruby. "Pasti kalah? Mereka menindasmu?" Topaz duduk di seberang meja Ruby, ia menebak dari wajah cemberut Ruby, pun layar game yang dimainkan Ruby masih standby. "Kepalaku ditebas dewa kematian." ketus Ruby, "mereka mempermalukan aku dan mengatakan jika sekarang Dewa memiliki selir hingga membiarkan Dewi berperang sendiri." sambungnya mengadu, menggembungkan pipi sementara bibir mengerucut. Topaz mengulurkan tangan menepuk pipi gembung Ruby. "aku akan membalasnya nanti, sepuluh kali mengerikan." ucapnya dengan tatapan dingin. Topaz mengambil minuman Ruby dan menyeruputnya. Bukan hal aneh untuk mereka minum dari gelas yang sama. Awalnya Ruby merasa risih, tapi lama-lama menjadi terbiasa. Mereka sering berbagi untuk hal-hal seperti itu. "Kenapa lama sih?" tanya Ruby. "Habis ketemu sama dosen." Balas Topaz sekenanya ia mulai sibuk dengan tab milik Ruby, berniat membalaskan dendamnya pada dewa kematian yang sudah berani menebas leher kekasihnya dalam game. Ruby melihat pacarnya dengan seksama. Pertemuan mereka berawal dari insiden tak terduga, Ruby jatuh dari motor saat hendak memarkirkan motornya di parkiran salah satu mall di ibukota. Sialnya, insiden memalukan itu terjadi dihadapan sejumlah pria yang tengah nongkrong di atas motor masing-masing. Melihat Ruby kesulitan, seorang pria bangun dari antara temannya dan membantu Ruby. Perkenalan singkat terjadi di antara mereka. "Terima kasih, kak." ucap Ruby begitu motornya di parkirkan Topaz. Pria itu mengulurkan tangan, "Topaz." Ia mengenalkan diri. Dengan wajah merah bak tomat siap panen. Ruby menyambutnya. "Ruby." lirihnya. Tangan keduanya berjabat lalu saling menatap. Ruby mengagumi pria berkulit putih dengan tinggi tubuh sekitar 180 cm, hidung mancung serasi dengan bibir tipisnya. Penampilannya bersih dan rapi. Sementara Topaz terpaku dengan mata bulat jernih milik Ruby, menggemaskan seperti mata bayi. Merasa tangannya terlalu lama digenggam pria itu, Ruby perlahan menariknya. "Sekali lagi terima kasih kak." ucap Ruby. "Tidak masalah," Ruby mengangguk, lalu dengan kepala menunduk ia meninggalkan Topaz. Topaz tidak sengaja menemukan jepit rambut di tempat jatuhnya motor Ruby. Ia mengambilnya dan hendak memanggilnya, sayangnya dia lupa nama gadis itu. "Sial, siapa namanya tadi?" Topaz menatap Ruby masuk ke dalam lift yang membawanya naik ke lantai atas menemui kedua kakaknya untuk makan malam di sebuah restoran dalam mall. Setelah selesai makan malam. Ruby dan kakaknya berpisah di lobby. "Hati-hati, jangan pecicilan bawa motornya." Pesan Intan. "Iya, kak." Ruby menyalami tangan Intan dan Safir. "Thank you makan malamnya. Sering-sering ajak Ruby menghabiskan duit kalian." ujar Ruby seraya berjalan mundur dan melambaikan tangan pada pasangan itu. "Hati-hati, manja." seru Safir seketika Ruby menghentikan langkah kaki. Ruby memasang wajah jelek, menghampiri Safir. Mencubit lengan kakak iparnya hingga Safir memekik kesakitan. Ruby membenci nama panggilan itu. Nama Manja membuat nama aslinya terhapus dalam keluarganya. Seluruh kerabat tidak mengenal siapa itu Ruby, tapi mengenal Ruby dengan nama Manja. Ruby sudah sering memperingatkan keluarga untuk tidak memanggilnya dengan sebutan Manja. Lalu, kakak iparnya ini dengan sengaja menyebut nama itu di depan umum. "Jangan memanggilnya begitu, sayang." Intan terkekeh mengusap bekas cubitan Ruby di lengan suaminya. "Manja. Nggak boleh gitu." Tegur Intan dan menekan di kata Manja. "Kakak." Ruby mendesis ketika nama itu dengan sengaja disebut kakaknya. Ruby menghentak-hentakkan kakinya pada lantai seperti anak kecil merajuk. Membuat dua orang semakin terkekeh, gemes melihatnya. Ruby meninggalkan kedua orang itu menuju parkiran khusus motor. Menekuk wajah sepanjang jalan dan mendapati Topaz duduk di atas motornya. "Hei," sapanya tentu setelah merapikan penampilannya berikut wajah jeleknya. "Ah, maaf aku duduk menunggu di motormu." Topaz membersihkan jok motor bekas duduknya. "Menungguku?" tanya Ruby dengan kening mengkerut tebal. Topaz mengulurkan tangannya pada Ruby. "aku menemukan ini." ucapnya, memerlihatkan jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangannya. Ruby mengamati benda itu, lalu melihat Topaz. "Tapi, benda ini bukan milikku." ucap Ruby lirih. "Eh, b-benarkah." Astaga ini memalukan! Topaz menarik cepat tangannya yang terulur dan mengepal jepit rambut dalam telapak tangan. Topaz sangat gugup hingga wajahnya merah bak kepiting rebus. Topaz mengejek dirinya yang begitu naif. Menunggu lama seperti orang bodoh dan hasilnya ia mempermalukan dirinya sendiri. "Astaga, aku pikir milikmu. Soalnya aku menemukannya di bawah motor ini." ucap Topaz lalu terkekeh mencoba menghilangkan wajah gugupnya. "Tapi, aku menyukai benda itu." ucap Ruby menatap wajah Topaz yang merah. "Berikan saja untukku." katanya. Topaz membuka telapak tangannya. "Ya sudah, ambil." katanya menyerahkan benda itu. Ruby menjepit poninya ke sebelah kanan. "benda itu berjodoh dengan rambutmu." puji Topaz. "Thank you, Topaz." Lirih Ruby, menunduk. Topaz berbunga ketika namanya disebut Ruby. Ia mengusap belakang leher, mencoba mencari cara untuk mengetahui nama gadis manis di hadapannya ini. "Kau cukup panggil namaku dengan sebutan Az. Dan kau? Apa ada nama panggilan khusus?" tanya Topaz, menekan gigi kuat di bibir bawahnya. "Ruby, cukup kau panggil Ruby."ucap Ruby menyebut namanya kembali. Topaz tersenyum bahagia dan menyimpan nama itu permanen di memori otaknya. "Baiklah, Ruby." "Kalau begitu aku permisi pulang, terima kasih untuk jepit rambutnya."ujar Ruby, menyentuh jepitan di rambutnya. Topaz segera menyingkir dari tempat itu, memberikan jalan untuk Ruby naik ke atas motornya. Ruby, menghidupkan mesin motor dan keluar dari antara barisan motor terparkir. Sementara Topaz masih terpaku di tempatnya, berpikir keras untuk dapat mengenal Ruby lebih lanjut. C' mon, Topaz. Minta nomor ponselnya! Dengan satu tarikan nafas Topaz memanggil Ruby seraya mengejar motor Ruby yang sudah melaju dengan kecepatan rendah. Ruby berhenti saat melihat Topaz mengejarnya lewat kaca spion. "Ada apa, kak?" tanya Ruby, mengangkat kaca helm dari depan wajahnya. Topaz mengatur nafas panjang lalu merogoh ponsel dari saku celananya. "Kau mau berteman denganku?" tanya Topaz, menyodorkan ponselnya pada Ruby. Ruby menelan kuat saliva, tampak berpikir untuk mengambil keputusan yang tepat. Kemudian ia menerima ponsel Topaz dan mengetik nomornya pada layar untuk menghubungi nomornya sendiri. Ponselnya berdering dalam tas selempangnya. "Salam kenal, kak. Mari kita berteman baik." ujar Ruby, mengembalikan ponsel Topaz. Topaz mengambil ponselnya dari tangan Ruby kemudian mengangguk. "Thank you, Ruby."ucapnya. "Aku pergi, ya." "Hati-hati." Topaz melambaikan tangan pada Ruby. Motor gadis itu pun keluar dari parkiran bawah tanah meninggalkan Topaz melakukan dancing 'Okey Dokey' mengabaikan tatapan pengunjung parkiran padanya. Sejak hari itu, Topaz dan Ruby saling menyapa lewat pesan. Curhat, bermain game bareng dan jalan bareng di Mall, lalu keduanya memutuskan pacaran. Ruby bahkan memilih kampus yang sama dengan Topaz supaya mereka dapat bersama lebih lama. * Tanpa sadar, Ruby menitikkan air mata melihat kekasihnya. Berpikir bagaimana caranya untuk mengatakan pada Topaz permintaan mendiang kakaknya. Topaz kembali meraih cup kopi Ruby dan menyedot isinya lewat sedotan tanpa melepas tatapan dari layar. "Lihat sayang, aku sudah menaikkan levelmu ke tingkat yang lebih tinggi. Istri Dewa akan selalu dijunjung tinggi " ucapnya dengan antusias dan menyerahkan tab pada Ruby, pria itu baru menyadari ada yang aneh dengan Ruby. "By, kenapa kau menangis?" tanya Topaz, mengernyitkan keningnya tebal. Ruby menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. "Nggak kok. Aku hanya kelilipan." Bohong Ruby. "Serius?" "Mmm," Topaz beranjak dari tempat duduknya dan mencondongkan tubuh hingga sangat dekat dengan wajah Ruby. Memperhatikan manik mata Ruby lalu menyeka sudut yang basah dan dengan lembut meniup manik hitam sepekat tinta milik kekasihnya. "Debu mana yang berani menyakitimu." bisiknya di wajah Ruby. Ruby terpaku, kekasihnya selalu bersikap manis dan memperlakukannya dengan baik. Menjaganya dan tidak pernah menyakiti hatinya. Topaz sangat manis dan idaman para gadis. Ruby bahkan sangat beruntung saat Topaz menawarkan cinta ketika banyak gadis menginginkan Topaz menjadi kekasihnya. Tentu saja. Jika kalian mengenal Steven Zhang? Aktor dari tiongkok? Bila disandingkan dengan aktor itu maka orang akan menganggap mereka kembar karena memiliki kemiripan yang kental. Namun, Ruby tidak menjadikan tampang Topaz patokan kebahagiaannya. Ia bahagia karena pria itu mencintainya dengan baik dan sungguh-sungguh. Untuk Rupa bagi Ruby itu adalah bonus. Ruby tidak tahu harus seperti apa menghadapi situasi ini. Terkadang hati kecilnya memintanya lari meninggalkan semua orang di keluarganya yang seolah bergembira menyatukannya dengan iparnya. Mengingat kakak iparnya, sudut bibir Ruby tertarik membentuk senyuman sinis. Ah pria sialan itu. Memangnya dia tidak bisa menolak? Pikir Ruby dalam benaknya. Bagaimana bisa ia meninggalkan pria yang sangat dicintainya dan mencintainya demi keinginan bodoh kakaknya. Lagi dan lagi Ruby kesal pada wanita malang yang sudah menyatu dengan tanah itu karena mempersulit kehidupannya. "Ruby," Topaz menjentikkan jarinya di depan wajah Ruby yang tengah melamun dengan tatapan sinis. "Kenapa, sih sayang?" tanya Topaz saat gadis di hadapannya sadar. "Nggak apa-apa kok, kak." Ruby tersenyum menunjukkan sederet gigi putih miliknya. Sangat manis, tidak sia-sia ia memiliki kakak ipar dokter gigi. Yang selalu memberinya perawatan gratis setiap bulannya. Ruby mengurungkan niatnya mengatakan beban yang tersimpan di hatinya dalam satu bulan ini. Ia akan mengumpulkan energi untuk mengatakannya pada Topaz dan bersiap menjadi hancur karena patah hati. Itu sudah pasti. Cinta pertama yang menjadi kekasih pertamanya akan kandas karena satu keegoisan. Bukan dia yang egois. Bukan. Tapi ...entahlah. Ruby tidak dapat berkata-kata lagi. Lantas ia, beranjak dari duduknya dan menyampirkan tas di bahu. Ia juga menyambar tab dari tangan kekasihnya. "Ruby mau pulang." pamitnya seperti marah, meninggalkan tempat itu, membuat Topaz kebingungan. Topaz juga beranjak dan mengejar Ruby keluar kafe. "Ruby tunggu." panggil Topaz. Topaz yakin ada yang tidak beres. Sikap kekasihnya tampak aneh, tidak seperti biasanya. Jika mereka bertemu, Ruby akan banyak bicara, cerita ini dan itu. Kadang mereka kerap menertawakan orang di sekitar mereka, tapi kali ini gadis ini banyak diam dan tiba-tiba menangis lalu tanpa basa-basi meninggalkannya. "Kamu kenapa sih, By?" tanya Topaz. Ia berhasil mencekal pergelangan tangan Ruby, menghentikan gadis itu melangkah. Ruby berbalik dan tiba-tiba memeluk Topaz, erat. Meletakkan kepalanya di dαda pria itu. Topaz terkejut lalu masih dalam kebingungannya, ia mengusap lembut kepala Ruby dengan sayang. "Apa aku melakukan kesalahan, Ruby?" tanya Topaz. Yang ia tahu hubungan mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran di antara mereka. "Nggak kok, kak." "Lantas kenapa sikapmu begini?" Topaz menangkup wajah Ruby lalu melihat ke dalam mata kekasihnya yang merah. "Maafkan aku jika tidak sengaja menyakitimu." ucap Topaz. Ruby menggeleng cepat, "kakak tidak menyakitiku. Maafkan Ruby, membuatmu bingung." ucap Ruby. Topaz mengangsurkan kedua ibu jari, menyeka manik Ruby yang basah air mata. "Atau ini masalah keluarga?" Tebak Topaz. Ruby mengangguk, "maaf seharusnya aku tidak begini di depanmu." "Kau boleh cerita, By." Ruby mendongak, menatap Topaz yang memberinya tatapan hangat sehangat matahari pagi. Menjadikan Ruby ragu untuk melukai hati pria itu. Lantas ia mengganti raut wajahnya yang sendu menjadi riang. "Nanti aku cerita kalau sudah siap." Ruby tersenyuman manis memamerkan deretan gigi seputih awan. Emerald mengembuskan napas, "Apa masalahnya besar?" "Lumayan, tapi ini bersifat rahasia, kak." Ruby meraih tangan Topaz dan menggenggamnya. "Apa yang bisa aku lakukan untuk menghiburmu?" "Umm … cukup berikan aku perhatian." "Kalau masalah itu kau tidak perlu minta. By, aku berharap masalah keluarga kamu cepat selesai." ucap Topaz. Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut, keluar menuju parkiran dimana tempat motor Topaz berada. "Jadi kita pulang?" tanya Topaz, mengambil helm yang menggantung di stang motor. "Mmm, pulang aja kak." Topaz memasang helm di kepala Ruby lalu menghidupkan mesin motor. Ia mengulurkan tangan untuk membantu Ruby naik ke motor besar miliknya. "Sudah," Ruby melingkarkan tangan di perut Topaz, pria itu tersenyum merasakan erat tangan kekasih memeluknya. Kemudian ia mengemudikan motornya menuju rumah Ruby. ***** "Manja, mama minta tolong antar ke klinik kakak kamu ya." Pinta Kalimaya, meletakkan kotak makan yang sudah di masukkan ke dalam paper bag di atas meja sofa. "Apaan, Ma?" Ruby berhenti memainkan game di layar tap miliknya, ia menoleh sebentar ke meja sofa. "Antar makan siang untuk Safir." Ruby mendengus kesal meninggalkan game yang ia mainkan. Memasang wajah malas. "Mama minta tolong loh, tapi kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa. Biar Mama kirim lewat ojek online." ucap kalimaya setelah melihat wajah masam putrinya. "Iya, nanti Ruby antarkan." Ruby menggerutu, beranjak meninggalkan Kalimaya di ruang santai. "Terima kasih sayang." Kalimaya menatap putrinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Kalimaya memang sengaja meminta Ruby mengantar makan siang untuk menantunya. Untuk mempertemukan dua orang itu walau hanya sebentar. Semenjak adanya permintaan intan, hubungan Ruby dan Safir menjadi jauh. Bukan Safir yang menjauh, tapi putrinya. Bahkan saat cucunya baptis nama, putrinya menolak ikut kerumah Safir dengan alasan sibuk mengerjakan tugas kuliah bersama temannya. Ruby turun dari lantai atas menggunakan kaos putih dengan hotpants hitam. "Bagi duit, Ma." Ruby menjatuhkan tubuhnya duduk di sofa. "Sayang, bukannya uang bulanan mu sudah di transfer Papa?" "Daripada Mama bayar ojek online?" ucap Ruby. Kalimaya berdecak melihat putrinya yang licik. Selalu saja begitu setiap ia minta tolong pada gadis itu. Kalimaya bangun dari duduknya, Naik ke lantai atas menuju kamar kemudian turun membawa dompet, sisir dan pelembab bibir sekaligus parfum. "Kau tidak malu keluar rumah dengan rambut acak-acakan begini?" tanya Kalimaya. "Hanya ke klinik untuk apa dandan." "Ck, kau ini. Sekalipun hanya di rumah. Seorang gadis tidak boleh malas. Terutama merawat dirinya sendiri." Lembut tangan Kalimaya menyisir lembaran rambut Ruby, kemudian mengikatnya menjadi kunciran kuda. "Coba lihat Mama." ucap Kalimaya, memutar tubuh Ruby menghadapnya. "Percuma di beli kalau tidak dipakai." Kalimaya mengoleskan lip gloss di bibir putrinya. Ruby patuh tanpa protes. Setelah Ruby terlihat rapi, barulah ia mengeluarkan selembar pecahan lima puluh ribu dan memberikannya pada Ruby. "Ini duitnya, jangan boros sayang." ucap Kalimaya. Gadis itu memakai sweater hoodie. "Ruby pamit," ucapnya mencium pipi kiri Kalimaya lalu beranjak dari tempat duduknya. Ia mengambil paper bag di atas meja. "Hati-hati, By." Kalimaya turut berdiri dan menyemprotkan parfum ke tubuh Ruby. "Apaan sih, Ma?" Cetus Ruby kesal. Ia tidak pernah suka menggunakan parfum. "Sedikit doang sayang. Kau dari pagi belum mandi loh. Bau." Kalimaya menjepit hidungnya dengan jari. Ruby mendengus membawa langkahnya menuju pintu keluar rumah, sementara Kalimaya tersenyum membuat putrinya cemberut. **** Ruby merasakan getaran dalam saku celananya, ia menepikan motor kemudian merogoh ponsel dari saku celana. Topaz menelponnya, " Halo kak." sahutnya, suara Ruby sedikit keras mengingat posisinya berada di pinggir jalan besar. "By, kau punya waktu?" tanya Topaz, suaranya terdengar sedih dan begitu cemas. "Kenapa kak? Aku lagi di jalan." Ruby mematikan mesin motornya. "Mama masuk rumah sakit." ucapnya pelan. "aku sendirian, By. Tolong kesini." "Kirim alamat rumah sakitnya kak, aku akan kesana." Ruby menekan tanda merah di layar ponsel. Tidak lama kemudian pesan dari Topaz masuk. Rumah sakit cukup jauh dari tempatnya berada sekaran, Ruby menghidupkan mesin motor sembari mengatur navigasi di layar ponselnya. Ia mengemudikan motornya menuju tujuan. Sementara di sisi lain, Safir melihat ponselnya bergetar di atas meja kerja. Ia mengambil dan mengangkat. Ibu mertua tertulis di layar. "Halo, bu." Safir melihat waktu di pergelangan tangan. Waktu makan siang sudah tiba. "Menantu, kau belum makan siang, kan?" tanya Kalimaya. "Belum, bu. Ini mau keluar cari makan di luar." Safir merapikan meja kerjanya. "Kebetulan, Ibu mengirim makan siang untukmu lewat Ruby. Dia sudah jalan," "Oh, astaga Ibu…, aku jadi merepotkan." ujar Safir mengusap belakang lehernya yang tidak pegal. Satu kebiasaan jika dia merasa gugup. "Ah, kau ini. Ibu tidak repot kok. Makan yang banyak." "Terima kasih Ibu mertua." "Iya Safir, ya sudah ibu sudahi ngobrolnya. Takut mengganggu waktu kerjamu." Kalimaya menutup telponnya. Safir meletakkan ponselnya di atas meja. Dia menarik nafas pelan. Kedua orang tua Intan memang sangat baik padanya. Memperlakukannya layaknya anak sendiri. Ia sangat berharap hubungan hangat ini tidak pernah berubah sekalipun Intan tiada. Safir menekan intercom ke ruangan Mutiara, perawatnya. Sembari menunggu makan siangnya tiba. Ia lebih baik melanjutkan pekerjaannya. "Tiara, untuk pasien selanjutnya minta masuk." ujarnya. * Ruby berlari kecil masuk ke dalam rumah sakit. Sesekali langkahnya berhenti untuk melihat petunjuk yang tergantung di plafon. Ruby mengikuti petunjuk ke ruangan IGD. Di sana, di lorong ruang IGD kekasihnya duduk menunduk di salah satu bangku panjang. Ia mendekati dengan langkah cepat. "Topaz," Topaz mengangkat kepala dan mendapati Ruby berdiri di hadapannya. "By, kau sudah datang?" Sontak Topaz berdiri kemudian memeluk Ruby dengan sangat erat. "Mama By, dia kena serangan jantung." ucapnya terisak. Air matanya tumpah seraya memeluk gadis berkuncir kuda itu. Ruby melepas paper bag yang sejak tadi ia tenteng untuk kemudian ia membalas pelukan Topaz. "yang sabar, ya. Kita bawa dalam doa. Semoga beliau cepat sembuh." gumam Ruby. Topaz melepas pelukannya dan menarik tangan Ruby untuk duduk di sampingnya. "Terima kasih sudah meluangkan waktu kesini, By." Ia menggenggam erat tangan mungil. "Nggak masalah, kak." Ruby mengusap lembut lengan Topaz, mencoba menenangkan kekasihnya dari kesedihan. "Apa yang terjadi? Kenapa begitu mendadak?" "Toko terancam tutup, kau tahu kan kami hidup dari sana." Topaz menatap lurus ke depan. Tepat di hadapan mereka ruangan IGD tempat ibunya berjuang untuk hidup. Topaz anak kedua, dibesarkan oleh ibunya yang berstatus janda. Memiliki toko pakaian di beberapa Mall di pusat kota Jakarta. Dulu, mereka sangat berjaya sebelum media online berkembang menjadi pasar. Dua toko mereka telah ditutup karena kalah bersaing dengan penjual online dan sekarang toko satu-satunya yang menjadi pusat mata pencaharian mereka terancam ditutup karena virus merajalela di seluruh dunia. "Aku turut prihatin, kak. Aku hanya bisa bantu lewat doa." ujar Ruby. Topaz meremas tangan Ruby dalam genggamannya dan menoleh pada kekasihnya itu. Senyumnya terbit di wajah sendunya. "Doa yang paling dibutuhkan, By." ujarnya. Ruby melihat paper bag di sampingnya. ' bagaimana ini? Makan siang kak Safir masih ada disini' Ruby bergumam dalam hati. Topaz memegangi perutnya yang terasa lapar dan itu tidak luput dari pandangan Ruby. "Kak Topaz lapar?" Topaz mengangguk, "dari pagi perut belum masuk apa-apa, By." ujarnya. "Kakak minta tolong By?" Topaz merogoh dompet dari saku celana. "Minta tolong untuk apa?" tanya Ruby, melihat Topaz mengeluarkan selembar uang pecahan seratus ribu. "Belikan roti sama kopi di kantin rumah sakit. Tempatnya di lobby, jangan lupa belikan juga buat kamu, ya." "Kakak belum makan dari pagi, kan?Kebetulan aku bawa makanan dari rumah." Ruby menolak uang Topaz dan mengambil paper bag dari sampingnya. "Kak Topaz makan ini aja." ucapnya, mengeluarkan kotak makan dan meletakkan di pangkuan pacarnya. Kedua alis Topaz bertautan melihat kotak makan di pangkuannya lalu netranya beralih pada Ruby dengan tatapan bingung. Ruby mengerti arti tatapan Topaz maka ia berujar, " aku dan Jasmin mau berenang. Aku sudah pernah cerita, kan? Mama tidak suka jika aku makan makanan junk food." ucapnya berbohong. "Maaf ya By. Aku sudah menganggu waktumu." ucap Topaz, menatap Ruby dengan rasa bersalah. "Nggak apa-apa, kak. Lagian aku tidak terlalu suka berenang. Kau tahu sendiri Jasmin, dia nggak bisa kemana-mana tanpa aku." Ruby terkekeh, ia sedikit pucat membawa nama temannya dalam kebohongannya. "Sampaikan maafku padanya,"ucap Topaz seraya membuka kotak makan. "Iya, nanti Ruby telepon orangnya." ujar Ruby, meniup nafas pelan. "By, ini sangat enak loh." ujar Topaz mulai menikmati makanan itu. "Mama yang masak, bukan aku." ucap Ruby dengan wajah bersemu. "Aku tahu," Topaz menepuk puncak kepala Ruby dengan sayang, "nanti kalau kita sudah menikah, belajarlah memasak. Aku akan makan setiap hari di rumah dan membawa masakanmu sebagai bekal saat bekerja."ucapnya, kemudian menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Cumi saus padang untuk makan siang Safir dinikmati olehnya. Ruby mengangguk. Ia memperhatikan Topaz melahap makanan itu walau dalam keadaan khawatir. "Aku ke kantin sebentar beli air minum." ucap Ruby, beranjak dari tempat duduknya. "Iya, By." ujar Topaz. Ruby menyusuri lorong menuju lobby rumah sakit. Disana ada sebuah kantin bersih tempat pengunjung untuk sekedar ngopi. Ruby menuju kasir dan memesan air mineral, ia membayarnya dengan uang pemberian ibunya untuk beli bensin. Ruby membawa botol minuman itu kembali pada Topaz. Hanya sebentar ia tinggalkan Topaz sudah tiada di tempat itu. Kotak makan tergeletak di lantai, nasi dan lauknya berceceran. Jantung Ruby berdegup kencang. "Maaf mbak, tadi lihat teman aku yang disini? Dia pergi kemana ya?" tanya Ruby pada seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari tempat duduk mereka. "Sudah masuk ke dalam mbak, kayaknya ada masalah deh." ucap wanita yang mengenakan syal menutupi lehernya. "Terima kasih, kak." Ruby berjalan ke arah pintu IGD. Memejamkan mata lalu mendorong pintu itu masuk. Ruby mencari keberadaan Topaz di antara bangsal pasien yang penuh. Hingga ia tiba di bangsal ujung ruangan itu. Suara tangis Topaz terdengar olehnya, ia menyibak tirai bangsal dan melihat Topaz memeluk tubuh Ibunya yang tidak berdaya. Ruby terpaku di tempatnya memeluk botol air mineral. "Mama bangun, bangun, jangan pergi. Aku mohon." Ucap Topaz menangis seraya mengguncang tubuh ibunya. Kemudian ia menyadari kehadiran Ruby. "By, Mama By, tolong bangunin dia." ucapnya. Ia menarik tangan Ruby mendekat kepala bangsal. "Katakan By, supaya dia membuka matanya."ujarnya terisak-isak. Ruby tidak dapat mengatakan apapun, ia memeluk Topaz dan ikut menangis getir. **** Jam enam sore setelah ibunya Topaz dibawa pulang ke rumah. Ruby singgah di klinik Safir. Ia berdiri lama di depan ruangan sang dokter gigi. Ruby melihat paper bag yang ia tenteng di tangannya. Kotak makan itu sudah kosong. Sebagian dimakan kekasihnya dan sebagian terbuang. Ruby memutuskan mengetuk daun pintu, tapi saat tangannya terangkat, seseorang bertanya padanya. "Mau ketemu dokter Safir?" tanya Mutiara perawat Safir, mengejutkan Ruby yang hendak mengetuk daun pintu. "Umm, orangnya masih ada, kan?" tanya Ruby, mundur memberi jalan untuk Mutiara. "Masih," Mutiara mengetuk pintu dan langsung membukanya. "Dokter ini daftar pasien hari ini." ucap Mutiara seraya menghampiri dan meletakkan papan kirani di meja kerja Safir. "Adik ipar dokter ada disini." sambung Mutiara membuat Safir mengangkat kepalanya dari layar ponselnya. Ruby menyingkir dari belakang Mutiara dan menunjukkan dirinya pada pria itu. "Ya sudah kau boleh pulang," ucap Safir pada Mutiara. "Baik dokter." Mutiara meninggalkan ruangan itu. "Apa mama nelpon kakak?" tanya Ruby, meletakkan paper bag di atas meja. "Kau dari mana?" Safir balik bertanya. "Ada urusan mendadak tadi kak," Ruby menunduk saat ditatap Safir. "Setidaknya angkat telpon kakak." ucapnya dengan nada dingin. Ia kemudian sibuk dengan ponselnya. Membaca daftar belanja yang dikirim ibunya untuk putrinya. "Kak," panggil Ruby dengan nada ragu. Safir menoleh sebentar, kemudian sibuk dengan ponselnya. Ia menunggu gadis ini tiba dan menahan rasa lapar sampai detik ini. "Makanannya sudah Ruby habiskan." Ruby melirih dan menunduk semakin dalam. Safir membawa tatapan dimana paper bag Ruby letakkan. "Kau yang makan?" tanya Safir. "Umm," Safir menggeleng kecil tidak percaya dengan ucapan adik ipar. Ia menghela nafas panjang. Safir tahu Ruby memiliki kekasih akan tetapi gadis berusia remaja ini belum mengenalkan pada keluarga. Safir pernah melihat Ruby jalan bersama dengan pria tinggi di sebuah Mall seraya bergandengan tangan mesra. Bukan hanya dia yang melihat tetapi, Intan kakak Ruby turut menyaksikannya. "Baiklah, kau boleh pulang." ucap Safir. "Kakak tidak ingin tahu alasan kenapa aku terlambat dan makan makan siang kakak?" "Tidak. Pergilah pulang." ucap safir dengan nada datar. "Orang tua teman Ruby masuk rumah sakit, aku mampir sebentar untuk menjenguk tapi, saat Ruby sampai disana orang tua teman Ruby meninggal jadi aku putuskan menemaninya. " ucap Ruby. "Lalu kau memakan nasi itu di depan orang tua temanmu yang meninggal?"Tanya Safir. "B-bukan begitu." Safir berdecak menatap dalam mata gadis itu di depannya. Jari-jari Ruby saling bertautan sebagai pertanda ia sangat gugup. "Pulanglah," Safir menarik sudut bibirnya. Ruby membalikkan tubuh melangkah pelan menuju pintu. Tapi, saat di depan pintu ia berbalik dan cepat melangkah mengambil paper bag di atas meja. Safir menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerja, menghela nafas panjang. Melihat lurus ke pintu setelah adik iparnya berlalu. ______ Ruby menuruni anak tangga menuju ruang santai, disana kedua orang tuanya duduk menonton tv, sesekali mereka tertawa saat komedian pesek berambut panjang kecoklatan melucu. Ruby menghampiri dan menghalangi pandangan dua orang itu ke layar TV. Membuat empat mata tertuju padanya. "Ma Pa, Ruby mau keluar sebentar." ujar Ruby. "Mau kemana?" tanya Kalimaya, memindai penampilan putrinya. Mengenakan pakaian formal. Kemeja putih dipadukan dengan blazer hitam, lalu untuk celana Ruby mengenakan celana bahan warna hitam. Sebuah tas selempang menggantung di bahu. "Melayat," Ruby mendekat untuk menyalami tangan kalimaya.. "Siapa yang meninggal?" Tanya Gemma. "Orang tua teman." Ruby menengadahkan tangan pada Gemma. "Bagi duit, Pa." ucapnya. Gemma merogoh isi saku celananya, satu lembar pecahan lima puluh ribu, Gemma memberikan pada putrinya. "By, jangan terlalu boros," tegur Kalimaya. Perkara uang, mata putrinya selalu hijau. "Boros apaan sih, Ma? Noh, anak tetangga yang masih SD uang jajan nya seratus ribu sehari. Mamanya santai aja, malah nanya. Uang jajan kamu masih ada nggak?" Ruby ngedumel. "Astaga anak ini." Kalimaya menggigit bibirnya sendiri. "Ya udah sana jadi anak tetangga aja." Cecar Kalimaya. "Papa juga sih, kalau Ruby nya minta duit nggak usah langsung ditanggepin, tolak dong Pa." Sewotnya, menyalahkan suaminya. "Loh, Papa ikutan diomelin sih?" "Cuekin aja, Pa. Palingan dia cemburu." Ruby mencium pipi Gemma. "Aku pergi, ya." "Hati-hati, Nak." ucap Gemma. "Iya, Pah. Dadah ..." Ruby melambai pada Kalimaya dengan tatapan meledek. "Pergi sono. Nggak usah balik sekalian. Noh, jadi anak tetangga." Teriak Kalimaya dengan mata mendelik. Ruby tergelak seraya meninggalkan ruangan itu, berhasil membuat Ibunya jengkel. Keduanya memang kerap saling menggoda. Membuat rumah itu rame. "Sudah, Mah. Tenang …, jangan emosi. Jaga hati." Gemma semakin menumbuhkan tanduk di kepalanya. "Sialan kau, Pa." Kalimaya menampar lengan suaminya, dan pria paruh baya itu terbahak puas. "Baru kemarin Mama kasih dia duit. Sekarang minta lagi. Tuh anak terlalu boros, Pa. Beda uang bulanan, beda uang harian. Anak itu enaknya diapain ya? Jengkel aku." Kalimaya ngedumel hingga air liurnya muncrat dan mengenai wajah suaminya. Gemma melindungi wajahnya dengan kedua telapak tangan sembari terkekeh. "Kenapa?"Tanya Kalimaya. "Hujan, Ma." Kalimaya menutup wajahnya malu, ia paham maksud suaminya. Gemma beringsut mendekati istrinya dan menarik Kalimaya bersandar di bahunya. "Jangan terlalu memanjakan dia," ujar Kalimaya lembut. "Biarkan dia menikmati masa muda nya yang nggak lama lagi akan berakhir," Gemma mengusap bahu istrinya. Kalimaya melihat suaminya," apa maksud Papa?" Gemma menipiskan bibir kemudian memasang raut wajah serius. "Ini tentang keinginan mendiang putri kita. Aku setuju dia menikah dengan Safir." ucapnya. "Bagaimana kalau Ruby menolak?" tanya Kalimaya. ________ Ruby turut merasakan kesedihan yang dalam atas kemalangan yang menimpa Topaz. Dia selalu berdiri di belakang pria itu, melayani apapun keperluan Topaz. Pelayat masih silih berganti datang ke rumah besar Topaz memberikan penghiburan untuk dua orang yang ditinggal meninggal Ibunya. Ruby melihat waktu di ponselnya, lalu kemudian ia menggamit lengang Topaz. Pemuda itu menolehkan kepala ke belakang. "Ruby mau pulang," bisik Ruby. Waktu sudah di angka lima sore. Topaz mengangguk. Kemudian berbisik pada Emerald, abangnya. "Bang, aku ke belakang sebentar."Bisiknya. Pria itu mengangguk tanpa melepas pandangannya dari kerabat yang sedang memberi nasihat untuk mereka. Topaz beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju ruang santai. Di ruangan itu ada dua kamar khusus untuk tamu. Topaz membawa Ruby kesana. "Thanks ya, aku sudah merepotkanmu, By." ujar Topaz. Menutup pintu begitu Ruby masuk ke dalam kamar itu. "Enggak apa-apa,"balas Ruby menyungingkan senyum dari wajah imutnya. "Yang sabar ya kak, tetap andalkan Tuhan dalam hidupmu. Yakin kalau tante sudah di tangan Tuhan." Sambung Ruby. Topaz mengangguk, kemudian menarik tangan Ruby duduk di pinggiran ranjang berukuran sedang. "Aku sangat sedih nggak mengenalkan kamu secara formal sama Mama." Topaz menunduk sedih. Sebenarnya, Ruby yang belum siap dikenalkan, gadis pemilik mata boneka itu menolak dikenalkan karena hubungan mereka baru berjalan enam bulan. "Ruby yang menolak saat itu," lirih Ruby menyalahkan dirinya. Topaz menggenggam tangan Ruby, "tapi aku paham kok alasan kamu." ucap Topaz. Ruby melihat Topaz. Tatapan mereka bertemu, terkunci satu sama lain. Mencoba saling memahami. Ruby memalingkan wajahnya, ini untuk pertama kali mereka saling memandang sedekat ini membuat jantung keduanya saling bertalu di tempatnya. "A-aku pulang, kak. Ini sudah sore." ucap Ruby. "Ah, iya. Kakak juga masih ada tamu." ucapnya tak kalah gugup dari Ruby. Mereka sama-sama berdiri dan melangkah menuju pintu kemudian menggenggam gagang pintu bersamaan. Keduanya kembali saling tatap lalu tersenyum. Ruby menarik tangannya dari gagang pintu dan mengijinkan Topaz membuka nya. Topaz menekan gagang pintu ke bawah. Namun, tak kunjung menariknya. Topaz melepas gagang pintu. Merasa berat melepas Ruby pergi begitu saja. Ia meraih kedua lengan Ruby lalu mengurung tubuh Ruby di antara pintu dan tubuhnya, kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Ruby membuat jantung gadis itu berdebar di tempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN