Seseorang membuka pintu kamar secara paksa, memperlihatkan Mbak Mila berdiri diambang pintu. Aku yang sedari tadi melipat pakaianku dan pakaian Mas Fikram hanya diam saja, aku berkurung diri di kamar sejak pertengkaran terjadi semalam, aku tidak mau menghancurkan hatiku sekali lagi, lebih baik aku siapkan sarapan, setelah itu aku masuk ke kamar.
“Kamu dipanggil,” kata Mbak Mila dengan tatapan kesal. Entah apa yang membuatnya kesal kepadaku.
“Iya, Mbak,” jawabku lalu bangkit dari dudukku.
“Aku beritahu ke kamu kalau kamu harus kuatkan dirimu, jangan sampai pingsan atau menangis didepan kami.”
Kata-kata Mbak Mila seolah menyuruhku untuk bersiap, entah bersiap untuk apa. Aku susul Mbak Mila yang kini melangkah menuju ruang tamu, tatapanku mengarah kepada perempuan cantik yang kini duduk disebelah Mas Fikram, perempuan itu adalah sepupuku. Nada—namanya. Seorang wanita karir dan yang ku tahu ia satu kantor dengan Mas Fikram. Sudah hampir tiga bulan kami tidak bertemu, dan Nada datang ditengah gempuran luka dihatiku.
Kehadiran Nada membuatku terpancing ingin menangis didepannya. Ingin menangis dan menceritakan semuanya apa yang ku lalui selama lima tahun menikah dengan Mas Fikram. Tapi, Nada tidak melihatku, dia hanya menatapku sesaat dan kembali menundukkan kepala.
“Duduk. Ada yang mau Fikram bicarakan,” kata Ibu yang kini duduk berdampingan dengan Ayah mertua.
Aku duduk di sebelah Mbak Mila dengan hati penasaran, apa yang sebenarnya mau dikatakan Mas Fikram. Kenapa suasana menegang seperti saat ini dan kenapa Mbak Mila menyuruhku untuk bersiap dan tidak menangis.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Ada yang mau ku katakan.”
“Iya, Mas. Katakan saja,” kataku.
“Aku sudah menikah sirih dengan Nada,” kata Mas Fikram dengan entengnya.
Deg. Jantungku seolah terhenti, napasku seolah tak sanggup untuk ku hembuskan, berhenti begitu saja, ku tatap suamiku piluh tanpa bertanya lebih lanjut, dengan tungkai yang lemas, aku berusaha bangkit dari dudukku, namun sepertinya berat badanku tidak bisa lagi ku tumpuh. Jika aku paksa untuk jalan pergi, aku pasti akan pingsan.
Dengan hati yang penuh kecewa, ku tatap Mas Fikram dan Nada secara bergantian, semuanya diam menunggu tanggapan dan ekspresiku.
Nada adalah sepupu yang ku kasihi, ketika kami tinggal di kampung aku selalu berjanji kepadanya jika aku pergi, aku akan membawanya bersamaku, ketika akhirnya jodohku datang, orang yang ku ajak tinggal di Jakarta adalah Nada, sementara kedua orangtuaku tidak aku ajak karena aku tahu mereka tak akan mau meninggalkan rumah mereka, dan mereka adalah tipe orangtua yang tidak akan pernah tinggal di rumah anaknya.
Nada tinggal beberapa bulan bersama kami di sini, lalu Mas Fikram merekomendasikan Nada bekerja di perusahaan tempatnya bekerja, kebetulan Nada adalah lulusan D3. Aku sempat iri kepada Nada, karena walaupun ia lulusan D3, tapi dia masih bisa mengejar impiannya, masih bisa bekerja di perusahaan besar, sementara aku yang lulusan strata 2 saja memilih mengabdi menjadi istri dan menantu yang baik di rumah ini, aku tidak pernah mengeluh oleh keputusanku hanya saja sesekali aku berkata dalam hati andaikan aku bisa mengejar impianku, mungkin aku tidak akan di injak harga dirinya seperti ini.
Terjadi pertengkaran antara aku dan Mas Fikram beberapa kali karena aku memarahi Nada, sekuat tenaga Mas Fikram membela Nada dan mengatakan bahwa aku berlebihan, sementara yang ku lakukan itu demi Nada juga, aku tidak mau Nada bergaul bebas dan membuatnya menjadi orang yang tidak berguna.
Bagaimanapun juga Nada adalah tanggung jawabku. Aku dipercayakan kedua orangtuanya untuk membawa Nada dan menjaganya. Tapi, aku baru tahu bahwa aku gagal.
Aku mengira Nada kemari mau menemuiku dan bercerita banyak hal padaku tentang hidup yang ia lalui selama tiga bulan diluar sana. Tapi ternyata, Nada datang membawa luka yang teramat perih untukku.
Mas Fikram selalu menyalahkanku atas apa yang ku lakukan untuk Nada, Mas Fikram selalu menjadi orang terdepan yang membela Nada jika aku marah padanya, dan tanpa ku sadari hubungan mereka dimulai sejak saat itu?
“Aku harap kalian akur di rumah ini,” sambung Mas Fikram.
Aku belum bergeming sama sekali, ku tatap Nada penuh keyakinan bahwa kemungkinan Nada hanya datang untuk memberi prank. Tapi melihat Nada yang berusaha tidak melihatku, yang berusaha menghindari tatapanku, dan akhirnya aku yakin bahwa ini kenyataan. Ini bukan prank atau apa pun itu.
“Rumah sekecil ini yang udah sesak dan membuatku ingin pingsan, harus menambah anggota baru?” Aku tidak perduli lagi dengan tatapan mereka semua, mereka menganggapku lemah dan aku perempuan yang mereka anggap tidak akan membela diriku.
“Lantam sekali mulutmu,” kata Mbak Mila.
Ku abaikan perih dihatiku, yang ku inginkan Nada menatap mataku agar aku percaya bahwa dia adalah perempuan yang jahat. Aku membawanya ke Jakarta untuk mensukseskan dia, setelah sukses dia merebut suamiku?
“Makanya jadi wanita itu harus berpikir logis. Kamu itu punya kekurangan yang gak semua orang bisa terima, untung saja Fikram masih mau menerimamu sebagai istrinya meskipun dengan kekuranganmu itu. Harusnya sebagai istri kamu bisa memainkan peran dan menjaga suamimu dengan baik, tapi sayangnya kamu tidak bisa menjaganya dan tidak bisa membuatnya cinta.”
“Ya aku memang memiliki kekurangan seperti yang Mbak katakan, seharusnya Mbak gak usah mengulang itu terus, aku tahu kok tanpa Mbak katakan dengan jelas. Nada ini sepupu aku, aku yang membawanya kemari dan aku yang mengenalkannya kepada kalian. Lalu kalian menerima begitu saja Mas Fikram mengkhianatiku? Seharusnya orangtua atau keluarga itu bisa memainkan peran juga sebagai orang tertua di rumah ini. Tapi kalian memintaku untuk pintar memainkan peran, namun kalian lupa peran kalian itu apa.” Baru kali ini aku berbicara lebar didepan mereka semua, mereka mengenalku sebagai perempuan yang tidak berdaya, tapi aku harus membala diriku. Aku tidak mau seterusnya direndahkan.
“Lantam sekali ya kamu.” Mbak Mila hampir saja menyerangku namun dihentikan oleh Ayah mertua.
“Mila, sudahlah, Nak.”
“Ayah membelanya? Dia itu mengatakan bahwa kita gak bisa memainkan peran sebagai orang tertua di rumah ini.” Mbak Mila mengadu kepada Ayah mertua, yang juga sejak dulu tidak bisa berbuat apa-apa walaupun Ayah mertua melihat ketidak adilan yang aku terima dari mereka semua.
“Ayah tidak membelanya, tapi Ayah tidak mau ada yang terluka karena main fisik di sini.”
“Tapi dia kurang ajar, Ayah.”
“Sudahlah, Nak. Semua ini bukan waktunya untuk bermain fisik.”
“Nada, kenapa kamu tega sama aku? Apa aku pernah menyakitimu?”
“Maafin Nada, Mbak,” lirih Nada tidak berani menatap wajahku.
Aku akui, Nada masih cantik dan dia masih muda, usianya baru 24 tahun. Aku kalah jauh darinya, tapi ini bukan tentang pertandingan siapa menang siapa salah. Tapi ini tentang pengkhianatan Nada.
“Aku dan Nada sudah menikah sirih sejak empat bulan yang lalu.” Mas Fikram melanjutkan tanpa rasa bersalah sama sekali. “Dan sekarang … Nada hamil anakku.”