5. M.O.S Perfect

1112 Kata
5. M.O.S Perfect Cowok itu duduk santai di atas jok sang kuda besi warna putih merahnya, mengabaikan tatapan memuja dari beberapa siswi yang tak sengaja lewat di depannya atau hanya melihat dari kejauhan. Dia menempatkan diri di tepi jalan tepat di bawah pohon sebelah gerbang utama SMA Permata Bangsa. Dengan kacamata hitam sunglass dan jaket kulit yang juga berwarna hitam. Dia tampil begitu maskulin dan berkarisma. Mata hitam yang tertutup kacamata menelisik ke arah pintu gerbang mencari-cari seorang gadis yang menjadi alasannya datang ke tempat itu. Sebelah tangannya menggenggam ponsel dan beberapa kali dia men-dial nomor sang gadis. Namun masih nihil, gadis yang sejak beberapa minggu ini tanpa kabar sampai hari ini masih saja mendiamkannya. Di lain sisi, Dhea yang baru saja keluar dari pengejaran Sammy, menghentikan langkahnya tiba-tiba. Matanya berkaca sedih namun juga terbersit bahagia. Dia menatap dari kejauhan cowok yang selama ini masih saja menghantui hari-harinya. Ah, bukan hantu sungguhan. Mana ada hantu yang nampak di siang bolong. Hanya saja cowok itu selalu datang di tiap Dhea termenung, memikirkan dan mengkhayalkan kebahagiaan. Dia lah Arjuna. Sang tersangka yang berani mencubit hati Dhea. Bergerak cepat. Dhea segera mencari tempat persembunyian, tidak terlihat namun dapat mengamati. Dan pilihannya jatuh ke pos security tepat di sebelah gerbang. Duduk bersila, Dhea lebih merendahkan tubuhnya di sebelah meja. Mengambil tempat di sela-sela meja dan tembok pembatas. Sesekali Dhea menegakkan tubuhnya menyembul dibalik tembok dan menelisik keadaan sekitar. Dan lagi-lagi mata hazelnya selalu tahu di mana seharusnya dia melihat. Mencebikkan bibirnya Dhea tampak cemburu menyadari bahwa ada banyak gadis yang curi-curi pandang bahkan terang-terangan menatap Arjuna-nya. Ingin rasanya dia berlari kearah cowok itu dan memeluknya possesif. Tapi belum sempat dia bergerak, dia kembali teringat kalimat menyakitkan yang tak sengaja dia curi dengar. Dhea itu udah aku anggap adik sendiri, nggak lebih. Memejamkan matanya, Dhea kembali merasakan sesak dan hantaman keras di dadanya. Ungkapan tak sengaja yang didengarnya dari cowok itu berhasil meruntuhkan segala yang ada di hatinya. "Eh, lihat deh cowok jaket item yang di pinggir jalan itu." ucap seorang cewek, membuat Dhea yang mendengarnya kembali melongokkan kepala melihat siapa yang berbicara. "Iya, cakep banget, pernah lihat tapi di mana?" sahut cewek lain di sebelah cewek pertama. Keduanya sedang berdiri tepat di depan Dhea, yang terhalang dinding pos. "Jangan-jangan lagi jemput ceweknya di sini." balas cewek pertama. "Masa sih, kalo jemput ceweknya, gue dong. Haha ..." cewek kedua menyahut, sembari tertawa sok cantik, yang terdengar menggelikan di telinga Dhea. Dhea sendiri sudah membelalakkan mata, memandang tak suka pada dua cewek itu. Dia tidak kenal tapi yang jelas keduanya adalah kakak kelasnya. "Gue kan yang tercantik seantero sekolah. Sammy aja sampe tergila-gila sama gue." kali ini cewek kedua kembali bersuara, menjawab dengan gaya kecentilan. Hampir saja Dhea tersedak ludahnya sendiri karena mendengar ucapan cewek kedua itu. Tercantik dari mananya, yang ada itu muka udah kayak orang main lenong, dandanannya tebal berlapis-lapis. Dhea mendecap, tatapannya tetap tidak suka pada dua cewek itu, yang kini tengah berjalan keluar gerbang. Hingga tiba-tiba, seseorang masuk ke dalam tempat persembunyiannya. Refleks, Dhea segera menundukkan kepalanya kembali bersembunyi di samping meja. Harap-harap cemas, Dhea berbisik di dalam hati. "Semoga nggak ada yang memergoki." Namun sayangnya, harapannya tak menjadi nyata. "Lagi ngumpet dari siapa Dek?" tanya seseorang yang baru saja memasuki pos. Menelan ludahnya pahit, Dhea melongokkan sedikit kepalanya keluar. Dia serasa pernah mendengar suara itu. Nahasnya, tatapannya bertemu dengan gadis pemilik suara itu. Kak Anna. Pembimbing MOS di kelasnya tadi pagi. Anna mengukir sunggingan manis di bibirnya, berbeda dengan Dhea yang kini salah tingkah. "Eh ... itu Kak, nggak ngumpet kok." ucap Dhea, sebisa mungkin mencairkan kecanggungannya. Menganggukan kepala dan tersenyum geli. Anna melemparkan tatapan keluar pos, menatap seorang cowok yang memberinya titah untuk masuk ke dalam pos memastikan. Dia mengangkat sebelah ibu jarinya dan ditunjukkan pada cowok itu. Jaraknya tak begitu jauh namun tetap tak bisa terlihat oleh Dhea. Masih dengan senyuman geli, Anna kembali memandang Dhea. Gadis itu kini sudah keluar dari persembunyiannya namun masih saja duduk di lantai. "Hmm, gitu ya. Kirain lagi sembunyi dari Sammy, " ucap Anna. "Eh," Dhea mengerjap, mendongak menatap Anna yang duduk di atas kursi. Dia ingin menyangkalnya, tapi takut-takut Sammy sedang berada di sekitarnya. Dan persembunyiannya hanya akan sia-sia. "Em, itu-" Drrt drtt drrt ... Ucapan Dhea terhenti karena getar ponsel di saku kemejanya. Merogoh benda segiempat itu, Dhea meliriknya sekilas. Namun tetap membiarkan benda itu bergetar. Tak ada niat untuk mengangkat panggilan di ponselnya, Dhea justru menggenggamnya erat. "Sammy itu nggak sejahat yang kamu kira Dek," Anna kembali berucap bahkan sebelum Dhea melanjutkan ucapannya tadi. Mengabaikan ponselnya, Dhea kembali memandang Anna. Masih tak berniat menjawab, karena sepertinya kakak kelasnya itu belum selesai bicara. "Sammy sejak dulu emang keras dan terkadang dingin namun dia juga baik dan bertanggung jawab. Tapi nggak tahu kenapa tahun ini dia begitu berbeda." lanjut Anna. Dhea mengernyit tak paham. Sebenarnya ada apa dengan kakak-kakak kelasnya. Dan mengapa tiba-tiba Anna bercerita tentang Sammy. Mengapa pula sejak tadi dia selalu terjebak pembicaraan tak berarah seperti ini. Lagi pula apa pedulinya dia dengan sikap Sammy. Mau cowok itu bertingkah apa pun bukan urusannya bukan? Dhea justru lebih senang jauh-jauh dari kakak kelas yang menjadi idola semua siswi itu. "Tatapanmu tadi pagi, terlihat sekali kalau kamu membencinya." Terkejut, hampir saja Dhea melompat dari duduknya mendengar penuturan Anna. Apa tatapannya begitu mudah terbaca. Cukup lama keheningan menggelayut, hingga akhirnya Dhea membuka suara. "Maaf Kak, tapi bukan maksud aku benci Kak Sammy," Anna tersenyum tipis, sejujurnya dia tidak berniat mengatakan hal seperti itu pada Dhea, hanya saja permintaan Sammy tadi membuat kejanggalan untuknya. Satu tahun lebih berteman dekat dengan Sammy membuatnya sedikit banyak paham dengan tingkah cowok itu. "Ah, tidak ya, syukurlah. Kalau begitu kakak pulang dulu." tutur Anna lagi, kali ini diikuti dengan kekehan pelan. Dhea mengangguk canggung, dia masih tidak menyangka kakak kelasnya akan menegur tingkahnya ketika dia belum genap seminggu di sekolah. "Satu lagi, nggak perlu takut pada Sammy. Dia nggak gigit kok," Meringis, Dhea memandang kepergian kakak kelasnya, sesaat dia bisa bernapas lega. Untuk waktu yang kembali membiarkannya sendiri. Hingga lagi-lagi dia merasakan getaran di ponselnya. Menggigit bibir bawahnya, Dhea kembali menatap layar ponselnya. Kali ini matanya membulat tak percaya. Ada empat panggilan tak terjawab dari satu nama. Arjuna. Astaga! Dia bahkan tidak sadar jika sedari tadi ponselnya terus saja bergetar. Mungkin karena fokusnya sedang terpecah juga emosi yang memuncak dan begitu banyak perasaan lain tengah menderanya. Memejamkan matanya, Dhea mencoba menghalau gumpalan air yang sudah menggenang di pelupuk mata. Sebisa mungkin tidak akan dia biarkan mengalir begitu saja. Lama, Dhea membiarkan saja getaran di ponselnya. Demi, sedikit memberi ruang pada dadanya yang sesak. Dia, baru mencoba melupakan. Bukan karena marah atau hal lain apa pun yang mungkin Arjuna pikirkan tentangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN