“Mayaaang….”
Suara bernada tinggi melengking seperti pluit pramuka terdengar begitu kencang hingga beberapa orang yang berada di luar rumah menoleh, ingin tahu apa yang terjadi.
“Mba Mayang itu suara kakaknya ya?” tanya seorang ibu muda yang sibuk memilih sayuran, sama seperti yang dilakukan oleh wanita yang dipanggil Mayang.
“Iya Bu,” jawabnya, lalu ia berkata pada pedagang sayur sembari menunjukkan barang belanjaannya untuk dihitung.
“Terima kasih ya Mang. Ini uangnya. Mari ibu-ibu saya duluan,” katanya pada mereka yang masih sibuk berbelanja.
Mayang berjalan masuk ke dalam rumahnya hanya untuk mendapati Meliana, yaitu kakak kembarnya sudah membuat kekacauan di dalam dapur mereka yang tidak begitu besar.
“Apa-apaan sih sampe berantakan kaya gini,” tegur Mayang pada Meliana yang berdiri sambal berkacak pinggang.
“Pake nanya lagi! Aku panggil kamu sampe pita suaraku sakit terus kamu tanya ada apa? Dimana sarapanku? Aku tidak punya waktu banyak buat nunggu kamu,” sahut Meliana jengkel.
“Astaga. Kamu panggil aku terus bikin berantakan dapur hanya untuk mencari sarapan kamu? Aku bukan pelayan kamu Mel, Kalau kamu mau sarapan, kamu merasa beli makanan ga?”
“Eh, sejak kapan kamu berani bicara seperti itu? Aku ini kakak kamu. Jangan asal bicara kamu,” katanya mengingatkan.
“Kakak tapi tidak bertanggung jawab sama sekali,” jawab Mayang membuat Meliana semakin marah.
“Kamu bicara apa? Kamu minta aku tanggung jawab, tanggung jawab apa?”
“Banyak tanggung jawab yang diterima seorang kakak untuk mengurus adiknya, bukan sebaliknya.”
“Kamu pintar bicara ya.”
“Aku rasa siapa pun bisa pintar bicara kalau menghadapi kakak seperti kamu. Sekarang aku mau kamu membereskan semuanya. Ingat kamu yang sudah bikin berantakan!”
“Eh rajin banget aku beresin dapur. Ga level tahu aku kerja di dapur,” jawab Meliana meninggalkan dapur.
Melihat kelakuan Meliana membuat Mayang menahan napas. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan menghadapi sifat dan prilaku Meliana yang sering kali membuat emosinya naik hingga kepalanya sakit.
Mayang adalah seorang wanita berusia 23 tahun. Dia usianya yang sudah cukup dewasa, Mayang belum memiliki kekasih yang bisa membuatnya memutuskan untuk menikah, berbeda dengan Meliana yang sudah 2 kali menikah dan keduanya adalah akibat kebablasan. Dan kini Meliana sudah menjanda kembali dan sedang menjalin hubungan dengan salah seorang fotographer.
Di usia 23 tahun Mayang sudah dipercaya oleh pimpinan tempatnya bekerja untuk menjadi wakil pimpinan meskipun yang menjadi pimpinan tersebut adalah suami dari tantenya sendiri. Mayang melakukan tugasnya dengan baik karena dia tahu ada keponakan dari om nya yang bersemangat untuk menyingkirkan dirinya.
Mayang baru menyelesaikan mandinya setelah selesai memasak, ia tahu Meliana sedang menikmati masakannya tanpa peduli kalau yang masak belum mencicipinya.
Sambil menyisir rambutnya yang panjang, Mayang melihat ponselnya dan melihat panggilan di layer ponselnya yang berasal dari Yohana, keponakan om nya juga salah satu anak buahnya.
“Ya Hana, ada apa?” tanya Mayang setelah terhubung dengan Yohana.
“Halo Kak, aku lupa kalau hari ini ada konsumen dari luar kota yang mau ketemu kakak,” beritahu Yohana dengan suara pelan.
“Konsumen dari luar kota, Kamuk ok ga bilang sama kakak?” tanya Mayang mengerutkan alisnya.
“Aku kan bilang kalau aku lupa. Dia mau ketemu kakak di pameran furniture jam 8 malam ini dan aku sudah menyetujuinya,” sahut Hana tanpa merasa bersalah.
“Apa? Kamu buat janji jam 8 malam dan di pameran pula. Yang mau ketemu kamu atau aku?” tanya Mayang jengkel.
“Ya Kakak lah. Kalau aku sih males ketemu tamu malem-malem,” jawab Hana tanpa merasa bersalah sama sekali.
“Kamu bisa bicara malas, tapi kau suruh orang lain untuk melakukannya? Heran aku kamu kok bisa picik seperti itu,” omel Mayang semakin jengkel.
“Kak Mayang, kalau kakak ketemu tamu untuk bicara tentang pekerjaan itu kan sudah biasa, beda sama aku yang lebih banyak ngurus keuangan. Jadi malam ini jam 8 ketemu dengan tamu dari luar kota aku rasa sama sekali tidak masalah,” katanya semakin membuat Mayang kehilangan kesabaran.
“Aku minta kamu harus bicara padaku lebih dulu sebelum membuat janji dengan tamu. Kau tahu bagaimana kalau aku keluar kota untuk liburan. Kau mau tanggung jawab,” tegur Mayang mengingatkan.
“Ya resiko kakak lah. Itu bukan urusanku.”
Mayang sudah akan menegurnya tetapi sambungan telepon sudah diputuskan oleh Yohana hingga Mayang menarik napas jengkel.
“Ternyata kau sama sekali tidak mempunyai wibawa sama sekai. Percuma punya jabatan tapi tidak bisa bersikap tegas sama bawahan,” suara Meliana yang mengejek membuat Mayang terdiam.
Dia memang terlalu baik pada anak buahnya, tetapi tidak ada yang berbuat seperti Yohana, mungkin karena Hana adalah keponakan pimpinan langsung sehingga dia merasa lebih berkuasa, sementara Hana yang merupakan keponakan tantenya sudah lebih dulu dan lama bekerja di perusahaan tersebut.
Mayang melihat jam dinding, dia sama sekali tidak berniat menanggapi komentar Meliana yang mengejeknya.
“Mayang, hari ini aku ada pemotret-an, tetapi aku tidak punya uang untuk pergi ke studio.”
“Lalu, apa hubungannya denganku,” jawab Mayang berjalan melewati Meliana yang berdiri di depan pintu kamarnya.
“Ya aku mau kamu beri aku uang. Masa begitu aja perlu aku jelasin sih,” sahut Meliana jengkel.
Mayang kembali masuk ke dalam kamar lalu mengeluarkan selembar uang ratusan ribu kemudian memberikannya pada Meliana.
“Ini.”
“Cuma segini? Mana cukup. Aku perlu 500 ribu.”
“Ga ada. Kau punya penghasilan sendiri. Aku ingat kau selalu bilang kalau aku kerja rodi karena penghasilanku yang kecil. Lalu dimana hasil kerja kamu yang berlipat-lipat dari jumlah yang aku terima?”
“Heran aku. Sejak kapan sih kamu crewet seperti ini. Kamu mau kasih aku uang tidak?” Meliana tidak bisa menerima kenapa hanya selembar uang ratusan ribu sementara dia yakin Mayang mempunyai uang yang cukup untuk diberikan padanya.
“Tidak. Aku hanya bisa memberikanmu seratus ribu dan tidak lebih. Kau tahu pengeluaran cukup banyak setiap bulannya.”
“Itu urusanmu aku sama sekali tidak peduli,” sahut Meliana hingga Mayang merasa kepalanya semakin sakit.
“Memang semua itu urusanku, tetapi aku minta kamu bulan depan untuk ikut membayar pengeluaran tersebut. Setidaknya kau membantuku membayar listrik,” jawab Mayang.
“Ih baik banget aku bayar listrik rumah ini. Memangnya rumah ini punyaku? Kau lupa kalau aku menumpang. Aku akan membayarnya kalau kau memberikan surat rumah ini padaku. Kebetulan aku perlu modal untuk usaha.”
“Tidak. Aku tidak bisa memberikannya padamu begitu saja,” jawab Mayang tegas.
“Kalau aku membujuk mama kau masih tidak akan memberikannya padaku? Kau yakin bisa menolaknya?” tanya Meliana mengejek.
“Terserah. Rumah ini sama sekali tidak berhubungan dengan mama. Aku mempunyai tanggung jawab untuk menjaga rumah ini. Apa kau lupa kalau kau sudah menjual rumah mama setelah mereka menyuruhmu menyimpan surat rumah tersebut,” kata Mayang mengingatkan Meliana.
“Barengsek…apa pedulimu. Mama saja tidak marah, tapi kenapa kau jadi bawel.”
“Aku tidak bawel. Aku hanya berusaha mengingat bahwa tidak ada yang menjadi baik kalau menitip benda berharga padamu.”