Mya ingat setiap pagi mendiang ibunya selalu buatkan secangkir kopi untuk sang suami, saat Mya tanya kenapa—katanya agar mendiang ayahnya bisa lebih semangat menjalani aktivitas hari itu, kekuatan secangkir kopi itu sederhana, bentuknya juga sederhana, tapi begitu mengikat tali kasih antar sepasang suami istri, melambangkan jika sang istri benar-benar menghormati dan menghargai suaminya. Jadi, Mya sekadar mengacu tentang kata menghormati, alasan sederhana mengapa ia tak ingin mendengarkan permintaan Dewa semalam. Mya hanya ingin ibunya di surga melihat kalau ia belajar menjadi istri yang baik, belajar menghormati suaminya meski hubungan mereka entah harus dikatakan apa.
Malam ini Mya tidur nyenyak, ia baru berbenah untuk satu kopernya dan koper lain masih teronggok di dekat pintu kamar. Ia benar-benar tidur terpisah dengan Dewa, sekat untuk mereka dibuat sangat tebal—bahkan menandingi kaca tebal dalam kiasan, tapi bukan juga perihal dinding-dinding yang memberi jarak mereka, semua lebih pada keteguhan hati masing-masing untuk tetap melakoni semuanya sendiri—seperti sebelum terjadi apa pun di antara keduanya. Jadi, entah apa arti sebuah cincin pernikahan yang sesungguhnya bagi pasangan pengantin ini.
Aroma kopi hitam menguar dari arah pintu dapur yang terbuka lebar, Mya sudah bersiap hendak berangkat ke kantor tempatnya bekerja sebagai pimpinan marketing, ia begitu rapi dengan rok jenis a line merah serta atasan one-shoulder warna putih yang begitu pas menyentuh lekuk tubuhnya, tulang selangka Mya dibiarkan terlihat. Liontin berbandul matahari melingkari lehernya, rambut panjang berujung curly itu ia ikat tinggi tanpa poni, Mya tak pernah menyukai sebuah poni.
Kopi telah ia letakan di permukaan meja makan, kini ia angkat roti panggang dari toaster, memindahkannya pada piring ceper sebelum oleskan selai cokelat yang ia temukan di dalam kulkas. Sekarang baru pukul enam lebih, Mya sengaja bangun lebih pagi agar ia tak menemukan Dewa keluar dari kamar, sebab Mya benar-benar tak ingin menikmati rasa canggung berhadapan dengan makhluk itu.
Ia raih sling bag yang tergeletak di permukaan kursi dekat meja makan, semua urusan menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya telah usai. Mya lirik arlojinya sejenak, ia melangkah keluar dapur hampiri kamar Dewa, sepasang kaki berbalutkan wedges itu sudah terhenti di depan kamar Dewa yang tertutup rapat, tangan Mya sudah terangkat hendak mengetuknya, tapi dialog semalam melintas tiba-tiba dan membuat niat Mya gugur dalam sekejap.
Alarm untuk masing-masing, kan? Jadi, dia pasti nggak akan bangun kesiangan, dia udah lama tinggal di apartemen, kerja sendiri, dia pasti mandiri. Mya pikir semua itu benar, nanti Dewa akan bangun sendiri. Ia putuskan melangkah tinggalkan area apartemen yang baru ditinggalinya satu malam.
***
"Mama titip ini buat sarapan kamu, Mya." Seseorang masuk ruang kerja Mya tanpa mengetuk pintu lebih dulu, ia lantas duduk di depan meja kerja Mya dan meletakan sebuah tote bag di permukaan meja. Sosok itu bernama Sakti—teman dekat Mya sejak mereka masih kenakan seragam putih abu-abu, sempat berpisah selama lima tahun karena urusan kuliah, tapi sebuah kantor yang bergerak di bidang makanan ringan kembali mempertemukan keduanya. Sakti dengan pribadi baru, Mya pun begitu.
Mya tersenyum tipis tanggapi pemberian Sakti, kebiasaannya sebelum jam operasional kantor benar-benar berlangsung adalah mengecek dulu urusan pekerjaan kemarin, seperti sebuah PR yang harus Mya cek sebelum pelajaran dimulai. Ia begitu teliti dan hati-hati.
"Nanti kita bisa makan siang bareng, kan?" tanya Sakti tanpa ingin menyerah usik kegiatan perempuan di depannya.
"Ng—" Mya alihkan fokus dari map kuning yang ia buka. Makan siang? Nggak mungkin Dewa bakal ke sini dan ajak makan siang. Ia mengangguk sebagai jawaban untuk Sakti, seketika laki-laki 25 tahun itu meninju udara. "Kayak nggak biasanya makan siang bareng aja, terus ekspresi kamu selalu sama," cibir Mya, ia terlalu memahami kebiasaan Sakti.
"Ya senang aja, sekalipun jomlo nggak ada yang bakal ngatain jomlo. Tiap hari sama kamu terus, jadi kita sepasang jomlo yang bahagia," tutur Sakti begitu bangga, "lagian aku nggak peduli sama cewek lain di kantor ini, dekat sama kamu udah cukup, Mya."
Mya tersenyum canggung. Jomlo yang bahagia, aku harap masih menyandang status itu, Sak. Maaf nggak bisa jadi sahabat yang terbuka, nanti kamu akan tahu sendiri. Rasa nyeri menyerang ulu hatinya, bukan sebab Mya yang tak pernah sarapan setiap akan berangkat kerja, tapi nyeri sebab kebohongan yang terlihat nyata, untungnya cincin itu sudah tak melingkari jemarinya lagi meski status masih sama.
"Jomlo yang bahagia," ucap Mya menirukan suara Sakti, perempuan itu merasa jika status lamanya lebih menyenangkan. Mungkin saja.
"Oke, kalau gitu aku mau balik ke ruang kerjaku, jangan lupa bekalnya mama dimakan, ya, Mya." Sakti beranjak usai melirik arlojinya, ia keluar tinggalkan tempat itu, hampir setiap hari Sakti membawakan sarapan yang dibuatkan ibunya untuk Mya, sosok wanita yang selalu ingin menjadikan Mya sebagai putrinya di masa depan, hanya saja harapan itu mungkin sebuah angan tak tergapai—jika nanti ibunda Sakti benar-benar tahu segala pelik yang menimpa teman dekat putranya.
Mya raih tote bag dari meja, ia keluarkan kotak bekal berisikan dua potong sandwich, menatapnya sejenak sebelum Mya tutup lagi. Seringnya ia makan bekal yang dibagi Sakti sekitar pukul sepuluh, saat perutnya mulai meronta dari dalam. Mya membeku sejenak, ia jadi teringat sarapan pagi yang dibuatkannya untuk Dewa. Mungkinkah Dewa akan memakannya? Meminum secangkir kopi penuh rasa hormat yang Mya buat?
***
"Bareng, yuk! Aku antar kamu pulang," ajak Sakti yang baru saja menghentikan mobilnya di sisi Mya, perempuan itu duduk di kursi halte sendirian, beberapa rekan kerja yang lain juga sudah menawarinya tumpangan saat mereka lewat, tapi Mya menolak dengan halus. Lantas kali ini Sakti ikut serta menawarkan, biasanya Mya sudi menerima.
Mya beranjak hampiri mobil Sakti, ia membungkuk di dekat jendela sisi kiri yang telah Sakti luruhkan. "Eum, nggak usah, deh. Aku udah telanjur pesan taksi online. Kamu duluan aja nggak apa-apa."
"Oh, serius nih nggak mau?" tawar Sakti lagi, tapi anggukan Mya membuatnya kecewa dan terpaksa mengalah, alhasil ia kemudikan mobilnya dan biarkan kursi penumpang tetap kosong, padahal biasanya Mya duduk di sana.
Perempuan itu menarik napas panjang, ia mundur dan kembali duduk di halte, tangannya keluarkan ponsel dari sling bag dan buka aplikasi taksi online, ia bahkan baru memesannya sekarang. Arah angin yang berubah rupanya telah menggoyahkan separuh isi pikiran Mya, ia merasa harus menjaga perasaan seseorang—meski sosok itu entah memikirkannya atau tidak, Mya hanya ingin menanamkan sikap yang layak sebagai seorang istri. Akan lucu jika Sakti mengantarnya pulang, terlebih Sakti tak tahu kalau Mya sudah pindah ke apartemen dan tinggal satu flat dengan laki-laki yang kemungkinan takkan menjemput istrinya, untung saja taksi online telah datang. Mya beranjak hampiri mobil yang baru saja menepi di dekat halte.
Gimana kalau aku anggap kehidupan baru ini hanya alam ilusi, nggak usah dianggap terlalu serius. Mya membatin saat bola matanya mengarah perhatikan keadaan di luar jendela dari mobil yang kini melaju.
***
Pintu utama apartemen Dewa terbuka menampilkan sosok perempuan yang kini mendudukan tubuhnya di sofa ruang tamu, sandarkan punggung pada bahu sofa seraya menengadah tatap langit-langit tempat itu, ia hela napas berkali-kali relaksasikan tubuh lelahnya. Mya yakin kalau Dewa belum pulang, mereka bahkan tak bertukar kabar lewat sebuah chat sekadar menanyakan keadaan masing-masing, terdengar lucu bukan?
Mya letakan sling bag di permukaan meja, ia juga lepaskan wedges dari kaki-kakinya dan putuskan mengganti benda itu dengan sandal jepit yang tersedia di dekat meja, akhirnya Mya bisa beranjak kali ini. Ia melangkah hampiri dapur, tapi langkahnya terhenti begitu sampai di ambang pintu, sesuatu yang ia lihat membuat sensor motoriknya langsung kaku. Benarkah semua itu?
Secangkir kopi yang ia buat dan setangkup roti panggang berselai cokelat masih utuh di permukaan meja makan, tubuhnya kini bergerak pelan hampiri meja makan, ia tarik kursi dan duduk di depan makanan yang harusnya menjadi sarapan pagi suaminya—kini semua telah dingin. Tubuh Mya terasa lemas melihat semua itu, bahkan Dewa sama sekali tak menyentuhnya, apa Dewa tak masuk dapur hari ini? Atau Dewa sengaja meninggalkan sarapan pagi pertama yang dibuat istrinya?
Baiklah, goresan kecil muncul dengan jelas, cukup membuat Mya rasakan sesak. Ia lipat tangannya di permukaan meja, meletakan kepala di sana dengan posisi kepala menghadap ke kiri, rupa perempuan itu kini melankolis.
Dia nggak nyentuh kopinya sama sekali, dia juga nggak sarapan. Dia nggak mau makan sesuatu yang aku buat? Tapi, kenapa? Aku ini istrinya, benci atau enggak—kami udah menikah. Air mata pertama Mya untuk Dewa tiba-tiba meluncur, apa ia tengah diolok-olok atas tekadnya menjadi istri yang baik kali ini? Bu, sikapku udah benar, kan? Ibu pasti di sana bisa lihat, kan? Mya berusaha menjadi istri yang layak, tapi sikap Dewa begini, Bu. Rasanya Mya ingin lenyap dari bumi.
Mya angkat kepala, duduk dengan posisi yang benar seraya usap air mata di wajah. Ia beranjak seraya raih secangkir kopi yang masih utuh, dingin—sedingin sikap Dewa. Mya buang minuman itu pada tempat cuci piring, ia nyalakan kran air sebelum mencuci cangkir yang kini kosong.
Mya mengangguk pelan beberapa kali, usaha pertamaku gagal, Wa. Aku nggak akan nyerah kok, ini hanya bukti kalau aku menghargai siapa pun kamu, bagaimana kamu dan semua terserah kamu. Masih banyak cangkir kopi lain. Ia masih bisa tegar dan meyakinkan diri untuk hal positif lainnya. "Semangat, Mya!" Ia masih sanggup melukis senyum kecil di wajahnya, sebuah harap sederhana dari seorang istri yang mencoba semua pasti baik-baik saja.
***
A/N :
Gimana pendapat kamu tentang Mya sama Dewa?