Chandani's LL 11. Bitter and Sweet

2402 Kata
            Dia sadar kalau Mamanya tidak bisa diajak kompromi pagi ini. Suasana hati sang Mama sudah rusak hanya karena memikirkan hal yang tidak-tidak tentang istrinya, Chandani.             Zhain menghela nafasnya panjang. Bingung harus melakukan apalagi supaya bisa membujuk Mamanya untuk ikut sarapan bersama mereka. Dia tidak mau istrinya merasa terintimidasi karena sikap Mamanya. Karena bagaimana pun juga, Zhain memiliki tanggung jawab baru, yaitu melindungi istrinya terutama membuat istrinya diterima di keluarganya.             Zhain memang wajib membuat Mamanya terbuka kepada Chandani. “Ma? Ayo, kita sarapan bersama. Jangan seperti ini,” bujuk Zhain lagi sambil tersenyum manis dan memegang kedua tangan Mamanya.             Arisha menepis pelan tangan anaknya. “Dengar Mama! Mama tidak mau sarapan satu meja sama dia. Kalian semua sudah memaksaku untuk menerima dia sebagai menantuku. Cukup itu dan tidak ada yang lain lagi. Dan kau, Zhain? Mama tidak habis pikir, kau mau menerima dia sebagai istrimu??” tanya Arisha menatap lekat sputranya.             Zhain diam dengan ekspresi datar menatap sang Mama. Dia membiarkan Mamanya untuk meluapkan semua emosi yang selama ini dia pendam sejak Chandani masuk dalam kehidupan mereka. “Mama tahu Zhain, dia bukan tipikal istri idamanmu. Dan kau tidak bisa membohongi Mama,” sambungnya lagi.             Zhain tidak menampik hal itu. Karena apa yang Mamanya katakan memang benar adanya. Chandani bukan tipikal istri idamannya.             Tapi takdir berkata lain. Semua sudah terjadi. Zhain harus menjalani takdir yang sudah terjadi. Dia yakin, bahwa ada sisi baik yang dia tidak ketahui dari istrinya, Chandani. “Kau diam? Semua yang Mama katakan benar, bukan?” tanyanya lagi. Dia masih melanjutkan kalimatnya. “Sampai kapan pun, Mama tidak akan pernah mau makan satu meja dengannya. Kecuali jika dia tidak ada disana, maka Mama akan makan bersama dengan kalian. Kalian tidak bisa memaksaku,” ketus Arisha lagi seraya memutuskan.             Zhain menarik panjang napasnya. Mamanya memang sedikit keras kepala. Dia sangat paham dengan sifat wanita yang sangat ia sayangi ini. “Ma, Zhain tahu Mama tidak menyukai istriku—” ucapan Zhain disela cepat oleh sang Mama. “Jangan sebut dia sebagai istrimu, Zhain! Karena sulit bagiku mengakui dia sebagai menantuku! Dan kalian harus paham itu!” ujar Arisha ketus lalu berbalik badan, dan kembali duduk di kursinya.             Zhain bergerak dan mendekati Mamanya. “Ma, demi Zhain. Ayo, sarapan bersama dengan kami. Zhain mohon,” pintanya sambil memeluk sang Mama. …             Tanpa mereka sadari, sedari tadi Chandani sudah mendengar semua pembicaraan mereka dari balik pintu kamar Arisha yang sedikit terbuka. Hati Chandani terasa nyeri. Dia masih bisa menahan air matanya. Bagaimana tidak, dia merasa seperti benalu di keluarga barunya ini. Kehadirannya yang tidak diharapkan oleh sang Mama mertua. Bahkan suaminya pun juga tidak menginginkan kehadirannya sejak awal dan terpaksa menerima perjodohan mereka karena permintaan Eyangnya, Ida. Dia sadar, kalau semua pilihan itu ada risikonya. Karena dia memilih perjodohan ini, maka dia harus bisa menerima risikonya dan menahan segala rasa sakit yang akan dia terima setiap harinya.             Dia juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat hati Mama mertua dan suaminya luluh terhadapnya. Melihat mereka yang sepertinya hendak berjalan keluar kamar, Chandani lalu bergegas turun ke bawah dan kembali ke dapur. … “Baiklah. Mama sarapan dengannya itu karena dirimu. Bukan karena dia. Dan ini terakhir kalinya Mama sarapan bersama dengannya. Kedepannya tidak lagi,” ujar Arisha masih berwajah datar.             Sesaat Zhain terdiam. Dia tidak mau mengiyakan ucapan Mamanya itu. “Ma, untuk kedepannya kita semua gak akan tahu apa yang akan terjadi. Jadi, kita jalani saja untuk sarapan pagi ini. Oke. Sekarang senyum dong, Ma? Biar makin cantik dan awet muda,” rayu Zhain untuk membuat moody Mamanya balik seperti semula.             Arisha menepuk pelan bahu putranya itu, membuat Zhain memeluk sang Mama. “Kau ini! Masih pagi begini. Bisa-bisanya menggombali Mamamu sendiri!” ketus Arisha berpura-pura kesal, lalu membalas pelukan sang putra.             Mereka berjalan keluar kamar hendak berjalan menuju dapur. … Dapur., “Dimana mereka, Nak?” tanya Zhaka kepada sang menantu yang sudah duduk di kursinya. “Hmm … Mama dan Mas Zhain mau menuju kesini kok, Pa.” Chandani menjawabnya lembut dengan suara khasnya.             Zhaka mengangguk mengerti. “Ya sudah, kita tunggu mereka sampai sini saja. Dan kamu sayang, jangan sedih ya. Terkadang kita harus melakukan pengorbanan untuk mencapai tujuan kita. Eyang yakin, kamu pasti bisa merebut hati Mama kamu.” Ida meyakinkan cucu menantunya sambil mengoles selai di rotinya, melirik Chandani dengan senyumannya. “Iya Eyang. Chandani akan berusaha memenangkan hati Mama Mas Zhain,” jawab Chandani sambil tersenyum kikuk. “Sayang? Kok, Mama Mas Zhain? Mamanya juga Mama kamu. Kamu tidak kami anggap sebagai menantu, Nak. Tapi sebagai putri kami sendiri,” ujar Zhaka menatap teduh menantunya. Karena dia tahu, bahwa Chandani tipe yang peka dan menjaga perasaan. Dia takut ucapannya menyinggung perasaan menantu satu-satunya itu. …             Arisha dan Zhain sudah berjalan menuju dapur. Zhain berjalan di belakang Mamanya.             Chandani melirik sekilas ke arah mereka. Deg!             Degup jantung Chandani berdetak cepat saat melihat sosok pria yang sudah sah menjadi suaminya. ‘Dia ternyata sungguh tampan sekali,’ bathin Chandani merasa kagum.             Pria berperawakan tinggi. Wajahnya yang tampan, tanpa bulu-bulu halus di sekitar rahangnya. Rambut hitam pekatnya yang sedikit terurai ke bagian depan. Dadanya yang bidang dibalik kemeja abu-abunya. Otot lengan yang masih terlihat dari luar kemejanya. Benar-benar tubuh yang atletis. ‘Betapa beruntungnya aku menjadi istri mu, Mas.’ Chandani sedikit mengulum senyumnya. Chandani sadar dia tidak boleh melirik ke arah mereka lebih lama lagi. Dia lalu memalingkan wajahnya pada piringnya. Zhain sadar, bahwa istrinya memperhatikannya dari kejauhan. Tapi dia berpura-pura tidak tahu. Sudut bibir kanannya sedikit terangkat ke atas. Senyuman tak terlihat itu mengisyaratkan kemenangan dirinya karena diperhatikan detail oleh istrinya sendiri. Dia lalu menarik kursi untuk sang Mama. Setelah itu, dia duduk di sebelah istrinya, Chandani. Chandani sedikit grogi, akibat matanya yang jelalatan menatap tubuh atletis suaminya itu. Entah kenapa, ini kali pertama dia berani memandang pria sampai sebegitu detailnya. Mungkin karena pria yang dia pandang adalah suaminya sendiri, pikirnya. Mereka lalu sarapan pagi dalam diam. Tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara saat sarapan sedang berlangsung. … Beberapa menit kemudian., “Zhain, kau yakin mau langsung bekerja? Kau bisa libur satu atau minggu, Nak. Apa kalian tidak ingin pergi honeymoon?” tanya Zhaka pada putranya sembari mengusap mulutnya dengan tissue.             Zhain meneguk jusnya lalu menjawab pertanyaan Papanya, Zhaka. “Semua terserah istriku. Gimana, Sayang?” tanya Zhain pada istrinya yang sedang mengelap mulutnya dengan tissue. Deg!             Chandani merasa terkejut dengan panggilan yang pertama kali ia dengar dari bibir suaminya, sejak pertama kali ia mereka menikah. “Hmm ... terserah gimana baiknya, Mas.” Chandani tersenyum kikuk, diangguki iya oleh sang suami.             Sejujurnya, Zhain pun bingung harus mengatakan apa. Dia ingin sekali menghindari acara honeymoon itu, karena mereka sama sekali belum melakukan pendekatan intim. Menurutnya, honeymoon mereka akan sia-sia saja dan tidak akan membuahkan hasil apapun. Yang Zhain maksud adalah, mereka tidak akan mungkin bercinta disaat mereka belum bisa menerima satu sama lain. Jadi, Zhain merasa bahwa mereka perlu pendekatan terlebih dulu sebelum mereka pergi honeymoon. Arisha melirik ke arah putra dan menantunya itu. Dia hanya diam saja, apalagi saat melihat menantunya, Chandani meliriknya takut. “Kami akan pergi honeymoon. Tapi mungkin bulan depan,” ujar Zhain lalu melirik ke samping, ke arah istrinya. Mereka saling bertatapan mata. Glek!             Chandani menelan salivanya sendiri. Dia lalu mengangguk iya seraya menyetujui ucapan sang suami. Zhain melihat reaksi istrinya itu. Dia hampir saja tertawa. Dia benar-benar tidak menyangka, istrinya ini benar-benar polos atau sengaja dibuat-buat. Semua orang hanya mengangguk iya, menghormati keputusan Zhain dan Chandani. Sedangkan Arisha, dia tentu saja sangat senang. Karena anaknya tidak jadi pergi honeymoon. Dia sangat takut, kalau Zhain benar-benar dekat dengan Chandani dan jatuh hati dengan menantu satu-satunya itu. … Teras rumah., “Aku pergi dulu. Pulang nanti aku akan beri kamu ponsel. Supaya kita mudah untuk saling memberi kabar,” ucap Zhain mengelus pelan puncak kepala Chandani dan mengecupnya singkat tanpa ragu.             Pendekatan awal Zhain mulai dilakukan pagi hari ini. Dia berharap, semua yang dia lakukan tidak sia-sia. “I-iya, Mas. Mas hati-hati ya dijalan,” balas Chandani dengan sikap masih kaku dan grogi.             Zhain mengulum senyumnya. ‘Lugu, polos. Kau lucu sekali Chandani,’ bathin Zhain menatap lekat istrinya. “Hari ini aku akan pulang telat, karena ada jadwal operasi siang ini. Tapi pagi ini aku akan ke kantor sebentar,” ujarnya lagi seraya memberi tahu segala aktivitasnya seharian ini.             Dia pikir, istrinya harus tahu segala kegiatannya mulai hari ini. Dia harus menghormati Chandani sebagai istirnya sekarang.             Chandani lalu mencium tangan kanan Zhain. Lalu Zhain membalasnya dengan mengecup singkat kening Chandani. Zhain masuk ke dalam mobilnya sendiri. Sedangkan Zhaka, dia sudah berangkat dari tadi karena Zhain yang memintanya. Zhain menginginkan waktu sebentar dengan istrinya sebelum berangkat kerja. Bagi Zhain, hari ini adalah hari pertama dia menjadi seorang suami yang akan bekerja dengan niat yang berbeda dari sebelum dia menikah. Dia pergi bekerja pagi ini, dengan niat mencari nafkah untuk istrinya. …             Mereka sudah pergi menjalankan kegiatan mereka seperti biasa.             Zhain dengan jas kantornya, menyempatkan diri untuk pergi ke kantor sebentar sebelum dia pergi ke Rumah Sakit karena ada jadwal operasi jantung pasiennya siang hari nanti.             Zhaka, dia juga ikut ke kantor sembari mengecek beberapa dokumen yang sudah diolah oleh anaknya itu. Dia bangga, karena Zhain sangat paham dengan bisnis. Karena yang selama ini mereka tahu, bahwa Zhain hanya mengerti soal ilmu medis saja. Tetapi ternyata putranya itu sudah mengantongi ilmu perbisnisan dan manajemen bisnis dengan mengikuti home schooling sewaktu dia bersekolah di London. Dia sangat mengerti putranya itu. Waktu lajangnya, dia habiskan hanya untuk mengenyam pendidikan dan menolong sesama manusia. Lalu Ida, dia berkunjung ke panti jompo untuk mengunjungi teman lamanya yang ada disana. Awalnya Chandani ingin ikut menemani Eyang Ida. Tetapi Ida melarangnya dengan alasan bahwa Arisha sendirian di rumah. Ida juga berpesan agar Chandani melakukan pendekatan dengan Mama mertuanya. Karena Ida sudah menasehatinya, Chandani pun menuruti perintahnya. …             Chandani sudah siap membantu Bi Atik dan Bi Susi mencuci piring. Mereka sudah melarang Chandani, tapi Chandani mengatakan kalau dia bingung harus mengerjakan apa lagi. Karena seluruh rumah sudah bersih karena para pelayan pribadi yang sengaja Zhain pekerjakan di rumah yang besar ini. Arisha berjalan menuju dapur. Mereka semua melihat ke arah Arisha. Bi Atik dan Bi Susi melihat ke arah Nyonya besar mereka. Entah kenapa, perasaan mereka mulai tidak enak. Chandani spontan beranjak dari duduknya. “Bi, kalian boleh istirahat.” Arisha menatap tajam ke arah Chandani dan diangguki iya oleh mereka.             Bi Atik dan Bi Susi berjalan keluar dari dapur. Mereka sempat melirik ke belakang, ingin melihat apa yang akan dilakukan Nyonya besar mereka kepada menantu baru di rumah ini.             Sebelumnya, Ida sudah memberi pesan kepada mereka untuk tetap mengawasi Arisha. Apabila Arisah hendak bersikap kasar terhadap Chandani, maka mereka harus melindunginya.             Arisha menoleh ke arah mereka. “Saya menyuruh kalian untuk istirahat, Bi!” ketus Arisha menatap tajam mereka yang kepergok mengintip ke arah dapur.             Mereka berdua lalu kembali berjalan keluar rumah untuk melakukan pekerjaan yang lain. Meski begitu, mereka tetap mengawasinya secara sembunyi-sembunyi. …             Arisha menatap ke arah Chandani. Dia melihat wanita ini sangat jarang sekali membuka suaranya.             Chandani hanya menundukkan kepalanya ke bawah. Dia sungguh tidak berani membalas tatapan Mama mertuanya ini. “Cobalah bercermin. Posisimu sekarang ini sangat pantas menjadi seorang pembantu,” ketus Arisha masih menatap Chandani yang tertunduk takut di depannya.             Chandani masih menatap ke bawah. Air mata sudah berada di ujung matanya saat ini, tubuhnya mulai bergetar. Sungguh, Arisha menyukai ketakutan Chandani seperti ini. Karena menurutnya, lebih baik jika Chandani takut kepadanya, supaya Chandani tidak menjadi menantu yang kurang ajar. Selain itu pun, dia berniat untuk memisahkan antara Zhain dan Chandani. Itulah sebabnya Arisha mulai melakukan aksinya di hari pertama Chandani menjadi menantu di keluarga Afnan. “Kau diam? Perkataanku benar bukan??” tanya Arisha mulai meninggikan nada bicaranya.             Chandani mulai meneteskan air matanya. Dia tidak sanggup dengan semua ucapan pahit Mama mertuanya itu. “Hey! Apa kau tuli?? Aku bicara pada mu Chandani!” ketus Arisha mulai emosi karena Chandani tidak mau membalas tatapan matanya.             Chandani mendongakkan kepalanya dan memberanikan diri untuk membalas tatapan Mama mertuanya itu. “Apa kau dengar semua ucapanku dasar wanita licik?!” ketus Arisha memicingkan kedua matanya. “De-dengar, Ma.” Chandani menjawab dan sedikit takut terhadap Mama mertuanya. “Dengar! Jangan sekali-kali kau memanggil ku Mama! Aku sudah pernah peringatkan kau sebelumnya bukan?” tanya Arisha.             Chandani mengangguk iya. “Dengar! Kalau di depan mereka semua, kau boleh panggil aku Mama! Tapi jika hanya ada kau dan aku, dan juga para pelayan, kau harus panggil aku Ibu. Kau dengar?!” ujar Arisha lagi padanya. “I-iya, Bu. Chandani dengar,” jawabnya gagap dengan wajah penuh ketakutan. “Kau tahu? Bahkan aku sendiri pun mulai tidak menyukai panggilan namaku sendiri. Kau tahu kenapa?” Arisha memicingkan mata ke arah menantunya. “Karena kau juga dipanggil Icha! Jangan kau pikir, aku mau memanggil namamu! Karena apapun namamu, bagiku kau hanya menantuku di atas kertas! Tidak lebih dari itu! Karena aku tidak akan pernah sudi menerima dirimu sampai kapanpun!” ketusnya semakin membuat hati Chandani terasa ngilu.             Air matanya semakin mengalir deras. Dia menatap Mama mertuanya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin Mama mertuanya berkata kasar seperti itu padanya.             Dia pikir, apakah salah jika dia menerima perjodohan ini. Jika memang suaminya tidak menyetujui perjodohan ini, seharusnya dia menolak dari awal. Kalau sudah seperti ini, Chandani bingung harus berbuat apa.             Dia lalu memberanikan diri untuk berbicara. “Bu? Apa salah Chandani sampai Ibu sangat membenci Chandani?” tanya Chandani lembut, dengan suaranya bercampur dengan isakan tangisnya. “Berhenti berlagak sedih di depanku! Air mata buaya mu itu, tidak mempan untukku!” ketus Arisha sambil mengangkat jari telunjuknya di wajah Chandani.             Chandani menggelengkan lemah kepalanya. “Kau mau tahu apa salahmu, huh??” tanya Arisha kepada Chandani.             Chandani kembali menggelengkan kepalanya. “Kau tahu apa??”             Arisha menatapnya dengan pandangan tidak suka. “Karena kau sebatang kara! Kau tidak mempunyai apapun yang bisa di banggakan! Dan aku tidak mau mempunyai menantu munafik seperti dirimu yang tidak mau mengakui keluarganya sendiri!” ketus Arisha dengan nafas tersengal, kedua tangannya tergepal kuat. *** *** -Chandani Oyuri- Aku tahu, aku hanya seorang gadis yang sebatang kara Aku hanya gadis miskin yang tidak berpendidikan Aku hanya ingin meminta perhatian dan kasih sayang dari orang-orang yang ku sayang Aku hidup sebatang kara sejak kecil Berharap akan ada keluarga yang mau memberi kebahagiaan untukku Untuk keluargaku… Aku akan berusaha semampuku untuk membuat kalian bahagia Walaupun aku tidak tahu dengan cara apa Tapi aku berjanji, tidak akan membuat kalian kecewa terhadapku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN