HONEYMOON?

1603 Kata
"Mya, ada yang nungguin tuh di lobi," celetuk Aira—salah satu karyawati divisi marketing yang baru saja melewati Mya, perempuan itu baru saja keluar dari lift bersama beberapa rekan kerja—termasuk Sakti juga, ada sekitar enam orang hendak melangsungkan makan siang di luar. Mya mengernyit, ia belum berpikir lebih jauh perihal siapa yang mencarinya, tapi saat langkah Mya terus berlanjut dan menemukan seseorang duduk di sudut sofa lobi seraya memainkan ponselnya—membuat Mya berhenti, lima temannya lantas ikut berhenti—menoleh pada Mya yang kini membatu, ia tak ingin mempercayai indra penglihatannya sekarang, tapi Mya yakin ia sedang tak bermimpi. "Kamu kenapa, My?" tanya Sakti, ia satu di antara dua laki-laki lain, sisanya Mya dan Melody. "Iya, lo kenapa? Lihat setan?" Melody menyusul bertanya, ia tatap keadaan sekitar dan menemukan laki-laki di sudut sofa, tapi selama tiga tahun karirnya bekerja di tempat itu—baru pertama kali Melody melihat sosok itu. "Dia siapa, ya?" Sakti serta teman lain mengikuti telunjuk Melody, satu pun teman Mya tak ada yang mengenali sosok itu. Mya menarik napas panjang, ia rasa kegugupan menyerang, terlebih saat Dewa beranjak dari duduknya usai melihat Mya berdiri tak jauh dari kubikel resepsionis. Dewa melangkah hampiri mereka sebelum tangannya terulur tepat di depan Mya, mengajaknya bergandengan. Semua orang lantas menoleh pada Mya, perempuan itu terlihat seperti patung, hanya diam seraya menatap lurus manik mata Dewa tanpa mengatakan apa-apa. Ia akui rasakan syok, tapi tak lucu jika dipertontonkan di depan rekan kerjanya. "Ayo, kita makan siang bareng," ajak Dewa hanya menatap wajah istrinya seolah tak ada manusia lain di sekitar Mya. Mya yakin ia tak sedang bermimpi, ia sudah bangun sejak pukul lima meski semalam baru terlelap pukul satu—sebab ia yang pulang tengah malam, tapi tak ada komentar apa pun dari suaminya, mereka bahkan bertemu di lobi apartemen. Saat pagi tiba pun Mya tak dapati Dewa keluar dari kamar seperti hari-hari sebelumnya hingga ia berangkat kerja. Mya sungguh tak pernah menyangka akan kehadiran Dewa di tempatnya bekerja siang ini. Apa Dewa salah meminum sesuatu? Apa ia sedang mabuk, atau Dewa membutuhkan sesuatu? "Dia siapa, My?" tanya Sakti, ia mulai gemas melihat pemandangan semacam itu di depan matanya, si laki-laki asing yang kini tersenyum tanpa melepaskan tatapan dari Mya serta pertahankan uluran tangan, serta Mya yang diam tanpa bereaksi apa-apa. Oh, ayolah, mereka bukan menjalani adegan film dengan scene diulur-ulur cukup lama agar penonton lebih meresapi perasaan dari adegan yang berlangsung. "Mya, makan siang bareng," ucap Dewa lagi, kali ini ia berhasil memecahkan lamunan istrinya. Mya lirik teman-temannya, mereka semua tampak kebingungan dan menunggu adegan apa lagi yang bisa terjadi berikutnya. Apakah Mya akan meninggalkan laki-laki asing itu karena tidak mengenalnya? Lebih tepatnya pura-pura, ataukah Mya akan membalas uluran tangan Dewa dan memublikasikan hubungan pernikahannya pada mereka semua? Tatapan Mya masih terpenjara dalam iris pekat milik Dewa, mereka sama-sama mengunci dan tak biarkan orang lain menerobos. Mya menelan ludah, ia tatap uluran tangan Dewa sebelum mengangkat tangan kanannya yang kosong, menyelipkan jemarinya di antara buku-buku jari milik Dewa. Sekarang terjawab sudah pertanyaan di kepala teman-temannya meski muncul lagi pertanyaan lain, hanya saja mereka tak bisa menemukan jawaban saat sosok asing itu mengajak Mya pergi dari sana tanpa berkata apa-apa. "Kira-kira itu cowok siapa, ya? Gue kira si Mya kan nggak punya pacar." Melody lirik Sakti, laki-laki itu terus menatap punggung Mya yang menjauh hampiri area parkir, sebuah motor berada di sana, membawa Mya dan laki-laki asing tadi semakin jauh hingga Sakti tak mampu melihatnya lagi. "Eh, Sak. Lo kan sering banget sama si Mya, lo pasti tahu cowok tadi siapa, kan?" Sayangnya, Sakti menggeleng, jawaban yang membuat semua orang semakin bingung. *** "Gue bukan tukang ojek, jangan pegang pundak," ucap Dewa begitu motor yang dikemudikannya menjauh dari area tempat kerja Mya. Awalnya tangan perempuan kanan perempuan itu berada di pundak Dewa, ia duduk menyamping saat rok pencil yang digunakannya membatasi ruang gerak, alhasil perkataan Dewa membuat istrinya luruhkan tangan—berganti posisi untuk memeluk perut Dewa dengan satu tangannya, meski ragu dan begitu canggung, tapi Mya terpaksa melakukannya, terserah apa tanggapan Dewa setelah ini. Toh, laki-laki itu tetap diam tanpa protes apa pun, ia justru naikkan kecepatan motor dan rasakan kecemasan seseorang di belakangnya saat mencengkram kemeja milik suaminya. Dewa menunduk sejenak tatap tangan kanan Mya di bagian perut sisi kiri, ia lirik spion amati sosok yang pertama kali duduk di belakangnya—bahkan setelah mereka menikah. Jika saja hubungan mereka lebih normal seperti suami istri kebanyakan, mungkin Mya bisa duduk di jok motor belakang milik Dewa setiap hari, laki-laki itu akan sudi mengantarnya ke mana saja. Sayangnya, skenario yang tertulis sangat bertolak belakang. Menjadikan mereka sepasang asing yang dipaksa saling mengerti satu sama lain. Motor akhirnya menepi di pelataran sebuah kafe yang tak jauh dari tempat kerja Mya berada, keduanya lantas turun, Mya lepaskan pengait helm sebelum letakan pelindung kepala yang dipakainya tadi ke permukaan jok belakang, ia lirik Dewa sebelum alihkan pandang saat sang suami membalas tatapannya. "Ayo, masuk," ucap Dewa. Kali ini tak ada tarikan tangan seperti saat di kantor tadi, sikap hangat Dewa yang dihiasi lengkung wajah tak lagi terlihat, Mya mulai menerka-nerka tujuan laki-laki itu datang tiba-tiba ke kantor tanpa memberitahu alasannya. Namun, bibir Mya sulit untuk berbicara sekarang. Ia paksa sepasang kakinya melangkah ikuti Dewa. Laki-laki itu memilih meja kosong di sudut kafe, sepertinya ia menyukai bagian sudut, saat Mya menemukannya bersama Marisa tempo hari pun mereka berada di sudut kafe. Ah, jika mengingatnya lagi jelas membuat luka yang belum mengering itu kembali basah secara utuh. "Mau makan apa?" tanya Dewa saat istrinya duduk di seberang, bukan di sebelahnya, padahal sofa di sisi sangat kosong, pas untuk duduk berdua. Lucu, jarak mereka benar-benar terbentang luas meski saling berhadapan. "Apa aja asal rendah lemak," sahut Mya, ia menunduk saat Dewa menatapnya dingin. "Kentang goreng, mau?" Sebuah anggukan menjadi jawab sederhana bagi pertanyaan Dewa, laki-laki itu lantas memesan makanan pada pramusaji yang datang, hanya sepiring kentang goreng, segelas americano panas serta jus melon—yang entah disukai Mya atau tidak, Dewa sudah memutuskannya sendiri. "Gue ngajak lo ke sini bukan tanpa sebab, gue nggak mungkin ngelakuin sesuatu tanpa alasan." Mya menatapnya. "Bilang aja." "Tadi papa telepon, dia minta kita berdua datang ke rumah setelah pulang kerja. Katanya ada yang mau dibahas sama mereka, gue nggak tahu apa. Lo bisa, nggak?" "Bisa." Kali ini Dewa diam, ia lebih senang mengurusi chat dari nomor berlambang love ketimbang mengajak lagi istrinya berbicara. Sepuluh menit selanjutnya pesanan datang, kening laki-laki itu mengernyit saat melihat istrinya meraih sebatang kentang goreng, ia dapati sesuatu asing di sana, tapi lebih asing lagi saat terpasang di jari manis Mya. "Cincin lo di mana? Dibuang?" Mya menghentikan kunyahannya. "Aku lepas, ada kok di kamar. Kamu juga nggak pakai, jadi aku pun berhak." Dewa berdecak, pertanyaannya memang cukup konyol, ia sendiri juga tak memasang cincin pernikahannya, jadi kenapa harus bertanya jika jawabannya pun sudah Dewa ketahui. "Lo simpan di sebelah mana? Nanti pulang kerja gue jemput lagi di kantor, tapi gue harus ambil cincin lo sama punya gue dulu, jadi tunggu aja. Nggak mungkin kita nggak—" "Aku paham," sela Mya, "kamu bisa ambil di laci dekat ranjang, ada tempat cincin di sana." *** "Makan yang banyak, Mya." Paramitha—ibu Dewa—begitu semangat mengambilkan nasi serta lauk untuk menantunya, ia berdiri di dekat Mya. "Makasih banyak, Ma." Perempuan itu tersenyum hangat, di balik meja makan hanya ada empat orang manusia. Dua kakak laki-laki Dewa tak lagi tinggal di rumah itu sejak mereka miliki keluarga kecil masing-masing, sebenarnya Cokro serta Paramitha selalu mendesak Dewa agar ia dan Mya tinggal di rumah saja, menjadi pengisi lebih banyak serta teman orangtuanya, tapi Dewa keukeuh agar ia dan Mya tinggal di apartemen saja. Lagipula jika Dewa mengikuti keinginan orangtuanya, bukankah hubungan tak harmonis antara ia dan Mya bisa cepat terbongkar? Ia akan sulit menemui Marisa lagi. "Mya, Dewa perlakukan kamu dengan baik, kan?" Kali ini Cokro yang berbicara, sang istri beralih mengisi piring milik Dewa sebelum melangkah hampiri kursi sendiri—di sebelah suaminya. "Iya, kok, Pa." Mya lirik Dewa yang sibuk memakan masakan ibunya, ia terlihat tak acuh. "Kalau Dewa bikin masalah, langsung aja bilang ke papa, ya. Dia memang lumayan susah buat diatur," tutur Cokro lagi. "Coba aja Mya mau di sini, pasti kita bisa pergi ke mana sama-sama, sepi banget cuma tinggal berdua, lainnya pembantu," keluh Paramitha, ia tatap Mya dan putranya bergantian. "Ngomong-ngomong kenapa kalian enggak bulan madu, ya?" Seketika Dewa dan Mya tersedak bersamaan, mereka segera meneguk air putih yang tersedia. Pertanyaan Paramitha benar-benar miliki efek mengejutkan yang luar biasa. Honeymoon? Satu kata yang tak pernah terlintas di kepalanya, dan ia yakin jika Dewa juga rasakan hal sama. "Kalian ini kompak banget, ya. Kalau kalian enggak berangkat honeymoon sekarang, kapan lagi? Apa mau mama kalian nanti tinggal di apartemen?" Cokro menatap anak-anaknya, andai saja ia tahu kondisi asli kehidupan Dewa dan Mya, mungkinkah Cokro akan menyarankan hal yang sama? "Iya, kalian mau ya kalau mama tinggal di apartemen? Ini mama serius lho kasih ancaman, kami mau kalian lekas bulan madu," imbuh Paramitha, kedua tangannya sibuk mengisi piringnya. "Tapi, aku sama Mya itu sibuk urusan kerja. Jadi, kita belum bisa kalau harus—" "Papa udah siapkan tiketnya, soal akomodasi buat perjalanan kalian berdua juga udah clear semua. Jadi, kalian tinggal berangkat aja. Papa bisa kasih cuti Dewa di kantor, papa juga bisa hubungi atasan Mya setelah ini. Jadi, kalian cuma tinggal berkemas dan berangkat ke Barcelona," sela Cokro membuat Mya dan Dewa mendelik tak percaya. "APA? BARCELONA?" sahut Mya dan Dewa bersamaan. *** Yuk melipir ke Barcelona sebentar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN