Part 32

2215 Kata
*** "Ya, Aludra?" "Aku ingin minta izin bekerja setengah hari, Danen. Apakah boleh?" "Lagi?" Ya sudah satu minggu Aludra terus menerus meminta izin untuk bekerja setengah hari. Awalnya Danen merasa wajar namun dengan waktu satu minggu itu bukanlah hal yang wajar lagi bagi Danen. "Apakah bisa?" Suara itu sangat terdengar lelah dan putus asa. Danen menghela nafas sejenak, "Baiklah." "Terima kasih, Danen." "Hmm," Balas Danen lau memutus sambungan secara sepihak. Danen merasa ada yang tidak beres dengan Aludra. Maka pria jangkung itu memutuskan menelpon seseorang. Namun rencananya gagal ketika melihat dua cecunguk yang memasuki ruangan kerja di kantornya tanpa ketukan. Siapa lagi jika bulan Alex dan Bram. "Apakah kau sudah tahu tentang mama Aludra? Kasihan sekali dokter cantik itu," Alex berjalan dengan santai, duduk di atas sofa Danen tanpa minta izin sang pemilik. "Memang ada apa dengan mama Aludra?" Tanya Danen dengan acuh. Berdiri dari singgah sananya dan duduk di sofa singlenya. Kaki kanannya menendang kaki Alex saat pria itu hendak menaikkan kakinya ke atas meja. "Kau tidak tahu? Atau pura pura tidak tahu?" Selidik Alex dengan menyipitkan matanya. "Aku memang tidak tahu apapun. Katakan saja, Alex. Aku tahu kau pasti sudah mencari tahu tentang Aludra. Aku tahu bagaimana kau dan Bram yang menggosipkanku di belakangku. Seperti para betina di luar sana." Sindir Danen. "Sialan kau, Danen. Aku tak jadi memberitahumu." "Tak apa, tapi kau akan mendapat pekerjaan baru dariku?" "Tidak takut. Aku selalu bisa melakukannya." Sombong Alex. "Baik. Mulai besok kau yang bertugas memandikan kucing kucingku." Alex tertawa dengan keras." Hanya itu? hahaha sangat muda sekali, Danen." "Memang kau punya kucing?" Imbu Bram dengan curiga. Seketika tawa Alex berhenti. "Sebentar, Bram benar. Memang kau punya kucing?" Danen mengangguk santai."Ada dan mereka sangat menggemaskan." "Benarkah? Tapi kenapa aku tak pernah melihatnya, memangnya dimana mereka?" Tanya Alex penasaran. "Mereka ada di hutan." Seketiak Bram tertawa. "Aku yakin kau tak akan berani, Alex." Alex memicingkan mata, menatap Bram yang sedang menertawainya dengan tajam. "Jangan meremehkanku, Bram. Kau kira aku pengecut, huh. Hanya memandikan kucing saja tentu saja aku berani. Itu hanya seekor kucing, Bram. Pekerjaan yang sangatlah mudah," Ucap Alex tak mau kalah dengan bersedekap d**a. Bram hanya tertawa mendengarnya. Sebenarnya Alex ini bodoh atau pura-pura bodoh? Keduanya sama sekali tidak ada yang benar di matanya. "Kenapa kucing kucing tak di rawat di mansion saja, Danen?" "Mereka terlalu lucu untuk di letakkan di mansion." "Benarkah? Aku jadi ingin melihat mereka." "Kau sudah pernah melihat mereka." "Benarkah siapa?" "Max dan Felix." " Sialan kau, Danen. Bagaimana bisa kau menyebut mereka dengan sebutan kucing. Apa kau sudah gila. Mereka bukan kucing, sialan. Dan apa tadi, lucu? Cih, mereka sangatlah jauh dari kata lucu, Danen. Mereka hewan yang menyeramkan. Dasar psycho." Ucap Alex berapi api yang membuat Bram tertawa terpingkal pingkal. "Kau yang bodoh, Alex. Bagaimana bisa kau tidak menyadari perkataan Danen." "Kau yang bodoh, sialan." Desis Alex. "Sudahlah aku tak mau melihat dramamu lagi. Sekarang katakan informasimu itu." "Ini soal mama Aludra yang dirawat di Dirgantara Hospital. Mamanya sudah koma sejak lima tahun lalu dan yang membuat Aludra selama satu minggu ini izin kerja setengah hari karena mamanya dalam keadaan kritis. Dan Aludra selalu menemani mamanya walau hanya di luar." Jelas Alex. "Penyebab komanya?" "Masih simpang siur. Menurut gosip di rumah sakit. Mamanya mengalami kecelakaan tunggal dan kemudian dinyatakan koma." "Gosip? Oh ayolah Alex kau mulai bergosip untuk sebuah informasi. Aku meminta sebuah fakta bukan gosip, Alex." Ucapan Alex sukses membuat Alex mendengus kesal. "Aku juga masih menyelidikinya, Tuan besar." Sinis Alex dengan penekanan kata Tuan besarnya. "Tapi, Danen. Apa kau tidak merasa mengganjal. Tak mungkin Chandra hanya diam saja melihat mama Aludra dalam keadaan seperti itu." Benar apa Chandra tidak tahu hal ini? Namun sebuah fakta membuat Danen mendengus mendengarnya. "Kau lupa apa yang pernah pria tua bangka itu lakukan pada kedua orang tua ku? Bukan hal yang mengejutkan jikalau ia melakukan hal itu. Pria tua itu memang tidak memiliki perasaan." "Danen benar, Alex. Kau tau sendiri bagaimana Chandra bergonta ganti pasangan. Sama sepertimu." "Sialan kau, Bram. Tidak bisakah kau tidak membawa-bawa namaku?" Bram hanya mengedikan bahunya acuh. Toh apa yang dia katakan benar. Alex dan Chandra sama sama gila perempuan. "Bahkan saat perempuan yang melahirkan putrinya kritis pun pria tua bangka itu masih sibuk dengan el doradonya sendiri." Jelas Danen. Chandra masih berusaha keras mempertahankan tanah kedua orang tuanya itu. Padahal sudah jelas bahwa itu bukan tanah miliknya. Keserakahan benar benar sudah mendarah daging pada diri Chandra. Pria itu mungkin tidak akan berhenti sebelum mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dan tentu saja dengan merebut kekayaan milik orang lain. "Ada hal yang harus kau tau juga, Danen." "Tentang?" "Arga. Ternyata ia salah satu mantan bodyguard ayahmu juga. Salah satu kepercayaan ayahmu." Tanpa sadar Danen mengepalkan kedua tangannya. Dan tatapan matanya seketika menggelap. Hari ini dua fakta mengejutkan Danen. Mama Aludra yang koma. Ia pikir dulu ketika Bram mengatakan jika perempuan itu sering terlihat di Dirgantara hospital bukanlah hal yang penting. Namun ternyata fakta inilah yang disembunyikan Aludra dan sekarang Arga. Pria itu seorang kepercayaan ayahnya juga. Tak membayangkan bagaimana beratnya menjadi ayah Danen dahulu. Dikhianati dua orang kepercayaan bukanlah hal yang ringan. Lalu bagaimana ia bisa mempercayai perkataan ibunya. Ia harus belajar percaya dengan orang lain seperti percaya pada diri sendiri. Namun ia sendiri tahu bagaimana kedua orang tuanya meninggal karena di khianati orang yang paling mereka percaya. Bagaimana bisa Danen melakukannya? **** Danen melihat Aludra yang memasuki mansion dengan langkah gontai nya. Kantung mata yang sangat memprihatinkan dan wajah pucat perempuan itu sangat membuatnya merasa iba. "Kau terlihat sangat berantakan, Aludra." Aludra menoleh ke arah Danen dengan rasa bersalah. "Bisa bicara sebentar?" Aludra memberi angukan lemah sebagai jawaban. Danen berjalan menuju sofa ruang tamu yang diikuti oleh Aludra di belakangnya. Danen duduk dengan santai sedangkan Aludra hanya terus berdiri dengan wajah yang terus menunduk. "Ck. Duduklah, Aludra!" Aludra seperti tersentak mendengar perkataan Danen. Apa perempuan itu sedari tadi melamun? Aludra pun duduk di depan Danen. "Bisa jelaskan?" Danen menaikkan alisnya ketika Aludra dengan perlahan mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk lesu. Ia dapat melihat dengan jelas kerutan di kening perempuan itu. "Apa?" "Bisakah kau menjelaskan alasan mu beberapa hari terakhir ini bekerja setengah hari?" "Ada beberapa masalah yang harus ku urus, Danen. Jadi maaf jika aku hanya bekerja setengah hari." "Aku tidak membutuhkan maafmu, Aludra. Aku hanya butuh penjelasanmu." Hening. Pertanyaan Danen hanya terjawab dengan keheningan yang memenuhi ruang tamu mansion Danen. Membuat pria itu menggusurkan kelima jarinya ke rambut dengan gerakan gusarnya. "Aku bertanya, Aludra. Kenapa kau hanya diam saja?" "Bisakah kita tidak membahasnya, Danen. Aku lelah dan ingin segera beristirahat." "Maka jawab pertanyaan ku sekarang jika kau ingin segera beristirahat. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum pertanyaan ku mendapatkan jawabannya." "Danen…." "Jawab, Aludra." Tuntut Danen. "Baiklah," Balas Aludra setelah terdiam sejenak dengan beberapa pikiran yang berkecamuk memenuhi kepalanya. "Mama ku sedang kritis, jadi aku tidak bisa membiarkannya sendiri di rumah sakit tanpa ada seseorang yang menunggunya. Aku tidak tega meninggalkan mama ku sendiri, Danen." "Papamu?" Danen benar benar ingin tahu hubungan keluarga seperti apa yang dijalani Chandra dan Aludra. Aludra hanya diam membisu. Dengan wajah yang ditundukkan lagi. Membuat Danen berdecak lagi. "Aludra." "Bukankah pertanyaanmu itu terlalu privasi, Danen. Ini urusan keluargaku dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Tidak bisakah kita tidak usah membahasnya?" Walaupun Aludra berkata dengan pelan, namun hal itu cukup membuat Danen geram. Apakah sebegitu sayangnya Aludra pada Chandra hingga menutupi semua kejelekan papa nya itu? Apa untungnya untuk perempuan itu jika melindungi papa nya yang tidak tahu diri itu? "Baiklah. Aku akan memberimu keringanan bekerja sampai kondisi mamamu mulai membaik," Putus Danen. Hal itu sukses membuat mata Aludra berbinar. "Terima kasih, Danen. Aku tak tahu harus membalas seperti apa kebaikan mu ini." Ucap Aludra dengan senang. Memang apa yang bisa dibalas dengan hal itu? Ada ada saja perempuan ini. Tiba-tiba suara telpon menginterupsi keduanya. Aludra mengeluarkan handphone miliknya dan mengerutkan dahinya ketika melihat nama orang yang tertera di layar. Jivar❤ Semua itu tak luput dari penglihatan Danen. Ada sedikit rasa marah melihat id caller itu muncul di handphone Aludra. Kenapa harus ada emoticon love pada id caller nama itu. "Apa mau .asih berhubungan dengan psycopat itu?" Sindir Danen. Aludra menggelengkan kepalanya dan meletakan handphone itu di atas meja. Membiarkan handphone nya berbunyi sampai panggilan tersebut berhenti dengan sendirinya. Ia menyandarkan bahunya di sandaran sofa dengan menghembuskan nafas berat. "Ternyata kau orang yang memiliki hati setulus itu dalam mencintai orang, Aludra. Tak peduli sebanyak apa orang itu menyukaimu kau akan memaafkan terus menerus. Aku tak akan terkejut jika mendapat berita jika kau akan mati di tangan orang yang kau cintai." Kalimat pujian yang terdengar seperti sindiran untuk Aludra itu membuat perempuan itu terdiam dengan sendu. Betapa mirisnya kehidupan percintaannya. "Aku tak sebodoh itu, Danen." "Benarkah?" Ejek Danen. Dengan mata yang mengarah pada handphone Aludra yang berbunyi lagi dengan id caller yang sama. Membacanya saja membuat Danen mual. Aludra mengikuti arah pandang Danen. Dan dengan secepat kilat menekan tombol merah pada handphonenya dan mematikan handphone miliknya. "Apa ada lagi yang harus kita bahas, Tuan Danen?" Danen tak menjawab. Pria itu berdiri dari duduknya dan memutuskan pergi ke dapur untuk membuat s**u vanila sendiri. Tak masalah meskipun tak seenak buatan Aludra dan mamanya. Selesai dengan urusannya Danen kembali ke kamar namun langkahnya terhenti ketika melihat Aludra yang tertidur pulas diatas sofa dengan posisi yang sama seperti ketika Danen meninggalkan mereka ke dapur. Danen mendekat ke Aludra. Menatap wajah tenang yang penuh kelelahan di depannya. "Seberat itukah masalah yang menimpamu, Aludra?" Gumam Danen dengan tangan kanannya yang menyingkirkan helaian rambut Aludra yang menutupi wajah cantiknya. Wajah yang sama, yang ia lihat ketika ia bangun tidur beberapa minggu lalu. Danen merasa tersihir ketika melihat bibir merah tebal nanti kecil milik Aludra. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Aludra. Namun seketika kewarasan berhasil mengendalikan nya. Pria dewasa itu menghembuskan nafasnya sedikit kasar dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Danen meletakan tangan miliknya pada belakang leher dan lutut Aludra dan seketika kemudian beban Aludra berpindah pada Danen. Dengan perlahan, Danen mengangkat tubuh Aludra yang menurutnya sangat ringan dan membawanya menuju kamar. Sekesal-kesalnya ia melihat kebodohan Aludra, tetap saja ia tidak tega membiarkan perempuan itu tidur di sofa dengan keadaan yang sangat jauh dari kata nyaman. Danen meletakan tubuh kecil Aludra pada kasur dengan pelan. Menyelimuti perempuan itu sampai ke leher dan entah setan dari mana. Danen mengecup dahi perempuan itu. Sebuah tindakan yang membuatnya terkejut dengan dirinya sendirinya. Danen dengan cepat keluar dari kamar Aludra. Sebelum ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. *** "Bram, kau tahu. Semalam aku melihat sebuah drama romansa yang sangat mengerikan." Danen tetap konsisten dengan wajahnya yang datar mendengar perkataan Alex. "Sejak kapan kau menonton drama, Alex? Sangat menggelikan. " "Ini drama yang berbeda, Bram. Kau hanya bisa melihat adegannya sekali seumur hidup. " Alex berkata dengan wajah yang terus menerus melirik pada Danen. Danen yang mengetahui maksud Alex hanya memicingkan mata. Melemparkan tatapan tajamnya pada Alex yang masih terus meliriknya. "Tidak bisakah kau tidak berbelit-belit, Alex. Kau tahu, omong kosongmu itu sangat membuang-buang waktu berhargaku." Seketika Alex melepas tatapannya pada Danen dan berganti menatap tajam Bram, "Sialan, kau sangat tidak tahu terima kasih, Bram." "Untuk apa aku berterima kasih atas omong kosong yang kau katakan." "Ini bukan omong kosong, sialan." "Lalu apa? Angin lalu?" Alex memejamkan mata sejenak untuk menguasai emosinya. Berhadapan dengan manusia bernama Bram memang sangat membutuhkan kesabaran yang banyak. Ia pun menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. "Kau mau mendengarnya atau tidak?" "Tidak." Seketika Alex menendang kaki Bram. Memberikan kode pada pria tersebut dengan lirikkan matanya. Seketika Bram langsung tersadar dari kebodohannya yang tiba-tiba datang ketika mendapat sinyal dari kode yang Alex berikan padanya. "Katakan." "Tidak mau, bukankah perkataan ku ini hanya omong kosong?" "Sialan, cepat katakan, Alex. Jangan main-main kau." "Kau yang tidak mau mendengarkanku," Balas Alex acuh seraya menyadarkan punggungnya pada sofa. "Siapa suruh kau berbicara berbelit-belit. Kau tahu aku tidak suka itu." "Tidak bisakah kalian diam?" "Tidak!" Balas Bram dan Alex bersamaan. Kemudian keduanya saling menatap satu sama lain, sebelum sedetik kemudian saling memalingkan muka sambil berdecak. "Katakan, Alex." "Kemarin malam aku melihat drama yang sangat memuakkan. Awalnya pria itu marah karena tidak mendapat jawaban yang dia inginkan namun kemudian si pria merasa iba ketika melihat kekasihnya tertidur di sofa…." "Kekasih? Jangan membual kau, Alex. Kami tidak sedang menjalin sebuah hubungan, Alex. Jangan mengada-ada kau dan hentikan omong kosongmu!" "Memangnya apa aku berkata jika itu kau, Danen?" Seketika Danen tergelagap, namun dengan cepat ia menguasai mimik wajah paniknya, "M….maksudku…." "Maksudmu apa?" "Tidak ada maksud apapun!!" Tandas Danen sambil berdiri dengan kasar dan pergi meninggalkan Bram dan Alex yang terkekeh melihat kelakuan Danen tersebut. Teman sialan. Ia merasa tidak memiliki privasi di mansionnya sendiri. "Lanjutkan." "Sepertinya Danen mulai jatuh hati dengan Aludra." "Ya, itu bukan sepertinya lagi, Alex. Danen memang sudah jatuh cinta dengan Aludra. Dan dia belum menyadarinya." "Ya, kau benar. Aku melihatnya mencium dahi Aludra semalam." Bram membulatkan mata lebar-lebar mendengar penuturan Alex, "Benarkah?" Tanyanya tidak percaya. "Tentu saja, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." "Kau mengintipnya?" "Sedikit. Aku hanya menuntaskan penasaranku" ucap Alex dengan senyum yang menyebalkan. Bram menggelengkan kepalanya penuh ketidakpercayaan. Ini adalah kejadian yang sangat langkah. Dan Danen serasa menjadi orang bodoh dengan berdiri di balik tembok hanya untuk mendengarkan ucapan sahabatnya sekaligus anak buahnya yang menggosipkannya. Apa benar aku sudah jatuh cinta pada Aludra? Tidak mungkin dan tidak boleh terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN