Meliana bukan Mayang yang bisa diam saja mendengar para tetangga mencercanya. Dengan penuh kesombongan dia berjalan mendekat pada wanita yang baru saja mencelanya. Dari gelagatnya, Meli seperti berencana untuk memukulnya, tetapi wanita itu sama sekali tidak terlihat takut membuat Meli berpikir ulang sebelum melakukan kekerasan.
“Aku tidak peduli. Aku akan melakukan apa pun yang aku sukai meskipun kehadiranku tidak diinginkan di rumah ini,” sahut Meli sembari menjatuhkan piring yang ada di atas meja.
Tidak ada penyesalan di dalam diri Meli saat dia berjalan menuju kamarnya lalu menghempaskan pintu hingga suaranya berdebum keras.
“Mba Mayang, apa dia tidak di suruh berobat ke dokter? Terus terang kami keberatan dengan tempramennya.”
“Iya Mba. Ini saya sudah rekam videonya. Saya mau laporkan kebagian kejiwaan agar di periksa mentalnya. Seram mba…jangan sampai waktu Mba Mayang tidur, tiba-tiba dia nekad dan melakukan perbuatan yang tidak kita inginkan,” beritahu tetangganya lagi yang sejak tadi memegang ponsel.
“Sebenarnya saya berencana mau pindah juga Bu, kalau semuanya lancar, dalam minggu ini saya mau pindah,” jawab Mayang tenang.
“Terus, dia mau ikut Mba Mayang juga?”
“Saya belum tahu.”
“Semoga saja Mba Mayang ga diikuti terus deh sama parasite seperti itu,” kata tetangganya sebelum mereka kembali pada kegiatan masing-masing.
Mayang tidak peduli apa yang dilakukan oleh Meli. Dia sudah yakin dengan keputusannya bahwa dirinya akan pindah dan menempati rumah yang dia beli melalui kredit KPR.
Sebenarnya berat bagi Mayang untuk pergi dari rumah yang sudah dia beli dengan cara mencicil pada neneknya. Bukan hanya mencicil, Mayang juga mendapat bantuan dari tantenya agar dia bisa memiliki rumah yang banyak menyimpan kenangan.
Namun, bila dia terus tinggal bersama dengan Meli yang sama sekali tidak memiliki niat baik untuk berubah, Mayang tidak yakin dia bisa hidup nyaman di rumahnya sendiri, apalagi Meli sudah mengatakan kalau dia akan memaksa Mayang untuk merelakan rumah tersebut.
“Terima kasih atas perhatian ibu-ibu semuanya.”
“Ya udah Mba Mayang, kalau begitu kami pergi dulu. Mba Mayang juga mau berangkat kerja, kan?”
“Iya bu,” jawab Mayang membenarkan.
Mayang baru saja menutup pintu setelah para tetangganya pergi ketika Meli menarik tangannya dengan kasar hingga mereka berdiri berhadapan.
“Kau sengaja melakukannya padaku, kan? Kenapa tidak kau katakan saja langsung kalau kau tidak suka. Aku tidak pernah berpikir kalau kau sangat licik Mayang.”
“Bukankah aku sudah sering mengatakannya padamu kalau aku tidak suka? Aku tidak perlu koar-koar tentang kelakuanmu. Seandainya kau mau berpikir kau yang sudah sengaja melakukannya. Kau pikir suaramu yang kencang tidak terdengar keluar? Dan kenapa kau mengacak-acak laci di kamarku.”
“Aku memerlukan uang untuk modal. Aku memerlukan surat kepemilikan rumah ini.”
“Sorry, bukan hanya kau yang memerlukannya. Aku juga sangat membutuhkannya jadi…kalau kau perlu kenapa tidak telepon mama untuk minta rumah yang lain saja,” usul Mayang membuat emosi Meli kembali meninggi.
“Aku hanya minta surat rumah ini dan aku berjanji tidak akan menjual rumah ini. Cepat berikan padaku!”
“Kenapa kau tidak dengar ucapanku. Aku tidak bisa memberikannya padamu karena aku juga memerlukan rumah ini. Jadi hentikan mendesak dan meminta yang bukan hak dan milikmu!” Jawab Mayang tegas.
“Kau perlu untuk apa? Kau mempunyai pekerjaan dan aku yakin kau memiliki tabungan jadi kalau kau tidak mau memberikan surat rumah ini…berikan aku uangmu!” perintah Meli tidak peduli dengan ucapan Mayang.
Entah sudah berapa puluh kali Mayang mengatakan pada Meli kalau dia tidak bisa berbuat seenaknya tapi lagi-lagi Meli seperti tidak mempunyai pendengaran bila berarti keinginannya di tolak.
“Aku tidak bisa dan aku harus bersiap-siap berangkat kerja,” sahut Mayang berjalan masuk ke kamarnya.
Mayang sudah rapi dan bersiap untuk berangkat ketempat kerja ketika pintu kamar terbuka menampakkan wajah Meli yang menahan marah.
“Kau mau pergi sekarang. Tingali aku uang sebelum pergi!”
“Kau tidak malu selalu meminta uang padaku.”
“Jangan bawel. Aku harus bertemu dengan sesorang dan aku akan menjalin kerja sama dengan mereka.”
“Tidak ada. Kemarin aku sudah memberikannya padamu,” jawab Mayang ketus.
“Kau serius tidak mau memberikannya padaku?”
“Tidak. Kenapa harus meminta padaku kalau kau sendiri memiliki uang yang lebih dari cukup. Aku pergi sekarang.”
Meli memandang kesal Mayang yang pergi begitu saja sementara dia belum mendapatkan yang dia inginkan. Dia harus kerja keras mendapatkan uang sebagai modal usahanya.
“Harusnya aku tadi memaksa dan mengancamnya. Aku yakin kalau aku mengancam dirinya, dia akan memberikannya padaku. Bodoh, mengapa aku cepat sekali emosi kalau berhadapan dengan dia,” grutu Meliana.
Sudah 2 bulan ini ia dan Jerry kekasihnya membuka usaha agency untuk calon model yang ingin diorbitkan. Dia merasa mereka cukup mampu untuk memberi jalan bagi anak-anak maupun remaja untuk terlibat dalam modeling berdasarkan pengalamannya selama ini.
Namun usaha mereka tidak bisa dilakukan secara langsung atau dari mulut ke mulut tanpa adanya kantor atau tempat untuk memberi keyakinan lebih pada calon kliennya. Dia sudah meminta pada Mayang untuk menyerahkan surat rumah yang mereka tinggali tetapi Mayang sama sekali tidak ada niat untuk membantunya.
“Aku harus membuat rencana bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang” ucap Meli dalam hati.
“Aku akan mendaparkan uang dari Mayang dan tentu saja aku akan menyuruh orang untuk melakukan agar Mayang menyerahkan surat rumah ini dengan suka rela.”
Meli selalu memiliki rencana yang bisa membuatnya berhasil memperdaya Mayang dan kali ini ia juga yakin kalau rencanaya akan berhasil.
Sementara itu Mayang yang baru beberapa meter keluar dari rumahnya menuju halte bus, tiba-tiba ponselnya bergetar sebagai tanda ada pesan yang masuk. Ternyata bosnya mengirim pesan agar dia langsung ke bandara untuk menjemput tamu sementara sopir perusahaan akan menemuinya di bandara.
Tidak ingin membuang waktu, Mayang segera mencari taxi, tetapi pagi ini sepertinya bukan hari keberuntungannya. Semua taxi yang lewat di depannya sudah terisi oleh penumpang hingga ia memutuskan untuk ke terminal bus. Ia akan naik bus Damri yang melayani rute khusus bandara.
Duduk di kursi yang berada di dekat lorong, Mayang sudah merasa bahagia karena ia masih mendapatkan kursi kosong dan yang utama adalah bis yang dia naiki langsung berangkat tidak menunggu lagi rute atau jadwal yang sudah di tentukan.
Di sebalah Mayang yang masih mengatur napasnya, duduk seorang lelaki muda yang sibuk dengan laptopnya dan sesekali melihat jam di tangannya. Mungkinkah lelaki itu tidak sempat bekerja karena semalam dia sibuk dengan pekerjaan lain?
Astaga…Mayang menepuk jidatnya sendiri karena otaknya sudah traveling pagi-pagi. Bukan urusannya orang mau kerja dimana dan apa yang dilakukan orang lain. Bukan kebiasaannya untuk memperhatikan kegiatan orang lain karena dia sendiri tidak suka kalau dirinya diperhatikan apalagi diusilin oleh orang yang tidak dia kenal.
Bus sudah keluar dari terminal dan kondektur sudah keliling untuk menarik tiket yang sudah dimiliki oleh penumpang.
“Turun dimana Pak?” tanya kondektur pada pria yang duduk disebelah Mayang.
“Saya turun di terminal Domestik,” jawabnya singkat.
“Pesawat yang jam berapa Pak?”
Sesaat pria itu menatap kondektur seperti tidak suka, tetapi kemudian dia menjawab juga.
“Jam 9 menurut bapak terlambat tidak?”
“Dengan lalulintas seperti ini saya rasa bisa Pak, semoga tidak ada kemacetan yang tidak perlu, lalu ibu turun dimana?” tanyanya pada Mayang.
“Saya turun di terminal 3 Pak dan saya menjemput tamu kedatangan jam 10," jawab Mayang menyerahkan uang sebagai penukar karcis yang diberikan oleh kondektur.
“Berarti tidak diburu-buru ya Bu,” jawab kondektur dengan ramah.
“Tidak Pak,” balas Mayang tersenyum.
Bagi orang lain yang mendengar dan melihat percakapan dan sikap Mayang pada kondektur mungkin dinilai berlebihan, tetapi bagi Mayang…dia menjadikan bus Damri sebagai alat transportasi yang dia gunakan setiap berangkat kerja sehingga dia sudah akrab dengan sopir maupun kondekturnya sementara kalau pulang dia lebih memilih naik bus dengan logo Burung Rajawali.
Setelah menerima karcis perjalanan, Mayang memasang headset nya dan ia tidak memperdulikan kalau pria yang duduk di sebelahnya sering melirik.
Mayang tidak peduli semua yang di lakukan menarik perhatian lelaki yang duduk di sebelahnya. Bagi lelaki itu yang dilakukan oleh Mayang sangat menarik. Dia yakin tidak semua perempuan mempunyai pemikiran yang sama.
"Ada ya, perempuan yang sudah menyiapkan segalanya agar bisa tidur dengan nyaman tanpa harus malu ketika mulutnya terbuka saat tidur," katanya dalam hati.
Lelaki itu tersenyum geli lalu mencoba kembali pada kesibukannya. Sementara dia mulai tidak yakin bisa tiba tepat waktu.
Lelaki yang duduk di sebelah Mayang seorang eksekutif muda keturunan Eropa. Wajahnya yang tampan tertutup oleh rambut yang tumbuh dengan bentuk yang menarik dan tidak terkesan berantakan.
Namanya Daniel Arkana sudah cukup dikenal sebagai pengusaha bertangan dingin. Sebagai lelaki yang belum mempunyai pasangan di usianya yang sudah tidak muda lagi membuat beberapa pihak sibuk berspekulasi mempertanyakan keabsahannya sebagai seorang lelaki.
Bus yang mereka tumpangi akhirnya mulai memasuki kawasan Bandara, Mayang mulai membuka matanya lalu memandang sekelilingnya. Tidak terlihat sebagai penumpang yang terkejut atau bingung. Setelah kantuknya hilang, dia mengambil botol air yang selalu dibawa dan meminum isinya.
Mayang tengah merapikan diri agar terlihat tidak kusut saat turun dari bus ketika ia mendengar suara dari sebelahnya,’ Anda akan menjemput tamu dengan penampilan seperti itu?"
“Maksud Anda dengan ‘penampilan seperti itu’ apa ya?”
“Maksudku Anda terlihat begitu polos dan sangat terlihat kalau Anda baru bangun tidur. Apakah bos Anda tidak marah atau menegur?"
“Hanya pimpinan yang tidak tahu bagaimana menarik pembeli yang akan membiarkan pegawainya terlihat kusut dan tidak professional,” jawab Mayang. “Dan aku adalah pegawai yang memperhatikan penampilan yang baik,” lanjutnya.
“Lagipula tidak mungkin aku menarik perhatian penumpang bus dengan membuat tutorial saat memakai make-up," katanya lagi melihat lelaki yang di sebelahnya tetap memperhatikan dirinya.
“Anda benar-benar tidak terduga, oh ya namaku Daniel, dan kau?”
“Nona."
“Nona, apakah ada nama panjangnya lagi?"
“Buatku cukup Nona, kecuali Anda mau menambahkan menjadi Nona Manis siapa yang punya,” jawab Mayang tertawa.
Mendengar jawaban Mayang membuat Danile tertawa dan mengerti bahwa gadis di sebelahnya tidak mengijinkan orang yang baru dikenalnya mengetahui namanya.
Daniel menilai sikap Mayang sangat menarik karena dia tidak sembarangan memberikan dan menyebutkan namanya pada orang yang baru dia temui apalagi di perjalanan yang selalu tidak pasti apakah mereka akan bertemu lagi atau tidak.
Menurut Daniel sikap Mayang adalah salah satu sikap yang harusnya dimiliki seorang wanita. Tidak mudah percaya dengan seorang lelaki. Bagi Daniel sikap seperti itu adalah salah satu sikap dasar menjaga diri dan dia sangat menyukai sikap seperti itu.
"Kalau begitu boleh aku memanggilmu nona Beauty?” goda Daniel setelah beberapa saat dia terdiam.
“Apakah itu artinya Anda memuji ku?" balas Mayang tertawa.
“Mungkin, karena aku begitu tertarik dengan sikapmu," jawab Daniel.
Mayang tidak langsung menanggapi ucapan Daniel karena bus mulai memasuki terminal 3 dan suara speaker di bus juga mulai mengingatkan penumpang yang akan turun.