Adik Kita Bertiga

1705 Kata
“Atha. Agatha Qyara.” Selepas perginya Atha, Reyhan mendapati Pria tadi tampak terpaku dan tidak bergerak dari tempatnya. “Jangan-jangan ... gadis gila itu membacakan mantra untuknya, ya?” gumamnya ragu-ragu. “Papa? Papa sedang apa di sini?” Reyhan menoleh, begitujuga dengan sosok Pria paruh baya tadi. “Fae? Eum ... tidak, Sayang. Tidak ada, kok.” Reyhan menyaksikan Fae tampak berjalan mendekat, kemudian menyalami Pria yang disebut Papanya itu. “Papa berangkat, ya.” Setelah mobil Pria paruh baya tadi perlahan melaju pergi, Reyhan mengalihkan fokus pada tas Sella yang langsung ia ulurkan ke arah Fae. “Aku membuatmu menunggu, ya, Kak?” Fae bertanya sembari meraih tas Sella dari tangan Reyhan. Reyhan menggeleng. “Tidak, kok. Cepat, masuklah.” Setelah menyaksikan Fae perlahan menjauh, Reyhan ikut bergegas masuk ke mobilnya yang langsung ia lajukan meninggalkan pelataran Sekolah Menengah Pertama tadi. ▪▪▪ Setelah terpaksa ikut belajar di kelas Fisika tadi, kini, Alan dan Reyhan sudah tampak duduk manis di kursi kantin, dengan beberapa jenis makanan tersaji tepat di depan mereka. Johan? Jangan tanyakan lagi. Pria itu terlalu antusias untuk segera mengakhiri keasingannya dengan Halsey hari ini, tepat hari ke-5 sesuai perjanjian mereka. “Oh, ya, Rey. Aku baru ingat ingin memberi tahumu tentang ini,” ujar Alan buka bicara. Sembari tetap sibuk dengan makanannya, Reyhan menoleh sekilas. “Apa?” “Itu, ekhem. Orang tua Atha, calon mertuamu-" Ups! Dengan kekehan tanpa dosa, Alan mengulurkan air pada Reyhan yang kini sudah terbatuk-batuk parah. “Apa yang salah dari ucapan-" “DIAM, BODOH! Dasar tidak punya otak!” sergah Reyhan cepat. Raut kesal bahkan sudah mendominasi di wajah tampannya yang dingin itu. Sementara Alan, Pria itu lagi-lagi terkekeh. “Iya, Sayang. Maafkan Abang,” balasnya. “Jadi ..., begini. Kau tahu? Meski hanya orang tua angkat, mereka sungguh memperlakukan Atha dengan baik,” lanjutnya. Reyhan mengangkat sebelah alis. “Lalu apa hubungannya denganku, Alan b******k?” tanyanya tanpa beban. “Kau harusnya bahagia, Bodoh! Setidaknya seba-" “Aku tidak tertarik membahas gadis itu, ya! Aku tidak ter-ta-rik!” potong Reyhan  lagi, penuh penekanan. Alan memutar bola mata muak. “Hari ini saja kau tidak tertarik. Besok-besok, lihat saja! Meski aku tidak tahu jelas alasanmu membenci Atha, jelasnya ..., hati-hati saja. Benci dan cinta itu beda tip-" “CINTA?! HUH?! Cukup, ya, s****n! Aku muak!” Reyhan meneguk airnya kasar, kemudian lanjut makan lagi dengan perasaan kesal. “Baiklah, baik. Buktikan padaku jika kau memang tidak punya niat ke sana,” balas Alan kemudian. “Persetan! Aku tidak akan membuktikan apa-apa!” kesal Reyhan lagi. “Aku baru akan percaya semua sanggahanmu jika kau bisa bersikap biasa saja pada Atha. Tidak ketus-ketus amat, atau ... selalu mencari-cari kesempatan untuk tidak berurusan dengannya. Intinya, bersikap saja seolah bagaimana aku dan Johan. Mengusap rambutnya lembut, atau mengantar dan menjemputnya-" “ALAN?! REY?!” Suara itu terdengar familiar, dan Reyhan ataupun Alan tidak akan mau repot-repot menoleh lagi, hanya karena ingin memastikan si pemilik suara. “Dasar Bucin s****n! Mentang-mentang Hale sud-" “Hale membalas ungkapan cintaku, astaga!” Johan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Reyhan. “Kalian tahu? Dia memelukku lalu bilang ‘J-jangan menjauh dariku, hiks’,” lanjutnya dramatis. “Aku juga, Johan. Aku baru sadar telah mencintaimu.” Johan lagi-lagi menirukan bagaimana Halsey mengucapkan kalimat itu tadi. Alan ikut tersenyum lebar. “Selamat, Sayang-ku! Semoga kau tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, ya,” ujarnya terdengar tulus. Tulus? Menjijikkan. Alan tidak cocok bersikap sok tulus. “Jangan lupa teraktir sebulan penuh,” timbrung Reyhan seadanya. Johan langsung memukul meja hingga menarik perhatian beberapa orang. “Siap, Bosqueeee!” teriaknya sembari mengeluarkan selembar uang seratus dari saku seragamnya. “Ini! Pesankan makanan juga untukku!” lanjutnya lagi. Meski sedang sibuk-sibuknya makan, Alan dan Reyhan tetap bergegas bangkit untuk memesankan Johan makanan. “Lumayanlah. Teraktir babu sendiri.” ▪▪▪ "Rambutmu wangi sekali," ujar Alan di sela-sela kesibukannya mengepang rambut panjang Atha. "Terima kasih, Kak Alan," balas Atha ceria. Gadis berkulit coklat itu kini memunggungi Alan sembari bersenandung kecil. Seperti biasa, mereka sedang berada di apartemen Johan, begitupun Reyhan. Meski dikelilingi oleh tiga orang Pria m***m sekaligus, Atha sama sekali tak merasa khawatir. Entah karena terlalu percaya, atau memang karena ia hanya menganggap ketiga Pria itu sebagai Kakak saja. "Kak Johan? Kau ingin ke mana?" Johan yang tampak sibuk bersiap menoleh ke arah Atha kemudian tersenyum lembut. "Ke rumahnya kak Hale, Sayang." Atha mengangguk-angguk mengerti. "Aku juga harus pulang." Reyhan ikut bersuara, hingga Alan dan Johan pun sontak menoleh. "Bicara apa kau, s****n? Antar Atha pulang dulu!" ujar Alan. "Kau saja yang mengantarnya pulang. Bunda sudah meneleponku," balas Reyhan santai sembari bangkit berdiri. "Rey?! Antar Atha pulang dulu!" Johan ikut menimbrungi. "Mengapa bukan kau saja? Lagi pula kau akan keluar juga, 'kan?!" balas Reyhan mulai emosi juga. "Kau yang akan saling jatuh cinta dengannya, 'kan? Itu artinya, kau juga yang harus mengantarnya pulang!" Reyhan mengusap wajahnya kasar. Jatuh cinta, jatuh cinta, jatuh cinta! Lama-lama ia bisa muak sendiri kalau begini terus! "Tutup mulutmu, s****n! Mana mau aku dengan Gadis begitu?!" Ia kini berbalik menatap Atha yang sudah tampak menunduk sembari menggigiti kukunya. Selain sikap sok imut dan kebiasaannya mencari perhatian, Reyhan juga membenci Gadis gila itu karena sikap cengengnya yang memuakkan. "Hey, Rey?! Bisakah kau berhenti bersikap begitu pada Atha? Dia sekarang menangis, Bodoh!" Alan menggerutu kesal. Pria itu bahkan tampak menarik tubuh Atha hingga bertumpu di dadanya. "Jangan menangis lagi, Sayang," ujarnya sembari mengusap rambut Atha pelan. Dengan napas yang ia tarik banyak-banyak, Reyhan memejam sebentar. Jika dengan cara ini ia bisa mengakhiri ledekan Alan dan Johan, maka ... baiklah. Ia akan berusaha bersikap senetral mungkin, dengan catatan tetap membangun batasan agar mereka tidak bisa dikatakan orang dekat. Ia akan berusaha menghilangkan keinginannya untuk tidak berurusan dengan Gadis itu, kalau perlu bersedia mengantarnya pulang saja sekalian membuangnya di tengah jalan. "Kalau begitu ayo pulang sekarang! Lagian mengapa kau menangis, sih?! Gadis cengeng yang merepotkan!" Bugh! "Sekali lagi kau berkata kasar pada Atha, aku takkan segan-segan memukulimu lebih!" ancam Johan kemudian berlalu pergi begitu saja. “ARGHHHH s****n! s****n! s****n!” BRAK! BRAK! BRAK! Setelah melempar beberapa barang dengan tanpa perasaannya, Reyhan langsung berpindah menatap Alan juga Atha yang sudah menatapnya dengan sorot yang saling berbeda. Alan dengan sorot geli, lalu Atha dengan sorot ketakutan. “KAU!” Reyhan menunjuk Atha dengan amarah meletup-letup. “b******k! JANGAN MENAKUT-NAKUTINYA!” teriak Alan panik, sembari langsung menarik Atha mendekat. “Pulang dengan Alan, atau pulang denganku?! HUH?!” Reyhan kembali berteriak hingga tangis Atha pecah sempurna. Gadis itu bahkan langsung berhambur memeluk Alan dengan sangat ketakutannya. “Rey ...?! Ayolah! Jangan bersikap begitu!” tegur Alan terdengar serius. Ia masih berusaha menenangkan Atha dengan cara mengusap rambut Gadis itu pelan. “Kau ingat ucapanku di kantin tadi, kan? Jika kau memang serius tak merasakan apa-apa, berarti-" “BERARTI APA?!” potong Reyhan semakin emosi. Alan mendengus. Berusaha bersabar, sedikiiiitt lagi. “Berarti perlakukan ia sebagai adik. Seperti bagaimana kau pada Sella. Anggap ia sebagai adik kita bertiga. Adik bersama kita.” Setelah terkekeh sarkas, Reyhan lantas meraih jaketnya, kemudian, “baiklah. Aku akan membawanya pulang.” Alan tersenyum puas. Dengan penuh kelembutan, ia lalu menarik Atha dari dekapannya, kemudian menenangkan Gadis itu dengan beberapa ucapan mendukung. “Kak Rerey tidak akan menjahatimu, kok. Percaya saja, ya?” Meski terkesan ragu, Atha akhirnya mengangguk juga. Ia berpaling menghadapi Reyhan yang sudah tampak menunggu dengan kacamata bertengger di hidungnya. “Sini, Adikku Sayang. Aku akan mengantarmu pulang,” ujar Reyhan dengan senyum tak terbacanya yang mekar. Atha melangkah ragu. Membiarkan Reyhan merangkulnya dari samping, bahkan saat rambut ekor kudanya juga dibelai lembut. “Hati-hati, ya!” teriak Alan dari belakang. Atha merasakan jelas Reyhan mengangguk bahkan menunduk sedikit dan menatapnya beberapa saat. “Tentu saja! Jangan kaget, ya, jika besok Adik kita ini sudah dikabarkan hilang karena dijual ke penjahat!” balas Reyhan ikut berteriak. “Iya, Sayang! Aku tahu kau tak sejahat itu!” Setelah keduanya sudah saling berdiri di dalam lift yang perlahan bergerak, Reyhan melepas rangkulannya kesal. Mengapa, sih, Gadis di sampingnya itu tidak menolak untuk pulang dengannya saja? Padahal, ia sudah sangat berusaha menakut-nakuti, kok. Lift yang berhenti membuatnya bergegas keluar begitu saja. Reyhan menghampiri mobilnya cepat, kemudian mendaratkan b****g di jok kemudi begitu saja tanpa mau peduli sama sekali mengenai Atha. Sementara Atha sendiri, ia masih betah berdiri di depan pintu mobil dengan tangisnya yang semakin mengalun keras. Tangisnya memang sudah sejak tadi pecah, hanya saja ia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Tidak bersuara sama sekali. Kaca mobil yang perlahan bergerak turun membuatnya menengok ke dalam dengan perasaan takut yang semakin menjadi-jadi. “Mengapa tidak masuk juga? Kau tidak sedang berharap dibukakan pintu, kan?” Pertanyaan Reyhan sontak membuat Atha melepas tangisnya begitu saja. Ia terisak-isak keras. Tidak tahu harus menjawab atau bersikap apa lagi selain menangis. Sementara Reyhan sendiri, ia panik sekaligus kesal bukan main. Gadis ini ... mengapa ia benar-benar gemar menguji kesabaran?! “Hey, Bodoh?! Mengapa kau menangis tidak jelas begitu?! HUH?!” tanyanya tak peduli lagi. Tapi ..., tak ada tanggapan. Gadis itu bahkan semakin asik menangis saja. “Masuk!” perintahnya masih berusaha bersabar, tapi tetap tak ada perubahan. “Kau dengar, tidak, sih?! HUH?!” Karena lagi-lagi tak ada tanggapan, Reyhan memutuskan untuk keluar saja, dan langsung mendorong Atha masuk ke mobil. “Tidak mau, Kak ...! Hiks. Tidak mau ...!” lirih Atha berusaha menolak. “MASUK!” “Tidak mau, hiks. Tidak ma-" "Kubilang masuk!" "Tidak mau! Aku tidak ma-" “LALU APA MAU-" “Aku tidak mau dijual ke penjahat ...! Hiks.” Reyhan sontak terkekeh tak percaya. Dijual ke penjahat?! “Dasar Gadis bodoh! Sudah, cepat! Masuk!” Setelah mendorong Atha masuk ke mobil secara paksa, Reyhan lantas mendaratkan bokongnya di jok kemudi, kemudian menancap gas hingga mobil melesat pergi. Atha semakin menangis. Memalingkan wajahnya ke jendela, dan tak berani sedikit pun untuk melihat Reyhan lagi. “Berisik, deh! Jangan menangis lagi!” bentak Reyhan muak. Meski kaget setengah mati, Atha langsung menurut dan meredam isakannya di tenggorokan. Bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat, hingga asinnya darah pun bisa ia rasakan jelas tertelan. Selanjutnya, tak ada lagi percakapan yang terjadi. Hanya terdengar deru mobil yang menemani, juga suara klakson yang sesekali terdengar menjerit. ❀❀❀
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN