Terlilit Hutang

1106 Kata
“Maafkan Syafa, Paman, Bibi,” ucapku. “Kenapa kamu yang minta maaf, Nak? Yang harusnya minta maaf itu Nada, bukan kamu,” geleng Ummi yang tidak terima. “Nada yang sudah merebut suamimu, ini lah yang Ummi takutkan terjadi, dulu kamu selalu saja membela Nada, padahal Ummi dan Abih tak pernah mengizinkan Nada ikut kalian ke Jakarta, tapi kamu ngotot dan mengatakan bahwa itu semua tak masalah.” Ummi yang sejak 4 bulan lalu menahan amarah, kini telah mengeluarkannya, terdengar napas Ummi yang memburu. Aku menunduk, semua yang Ummi katakan memang benar, dulu Ummi dan Abih yang paling tak setuju kalau aku membawa Nada ke Jakarta, hanya saja rasa sayangku kepada Nada yang membuatku harus melanggar perkataan Ummi dan Abih. Namun, semua sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menerima semua yang terjadi, meskipun Ummi marah itu tidak akan membuat aku kembali kepada Mas Fikram. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ponsel Paman. Paman segera melihat layar ponselnya dan melihat wajah kami bergantian. “Siapa, Pak?” tanya Bibi menatap Paman. “Ini Nada,” jawab Paman. “Ayo angkat, Ibu mau ngomong sama dia,” kata Bibi. “Tapi—” “Udah angkat aja,” kata Bibi merebut ponsel Paman dan langsung menekan tombol hijau. ‘Halo? Kamu kemana aja, Nada? Kamu udah lupa sama Ibu sama Bapak?’ tanya Bibi. ‘…..’ ‘Apa? Kamu mau pulang ke kampung?’ tanya Bibi dengan mata membulat, lalu menoleh melihatku dan melihat Ummi bergantian. ‘…..’ ‘Bersama suamimu?’ ‘…..’ ‘Ndak apa-apa nak, Ibu malah senang kamu mau pulang.’ ‘…..’ ‘Jadi, kamu mau lahiran di kampung?’ ‘…..’ ‘Ya udah. Ibu akan siapin semua keperluan kamu.’ ‘…..’ ‘Iya, Nduk. Udah dulu ya, nanti Ibu sama Bapak telepon lagi,’ kata Bibi lalu menoleh menatapku. “Apa katanya, Bu?” “Nada dan suaminya mau datang, katanya mau lahiran di sini.” “Apa? Syukurlah kalau Nada mau balik,” ucap Paman yang sudah sangat merindukan Nada. “Apa kamu bilang? Suaminya Nada? Itu suaminya Syafa, Gun, Sul. Kalian mendukung anak kalian kayak gitu kah?” tanya Ummi. Aku segera memegang lengan Ummi agar tidak marah karena hal ini, meskipun marah juga sudah tidak ada gunanya. Meskipun pilu hatiku tidak akan pernah sembuh semudah itu apalagi melihat Nada dan Mas Fikram akan tinggal di sini seraya menunggu kelahiran anak Nada. Dulu, Mas Fikram tidak pernah mau mengikuti keinginanku pulang ke kampung, namun bersama Nada sepertinya semuanya berbeda. Ku tatap wajah Ummi yang kini kembali menahan amarah. “Gun, Sul, kalian ini harus ajarin Nada yang bener. Dia itu dibawa ke Jakarta sama Syafa bukan untuk merebut suaminya Syafa.” Ummi melanjutkan. “Terus mau gimana lagi, Mbak? Ndak bisa lagi kami ngomong apa-apa. Syafa aja yang ndak bisa jaga suaminya.” “Apa? Kamu menyalahkan Syafa? Apa maksudmu?” “Fikram itu ndak akan diambil oleh Nada kalau Syafa bisa jagain suaminya.” Bibi mengatakan hal itu dan tidak pernah tahu yang sebenarnya, kenapa peran orangtua tidak bisa diperankan oleh Paman dan Bibi? Nyatanya Nada yang salah, kenapa malah menyalahkanku? “Apa hakmu menyalahkan Syafa? Kamu ingat kan dulu, Syafa itu sayang sekali sama Nada, dia menganggap Nada seperti adiknya sendiri, tapi ini balasannya?” “Udah ya, Mbak. Bukan hanya Mbak yang pengen punya menantu, tapi kami juga pengen punya menantu,” sambung Bibi tanpa rasa bersalah sama sekali. Hatiku makin sakit, Bibi dan Paman yang ku anggap orangtua selama ini malah membenarkan perbuatan anaknya. “Sudahlah ayo pulang, Bu. Kita siapkan banyak hal untuk kedatangan anak dan menantu kita,” kata Guntur bangkit dari duduknya. “Oh iya, Mbak, Syafa. Boleh minta tolong gak? Kami kan mau menyambut kedatangan Nada, kami bisa pinjam uang sejuta gak? Mau beli kelengkapan bayinya soalnya. Sama siapin makanan enak.” Bibi mengatakan itu seolah aku tidak marah atas perbuatan Nada, ia meminta tolong pada kami untuk anak yang sudah merebut suamiku? Apa maksud Bibi ini? “Ndak tahu malu sekali kalian ya, membenarkan perbuatan putri kalian lalu mau meminjam uang kepada kami?” Ummi mulai naik tanduk. Sejak tadi Ummi mau marah, tapi selalu ku tahan dengan menggenggam lengannya. “Sudahlah, Mbak. Mau gimana lagi, ndak ada yang bisa kami lakukan juga, semua sudah terjadi, walaupun Mbak marah sekarang kepada kami, tapi itu ndak akan berubah semuanya.” Paman melanjutkan. “Setidaknya jangan tunjukkan kebahagiaan kalian karena memiliki menantu didepan kami, kalian ndak tahu kan kalau semua ini menyakitkan bagi Syafa dan keluarga ini? Apa kata tetangga nanti? Kalian ndak ada malu kah?” “Sejak dulu keluarga kami memang miskin, keluarga kami selalu menjadi bahan omongan kampung sini, tapi kami ndak pusing mbak. Semua terserah kalian saja. Buktinya selama empat bulan kita bertetangga, tapi ndak ada loh kami nampak Syafa di kampung ini. Lagian udah 4 bulan kan? Sudah waktunya Syafa bangkit.” Begitu mudahnya Bibi mengatakan hal itu padaku. Dia menyuruhku bangkit sementara lima tahun itu gak mudah. Kenapa semua ini terjadi kepadaku? Apa salahku? Kenapa dunia sangat tak adil? Tak ada yang menginginkan semua ini terjadi, termaksud Ummi. Tapi, setidaknya tunjukkan rasa bersalah bukan malah menyalahkan kami. “Paman, Bibi, apa Paman dan Bibi gak kasihan sama Syafa?” tanyaku seolah tercekik oleh ucapanku sendiri. “Selama ini hidupmu sudah bergelimang kesuksesan, Nak. Bahkan kamu adalah dosen muda yang dikenal banyak orang, kamu bisa mengangkat derajat orangtuamu dan kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan, bahkan Nada ndak pernah merasakan hal itu, setidaknya kamu berikan dia kesempatan untuk bahagia juga kayak kamu.” “Tapi ndak dengan merebut suaminya Syafa.” “Kalau ndak mau minjemin ya udah. Ndak usah marah.” Bibi dan paman Berlalu pergi meninggalkan kami. Ahh sakit sekali. “Ya Tuhan, kenapa mereka jadi kayak begitu sih?” Ummi geram. Aku menyentuh lengan Ummi, aku menggeleng didepan Ummi dan tersenyum setelahnya. Ku hembuskan napasku panjang, aku berusaha meyakinkan diri bahwa ini semua tidak masalah, aku harus bangkit dan aku harus menunjukkan kepada mereka tanpa Mas Fikram juga aku bisa menjadi orang yang berguna. Beberapa saat kemudian, Abih datang dan berlari masuk ke rumah, dan tak lama kemudian terlihat dua orang yang berbadan besar tengah mengejar Abih. “Wah kamu berani membuat kami lari-larian?” tanya satu orang yang berpakaian serba hitam dan tubuhnya sangat berotot. “Tolong berikan kami waktu. Kami akan membayarnya secepatnya.” Ummi angkat bicara. “Ummi.” Ku tatap Ummi dengan banyak pertanyaan yang berkecamuk. “Kalian harus bayar, ini sudah dua bulan loh. Boss udah gak mau tahu masalah ini. Kalian harus bayar.” “Kami gagal panen, jadi tolong beri kami kesempatan lagi.” “Ahh bacott!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN