Part 34

1610 Kata
*** Danen membelokan mobil miliknya ke jalan yang sangat terlihat sepi. Hanya berisi beberapa gundukan tanah yang terlihat rapi dan terawat. Pria itu memberhentikan mobilnya tepat di sebuah gundukan yang dikerubungi beberapa orang. Danen menarik nafasnya sejenak. Berusaha membohongi hatinya jika ia sedang dalam keadaan yang baik baik saja. Setelahnya ia keluar dari mobil sambil mengenakan kacamata hitam miliknya. Membuat penampilannya semakin memukau di tempat pemakaman, apalagi dengan outfit serba hitam yang ia kenakan. Danen menggerakan kaki panjangnya dengan pelan melewati beberapa gundukan gundukan di bawahnya. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celana bahan yang ia kenakan. Hingga langkahnya terhenti pada gundukan yang dikelilingi beberapa orang tersebut. Danen dengan spontan mengepalkan kedua tangannya ketika melihat Aludra yang bersandar pada d**a Jivar dengan air mata yang mengalir tanpa suara. Ia dapat melihat dengan jelas mata merah Aludra yang mengeluarkan banyak cairan dan jatuh pada pipi merah perempuan itu. Tampak sangat kacau, namun sama sekali tidak menghilangkan kecantikan pada wajah perempuan itu. Danen merasa sangat tidak suka melihat apa yang Aludra lakukan. Hatinya terasa panas. Entah mengapa hatinya yang sudah lama membeku tiba tiba merasakan gemuruh kemarahan saat melihat Aludra menangis di dalam pelukan sang mantan kekasih. Jivar. Saat berusaha mengalihkan perhatiannya dengan Aludra. Tanpa sengaja mata Danen menemukan tubuh tua Chandra yang berada di samping Jivar. 'Ah… hampir saja ia lupa siapa Aludra bagi Chandra. Tak mungkin pria itu tidak mendatangi pemakaman seorang perempuan yang telah memberikan keturunan kepadanya.' Batinnya dengan tersenyum miring. Ketika Danen mendekat pada Aludra, tatapan permusuhan sangat terlihat dari mata Jivar. Namun Danen mengacuhkannya. Ia tidak peduli, lagipula Jivar sudah tidak lagi menjalin hubungan dengan Aludra. Jadi untuk apa ia peduli? Satu persatu orang mulai meninggalkan makam tersebut. Hanya tinggal Aludra yang masih berada di pelukan Jivar dan Danen yang menatap kosong pada makam mama Aludra. Namun dengan pikiran yang sibuk menyangkal pada hatinya yang merasa kemarahan atas posisi Aludra dan Jivar. "Lebih baik kita pulang, Aludra." Ucap Jivar dengan lembut. Aludra hanya menjawab dengan gelengan. "Langit mulai gelap. Ayo aku antar pulang." Danen terkekeh pelan, "Tidak perlu repot mengantar Aludra pulang, Jivar. Kau tidak lupa bukan bahwa aku satu rumah dengan Aludra. Jadi kau tidak perlu repot-repot mengantarnya, biarkan aku pulang bersamanya." Ujarnya tanpa mau repot memanggil Jivar dengan panggilan tuan. Lagipula pria itu tidak pantas di panggil dengan panggilan tersebut. Yang ada hanya membuat telinganya geli ketika mendengarnya, apalagi ia sendiri yang mengucapkannya. "Aku tidak sedang repot, Danen." Jivar mengangkat pandangannya, melemparkan tatapan penuh permusuhan pada mata hazel milik Danen. "Oh ya? Tapi lebih baik jika Aludra pulang bersamaku." "Memangnya siapa kau mengatur-atur Aludra? Apa kau kekasihnya?" Danen mengedikkan bahu, "Jika pun iya, itu sama sekali bukan urusanmu bukan? Lagipula dia juga sudah putus dengan mu bukan." Danen tersenyum penuh kemenangan melihat wajah merah padam penuh kemarahan yang terpampang dengan sangat jelas di wajah Jivar. Sepertinya ia berhasil membuat hati pria itu panas. "Sialan…." "Cukup, Jivar. Jangan sekali-kali kau mengumpat di depan makam Mamaku." Aludra mengalihkan tatapannya dengan tajam ke arah Jivar. Berani-beraninya pria itu mengucapkan kata-k********r di tempat mamanya bersemayam. Danen berjalan mendekati keduanya dengan langkah tenangnya. Menarik Aludra dari pelukan Jivar ke dalam pelukannya. Lalu melemparkan tatapan penuh cemoohan pada wajah merah padam Jivar. Ia sangat senang melihat wajah penuh kemarahan pria itu. "Sebaiknya kita pulang sekarang, Aludra. Hari sudah hampir malam." "Tidak, aku masih ingin…." "Tidak ada bantahan, Sayang. Kau bisa berkunjung lagi besok kesini. Aku akan menemanimu. Sekarang kita pulang." Potong Danen tanpa bantahan. Kemudian ia tersenyum semakin lebar ketika melihat Jivar memalingkan wajah. Ya, ia memang sengaja memanggil Aludra dengan panggilan sayang yang akan semakin mudah untuk mengerjai Jivar. "Danen…." "Aku berjanji akan menemanimu besok, Aludra. Sekarang kau harus beristirahat untuk menghilangkan penatmu. Aku tak ingin kau kelelahan, Sayang. Mengertilah." Danen mengusap pelan air mata Aludra serta keringat perempuan itu. Menatap lembut pada Aludra yang sepertinya tercengang dengan panggilan sayang yang ia lontarkan pada perempuan itu. Namun ia tidak peduli, tujuannya sekarang hanya satu. Yaitu menyingkirkan Jivar dari kehidupan Aludra untuk selamanya. "Baiklah, kita pulang sekarang, Danen. Kepalaku sedikit pusing." Danen dengan segera menyentuhkan tangannya pada tangan Aludra yang menempel pada kepala perempuan itu. Menatap cemas pada wajah Aludra yang memang sedikit pucat. Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya, bahkan dengan jarak mereka yang sangat dekat. Atau mungkin karena ia yang terlalu fokus mengerjai Jivar sampai tidak sadar dengan kepucatan perempuan itu. "Itu karena kau terlalu banyak menangis. Sebaiknya kau tenangkan dirimu terlebih dahulu, Aludra. Aku tak ingin kau kenapa-napa. Kita segera pulang saja kalau begitu." Aludra hanya sanggup untuk mengangguk. Dari kemaren Aludra memang sangat berantakan. Setidaknya ia bisa mencurahkan kesedihannya. Tidak seperti Danen dulu yang tak bisa berbuat banyak. *** Namun rupanya salah. Sore itu juga. Danen menemukan Aludra yang hampir pingsan. Beruntung Alex melihat hal tersebut. Semua badan Aludra panas dan menggigil. Melihat hal itu membuat Danen khawatir. Namun ego yang sangat tinggi membuatnya mengurungkan hal baik tersebut. Namun kekhawatiran sangat terlihat pada Roxy, si hewan berbulu lebat itu terus mengikuti kemanapun Aludra berada. "Dokter Aludra tidak bisa bermain Roxy, masih sakit. Lebih baik kau keluar dulu. Biarkan dokter Aludra istirahat yang cukup." Ucap Danen ketika Roxy mengikutinya ke kamar Alex. Roxy menjawab dengan rengekannya. Membuat Roxy mau tak mau harus ikut peraturan tersebut. Roxy menaiki kasur Aludra. Dan menidurkan badanya di sana. Siap menjaga Aludra yang sakit. Danen tersenyum melihat perhatian Roxy yang diberikan kepada Aludra. "Good boy." Ucapnya dengan mengusap bulu Roxy dengan lembut. "Aludra, bangun." Danen menepuk pipi Aludra dengan lembut. Wajah cantik tersebut benar benar terlihat pucat. Aludra hanya merespon dengan dahi yang mengkerut lucu. "Ayo ke rumah sakit. " Ajak Danen. Yang detik itu juga mendapat penolakan dari Aludra. Gadis itu menggeleng dengan lemah. "Kalau begitu aku panggil dokter." "Ja… jangan. Aku hanya butuh istirahat Danen. Aku janji besok sudah membaik." Ucap Aludra dengan lemah. "Jangan bercanda, Aludra. Badanmu sudah sangat panas ini." geram Danen. "Aku mohon. Aku hanya mau istirahat sebentar lagi, Danen." kekeh Aludra. Danen menghela nafas berat. Perempuan itu memang sangat keras kepala. "Baiklah. Kalau begitu, tapi sekarang kau harus makan." Lagi lagi gelengan yang Aludra berikan. "Makan atau dokter. Aludra. Hanya itu pilihanmu. Tidak ada penolakan." Aludra membuka kedua matanya. Dan pandangan keduanya pun bertemu. Seolah tahu maksud dari pandangan Aludra. Danen berteriak memanggil sang pelayan dan meminta dibawakan Aludra makanan yang hangat. Dua puluh menit kemudian seorang pelayan datang dengan makanan hangat beserta s**u di sebuah nampan. Dengan cekatan Danen menerima dan membantu Aludra untuk duduk. Danen mengambil mangkuk seporsi sup daging yang masih mengepulkan asap tersebut. Mengaduk nya dengan pelan. Dan memberikan satu suapan pada Aludra. Aludra diam melihat hal tersebut. "A… . Aku bisa melakukannya sendiri, Danen." Kekeh Aludra dengan suara lemahnya. "Dengan tangan lemah mu itu? Sudah lah jangan banyak menolak. Seharusnya kau bersyukur aku mau berada disini untuk membantumu. Sekarang aku tak menerima penolakan. Buka mulutmu." Dengan canggung Aludra membuka mulutnya dan menerima suapan dari Danen. "Sudah cukup. Aku kenyang." Suara Aludra yang lemah justru terdengar seperti rengekan di telinga Danen. "Ck. Belum ada setengah Aludra." Aludra menggeleng dan tangannya ingin mengambil minum. Peka dengan hal tersebut Danen pun mengambilkan nya. "Mau minum obat?" tawar Danen. Yang lagi lagi mendapat penolakan Aludra. Danen menghela nafasnya berarti. Membiarkan perempuan itu berbaring lagi. Entah setan dari mana. Dengan lancang nya Danen ikut naik ke atas ranjang Aludra. Memposisikan tubuhnya tepat di samping Aludra. Membuat perempuan itu terkejut. "Danen." Tidak ada satuan dari Danen. Pria tersebut hanya menarik Aludra kedalam pelukannya. Dan mengusap punggung Aludra dengan lembut. Tak lama Aludra pun terbuai dengan hal tersebut. Hampir saja Danen ikut tertidur. Namun sebuah nada dering handphone membuat Danen membuka matanya lagi. Handphone Aludra. Terlihat nama sangat mantan tertera di sana. Jivar benar benar tak menyerah untuk mendekati Aludra lagi. Dan Danen tak akan membiarkannya lagi. Melihat Aludra dalam pelukannya saja, pria itu sudah membuatnya merasakan gemuruh kemarahan apalagi jika… . Oh tidak Danen tak akan membiarkannya lagi. Danen mengambil handphone Aludra dan mereject panggilan tersebut. Mematikan handphone Aludra dan memasukkannya pada kantong baju miliknya. Namun sesaat ia terdiam sejenak dan kembali mengambil kembali handphone tersebut. Membuka kontak dan segera mencari nama Jivar. Ia tersenyum sejenak memandang id caller Jivar sebelum memblokir dan menghapusnya. Saat sudah selesai, Danen menatap puas pada hasilnya dan kembali memasukkan handphone Aludra pada kantong bajunya. Setidaknya pria itu tidak akan mengganggu Aludra dengan beberapa panggilan tak pentingnya. Merasa kepulasan tidur Aludra. Danen melihat wajah cantik yang hanya berjarak beberapa cm itu dari wajahnya. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik nan pucat tersebut. Ia membelai sebentar wajah cantik itu sebelum memutuskan untuk bangkit dan keluar dari kamar Aludra. Membiarkan Roxy yang menemani perempuan tersebut. Masih ada pekerjaan yang harus ia lakukan. **** "Apakah ini sebuah keajaiban?" Baru satu langkah Danen menutup pintu kamar Aludra. Tiba-tiba sudah terdengar suara Alex yang sangat menjengkelkan, lengkap dengan wajah menyebalkan khasnya. "Ck, tidak bisakah kau diam sehari saja, Alex." "Tentu tidak bisa. Kau tahu itu, Danen." "Kalau begitu hanya bisa dengan satu cara. Jika kau tidak bisa menutup mulut sialanmu itu. Aku akan benar benar membawamu pada Max." "Kau tak akan melakukannya, Danen." ejek Alex. "Kau meragukanku? Baik. Kita lihat saja. Seberapa berani dirimu itu." "Lihatlah dirimu, Danen. Apa kau benar-benar sudah jatuh cinta dengan dokter hewan mu itu?" "Jangan membual kau, Alex. Kau sungguh membuatku mual mendengarnya." "Oh ya? Tapi kenapa wajahmu terlihat berseri-seri? Bahkan terlihat sangat bahagia dimataku." "Mungkin itu karena kau belum memeriksakan matamu, Alex. Coba kau diperiksakan pada dokter, mungkin saja ada sedikit gangguan." "Sialan, mataku sehat, Danen." "Aku tidak peduli." Balas Danen sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Alex yang sedang mengumpat di belakangnya. "Aku benar-benar akan menghajarmu jika Aludra bangun karena ulahmu, Alex." Peringkat Danen tajam sebelum menghilang di lorong menuju ruang kerjanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN