Saat ini seorang wanita paruh baya menatapku dengan senduh, ia menunduk sesaat dan mengusap wajahnya, seolah ia sudah tahu apa yang terjadi padaku sehingga aku tiba di kampung halamanku. Ummi datang dan memelukku, aku membenamkan wajahku di bahunya. Aku berusaha menahan tangis yang sejak tadi sudah berusaha tidak aku perlihatkan pada orang lain, luka dan pilu hatiku biar aku yang merasakan.
Ummi mengelus punggungku, hal itu membuatku akhirnya luruh begitu saja, kekuatanku goyah dan aku tidak bisa lagi menahannya, aku sudah berusaha untuk menahannya namun alasan Ummi di punggungku membuat hatiku seolah tercabik-cabik.
Aku akhirnya menangis di bahu Ummi. Ku benamkan wajahku di bahu Ummi dan aku menangis sesenggukan sampai membuat baju Ummi basah di bagian bahu.
Setelah Ummi melepas pelukannya, Abi datang dan memeluk lalu mengelus rambutku yang aku ikat asal. Karena perjalanan yang cukup panjang.
"Ayo duduk dulu," kata Ummi. Aku lalu duduk dan menatap keduanya secara bergantian aku belum bisa menjelaskan apapun saat ini hatiku masih gundah dan terluka.
"Maafin Syafa, Ummi, Abi." Aku menunduk.
"Kamu tidak usah minta maaf nak. Apapun yang terjadi dan masalah apapun yang telah kamu hadapi, berdoalah pada Allah agar kamu diberi kekuatan. Ummi dan Abih nggak akan bertanya ada apa kamu pulang kemari tiba-tiba dan kenapa kamu tidak menghubungi kami. Ummi dan Abih akan selalu menjadi rumahmu untuk pulang."
Mendengar hal itu aku kembali menitihkan air mata. Siapa yang tidak akan luruh ketika tiba di rumah orang tua kandungnya.
"Maafin Syafa, Ummi, Abih. Syafa ditalak oleh Mas Fikram."
"Astaghfirullahaladzim. Fikram menjatuhkan talak? Fikram mudah menjatuhkan talak. Apa kalian ada masalah?"
"Hubungan kami memang sudah lama nggak baik-baik saja, Ummi, Abih. Karena aku yang belum bisa memberikan keturunan kepada Mas Fikram."
"Tapi kan bisa dibicarakan baik-baik. Kenapa harus langsung ada perceraian?"
"Ada masalah yang aku gak tahu harus dibicarain apa gak, Ummi. Tapi intinya Syafa gak bisa beri keturunan pada Mas Fikram." Aku menundukkan kepala, aku tidak tahu apa harus cerita hal yang sebenarnya atau tidak.
"Apapun masalahnya Ummi dan Abah akan selalu memahamimu, Nak." Ummi mengelus punggungku lagi. Airmataku tiba-tiba lagi luruh. Sentuhan Ummi dan tatapan Abah yang tak bisa membuatku kuat.
"Jangan menangis jika ini terjadi pada pernikahanmu artinya kamu memang ditakdirkan untuk merasakan hal ini, namun kamu harus yakin nak kebahagiaan pasti akan datang entah itu lewat dari mana saja. Ummi sama Abih nggak kecewa sama Syafa."
"Tentu saja tidak kecewa, semua ini kan sudah takdir dari Allah subhanahu wa ta'ala, semua hal tidak bisa kita realisasikan sendiri jika tidak ada izin dari Allah," sambung Abih menatapku penuh haru.
"Maafin Syafa, Ummi, Abi, karena selama ini Syafa nggak pernah kemari setelah menikah dengan Mas Fikram. Syafa juga gak pernah dengerin Ummi dan Abi yang menyuruh Syafa jangan ninggalin karir Syafa."
"Syafa, semuanya sudah terjadi, Nak, tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi selain berpasrah kepada Allah. Karena semua ini adalah ujian dari-Nya dan hanya Allah yang dapat Melepaskanmu dari ujian ini. Ummi sama Abi hanya ingin kamu dekatkan diri pada Allah dengan mulai untuk menutup aurat."
Aku tertegun mendengar perkataan Ummi dan Abih. Memang benar selama ini aku lupa pada sosok yang selama ini memberiku kekuatan, yaitu Allah. Saking menikmati hari dimana aku menjadi istri, aku sampai lupa siapa yang memberikanku napas dan kekuatan.
"Apa yang harus Syafa lakukan, Ummi, Abih?"
"Sekarang kamu istirahat dulu. Jangan lemah ya, Nak. Semua udah diatur Gusti Allah. Jadi, kuatin diri kamu."
Aku mengangguk, setelah berbincang panjang lebar dengan Ummi dan Abih. Aku masuk ke kamarku, kamar yang sudah lima tahun ku tinggalkan, semenjak menikah dengan Mas Fikram aku tidak pernah pulang kemari, bahkan melihat kamarku yang dulu membuatku rindu untuk menuju ke pulau kapuk.
Beberapa saat kemudian, Ummi datang dan melebarkan senyum diwajahnya. Aku merasa tenang dan damai setiap kali melihat senyum surgaku ini.
"Maaf ya. Ummi ganggu, Ummi mau bawain ini buat kamu," kata Ummi memberikan seperangkat alat sholat buat aku. Aku tersenyum dan mengangguk.
Setelah menerima seperangkat alat shalat dari Ummi, Ummi hendak meninggalkanku, tapi ku raih tangannya dan menariknya lembut untuk duduk di tepi ranjang.
"Ada apa, Nak?" tanya Ummi menatapku.
"Ummi, sebenarnya ada alasan mengapa Mas Fikram menjatuhkan talak padaku." Aku menunduk tak sanggup melihat tatapan Ummi.
"Memangnya ada masalah apa, Nak? Apa sebenarnya alasannya?" Ummi menatapku seolah ia tahu apa yang terjadi. "Fikram mendua?"
Aku membulatkan mata dan menatap wajah Ummi yang sudah menua. Aku tidak tahu apakah kabar ini baik-baik saja menurut Ummi. Aku tidak mau mengecewakan mereka.
"Ummi tahu dari mana?" tanyaku heran.
"Ummi pasti tahu alasan sebenarnya, Nak, apalagi ini menyangkut putri Ummi, jujur Ummi sudah tahu kalau kamu pulang karena lagi ada masalah, salah satu alasannya adalah Fikram mendua kemungkinan."
Aku menitihkan airmata ternyata Ummi merasakan apa yang ku rasakan, terlalu sulit untuk menerima semua ini, namun takdir Allah adalah yang terjadi.
Sekarang Tenangkan perasaanmu dan Jangan memikirkan apapun Umi tahu ini berat bagi kamu tapi jika kamu tidak melalui semua ini kamu tidak akan pernah bisa bangkit Umi dan Abi di sini adalah rumahmu
Aku kembali membenamkan wajahku di bahu Umi aku kembali menangis Ini berat air mataku selalu saja mudah untuk aku tumpahkan mungkin karena terlalu sesak di dalam sana setelah apa yang aku lalui aku ternyata salah memilih
"Yang sabar ya, Nak. Semuanya adalah takdir Allah, tidak ada yang bisa kita lakukan sebagai manusia."
"Terima kasih ya, Ummi, udah memahami perasaan Syafa."
"Kamu istirahat dulu ya nanti kalau udah waktunya makan malam, Ummi panggil."
Aku mengangguk, Ummi lalu bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkanku.
Bagaimana selanjutnya? Apa yang harus ku lakukan? Apakah aku harus kembali bekerja? Aku tidak mungkin menjadi beban Ummi dan Abih di sini.
Aku akan membantu keuangan mereka. Ummi dan Abih juga hidup karena gaji dari pesantren. Abih adalah salah satu guru di pesantren milik Pak Darussalam yang ada disebalah rumah. Sementara Ummi adalah kepala tata usaha. Mereka menerima gaji setiap bulan. Sementara aku masih punya adik perempuan yang berusia 23 tahun.
Adikku meraih pendidikannya dan kini sudah lulus kuliah, dan menjadi salah satu guru di pesantren tempat Abih dan Ummi bekerja.
Aku harus membantu mereka. Aku tidak boleh menjadi beban di sini.