"Kamu ingin tetap disini untuk terus berhubungan dengan mantan kamu itu kan?"
Adam memundurkan langkahnya "Kenapa? terkejut karena aku tahu, sampai kapan kamu mau nyembunyiin ini dari aku dan Ayah?"
"Nad?" Adam mencoba meraih tangan Nadhira namun dia mundur menjauh.
"Kalau itu alasan kamu, lalu apa yang kita lakukan, Mas? sementara kamu masih mencintai dia?"
"Dengerin aku, Nad."
"Segala perhatian kamu sama Elisa itu gak wajar Mas, andai aku gak denger sendiri dari mulut Kamu dan Elisa waktu itu, mungkin aku gak akan tahu dan akan terus menjadi orang bodoh di belakang kalian."
"Aku gak ada hubungan apapun sama Elisa, ya ... kami mantan tapi itu masa lalu."
"Masa lalu kamu masih menghantui kamu, Mas. Itu alasan kamu gak mau manggil dia mama, dan bahkan kekhawatiran kamu saat dia terluka aku bisa lihat dengan jelas."
"Ini gak seperti yang kamu pikirkan, sayang."
"Trus, gimana aku gak berpikir seperti itu kalau kamu selalu menolak untuk pindah?"
Adam mengusap wajahnya kasar "Oke, oke kita pindah," putusnya. Adam memeluk Nadhira, tak ada perlawanan lagi "Tapi tolong jangan pikirin yang enggak- enggak, aku gak memiliki perasaan apapun lagi sama Elisa, aku cuma khawatir secara kekeluargaan, aku cuma mencintai kamu."
"Kalau gitu buktiin." Nadhira tak berencana membalas pelukan Adam meski dia merasakan pelukan itu mengerat.
"Ya." Adam menghela nafasnya lega, setidaknya Nadhira tidak tahu alasan sebenarnya dia ingin tetap tinggal disana.
Nadhira mendorong Adam "Sejak kapan hubungan kalian berakhir?"
"Enam tahun lalu." Adam memejamkan matanya dengan menunduk.
***
"Kalian mau pindah?" Nadhira menatap Elisa yang nampak terkejut saat Adam mengatakan mereka akan pindah.
"Iya."
"Tapi, kalau kalian pindah bukannya repot ya, mending disini aja." Elisa nampak tak setuju.
"Kami udah sepakat," jawab Nadhira "Papa gak papa kan kami tinggal, selain itu kami juga mau belajar mandiri, Pa." Nadhira memberi alasan "Kami bisa datang kapan aja untuk berkunjung dan jengukin Papa."
"Tapi Nad-" Elisa mencoba kembali bicara, namun Galuh mencegah dengan menyentuh tangannya.
"Papa setuju," katanya memberi keputusan.
"Gak perlu khawatir Papa bisa jaga kesehatan. Kapan tepatnya kalian pindah?" tanya Galuh memastikan.
"Mas Adam mau cari dulu rumah sewa, nanti pastinya kalau kita udah cocok sama rumahnya."
"Ya sudah kalau gitu."
Nadhira menghela nafasnya lega sebab sang Papa setuju dengan keputusannya, namun Nadhira tak bisa tak melihat ke arah Elisa yang kini menatap Adam, seolah dia benar-benar kecewa dengan keputusan yang sudah di buat.
"Kalau gitu aku masuk dulu, Pa." Nadhira bangkit meninggalkan Adam yang melamun dan tak sadar kalau Nadhira akan pergi, hingga suara kursi berderit menyadarkannya kemudian mengikuti Nadhira.
"Kamu kok ninggalin Mas," protes Adam saat dia memasuki kamar.
"Ngapain nungguin kamu yang asik mandangin mantan?"
"Sayang, Mas kan bilang kalau Mas gak ada hubungan apapun lagi sama Elisa," jelas Adam.
"Kamu gak perlu jelasin apapun, Mas. Aku gak akan percaya sebelum kamu membuktikannya."
"Iya, ini kan lagi direalisasikan, Nad. Kamu mau pindah aku setuju."
Nadhira menghela nafasnya lalu menatap Adam dengan sendu "Kamu gak bakal setuju seandainya rahasia ini gak aku ketahui kan, Mas? Dan kamu tahu apa artinya itu. Kamu mencoba mengiyakan tuduhanku."
Adam mengusap wajahnya kasar "Mau kamu apa sih, Nad. Aku setuju salah, aku gak setuju juga salah. Udahlah, aku capek." Adam memilih meninggalkan kamar dan meninggalkan Nadhira yang tertegun.
Nadhira mengigit bibirnya, gelisah. Kini Nadhira merasa bersalah karena terlalu keras pada Adam.
Bagaimana kalau Adam dan Elisa memang tak memiliki hubungan apapun.
***
Adam menghembuskan asap rokonya ke udara, setelah makan malam yang diisi keputusan untuk pindah kini justru sikap Nadhira semakin menjauh.
Padahal dia sudah berusaha untuk memilih Nadhira dari pada janjinya pada Elisa.
"Kamu ingkar janji, Dam." Adam memejamkan matanya saat mendengar suara Elisa di belakangnya.
"Kamu janji, kalau-"
"Rumah tanggaku gak baik- baik aja, El. Karena itu aku memutuskan ini." Adam bicara sedikit pelan setelah melihat sekitarnya, hubungannya dan Nadhira akan semakin runyam kalau dia melihatnya dengan Elisa.
"Nadhira tahu kamu mantanku?" Elisa nampak terkejut.
"Gimana bisa?!"
"Gak tahu, yang jelas dia salah paham sama kita."
"Tapi, Dam gimana dengan janji-"
"Aku akan tetap menepati janjiku, El." Lagi- lagi ucapan Elisa terpotong oleh ucapan Adam. "Tapi, aku butuh waktu untuk meyakinkan Nadhira, aku gak mau Nadhira terus- terusan salah paham sama hubungan kita."
"Aku bisa jelasin sama Nadhira, tanpa harus kalian pindah."
"Tolong jangan bikin ini tambah runyam, El."
"Apa Nadhira tahu kalau-"
"Enggak, aku gak tahu kalau sampai Nadhira tahu." Adam menunduk sedih. "Aku harap Nadhira gak pernah tahu, aku gak mau kehilangan Nadhira, aku mencintainya."
"Kamu egois, Dam."
"Aku juga gak bisa berbuat apapun, El. Mengertilah, Nadhira sangat penting buat aku."
Adam menghela nafasnya lalu memilih bangkit, dia ingin menenangkan pikirannya, tapi justru Elisa menghampirinya dan kini pikirannya semakin runyam.
Elisa menatap punggung Adam yang menjauh, tatapannya nampak sayu namun kedua tangannya mengepal erat, sekilas orang yang melihatnya tak akan menyadari jika dia sedang menyimpan amarah dihatinya.
Setelah beberapa menit berlalu barulah Elisa melemaskan kedua tangannya, dan beranjak memasuki rumah.
Dalam waktu singkat Adam berhasil menemukan rumah sewa untuknya dan Nadhira, rumah dua lantai tak terlalu besar namun cukup nyaman dan asri, yang lebih penting rumah itu dekat dengan kantor Adam dan rumah Ayah Nadhira, memudahkan mereka jika sewaktu-waktu mereka harus berkunjung.
"Yakin kita gak perlu ikut?" tanya Elisa. Galuh dan Livia juga nampak untuk mengantar keduanya, tentu saja setelah mobil ekspedisi mengangkut semua barang Nadhira dan Adam.
Livia bahkan terus menangis mengantar kepergian mereka, tepatnya kepergian Adam sebab begitu dekat hubungan keduanya.
"Udah dong, Via jangan nangis terus, lagian Mas gak pergi jauh, Mas nanti bakalan datang kesini buat main." Adam memeluk Livia dengan sayang, mencoba menenangkan bocah itu.
"Janji?"
"Iya, dong, janji." Adam menyematkan kelingkingnya di kelingking Livia.
"Sudah, Via sama Mama, ya. d**a dulu sama Mas Adam, dan Mbak Nadhira," ucap Elisa menenangkan, dia menarik Livia dari tangan Adam untuk menjauh, membuat Adam segera bangkit.
"Kami pergi dulu." Nadhira memeluk Galuh, dan Elisa, dia bahkan menyempatkan untuk mengusap pipi Livia yang ada di pangkuan Elisa.
Adam dan Nadhira memasuki mobil, menyusul mobil ekspedisi yang melaju lebih dulu meninggalkan rumah Ayah Nadhira yang selama dua tahun ini menjadi tempat tinggal mereka.
Tangan Nadhira terulur untuk menggenggam tangan Adam, hingga Adam membawa tangannya untuk dia kecup membuat senyum tersungging dibibirnya.
Semoga ini bisa menjadi awal yang baru untuk mereka, dan semoga apa yang Nadhira khawatirkan tidak pernah terjadi.