"Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu."
Pagi tadi, Nency menelepon Elle dan mengatakan bahwa mobilnya sedang dipakai Karin - kakak perempuannya yang kini sedang bekerja di salah satu satu kantor konsultan hukum di Jakarta. Walaupun Elle belum memaafkan Nency soal kejadian kemarin, tetapi ia tetap saja menjemput Nency yang mengharuskan ia berputar balik lebih jauh dari jalan ke sekolahnya. Ia melupakan bahwa ini hari Senin dan lima menit lagi upacara bendera akan dimulai. Jalanan seperti biasa, sangat macet, hampir mustahil mereka bisa sampai di sekolah tepat waktu. Elle mendengus kesal ketika melihat Nency masih terlihat santai menertawakan kejadian kemarin dan membuatnya tidak fokus mengemudi. Elle menyesali keputusannya untuk menjemput perempuan itu.
"Kamu sadar ini jam berapa? Bu Reni akan menghukum kita kalau kita terlambat mengikuti upacara, Nen. Aku tidak bisa fokus kalau kau selalu membicarakan kejadian kemarin dengan tawamu yang menyebalkan itu, " Kata Elle kesal kepada perempuan di sebelahnya.
Nency kembali tertawa untuk kesekian kalinya. "Kau mengira Langit itu Abra, El? Serius?"
"Sekali lagi kau bahas masalah ini, aku akan menurunkanmu di sini sekarang juga."
Nency menahan cengiran di bibirnya dengan menggigit bibirnya lucu. Rambutnya yang pendek terlihat sedikit basah dan kecoklatan. Perempuan itu merogoh tas punggungnya yang di pangkuannya dan mengambil ponselnya. Nency adalah sahabat satu-satunya Elle, ia orang pertama yang mengajak Elle berkenalan dua tahun yang lalu. Perempuan itu selalu ceria dan terbuka, wajahnya manis, semua orang menyukainya meskipun kadang sikapnya sangat menyebalkan. Ia seseorang yang dapat merangkul semua orang dengan pembawaannya yang santai, tingkahnya yang konyol, dan wajahnya yang ekspresif. Perempuan itu adalah kebalikan dari dirinya yang tertutup dan suka menyendiri. Nency adalah sebagian dirinya yang telah hilang tiga tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu, Elle masuk ke sekolahnya seorang diri. Sahabat satu-satunya dari SMP meninggalkannya dan Elle tidak mempunyai banyak teman. Ia tidak tahu apakah harus menyapa teman sekelasnya satu-persatu dan berkenalan dengan mereka atau tetap duduk seakan tak peduli dengan apapun lagi seperti sekarang.
"Boleh aku duduk di sini ?"
Elle mendongakkan kepalanya dan menemukan seorang perempuan berambut panjang yang dikuncir kuda dan tas berwarna hijau lumut menatapnya dengan mata berbinar.
"Boleh," sahut Elle singkat, ia hanya melirik kecil perempuan itu lalu meneruskan kegiatannya mendengarkan musik dari ponselnya.
"Kau sedang mendengarkan lagu apa?" tanya Nency membuka percakapan. Sudah saatnya dia mencari seorang teman yang akan menemaninya mencontek ketika ulangan fisika atau jika beruntung bisa memberikan contekan padanya.
"Hanya musik acak."
"Kau tidak merasa bosan? Ayo kita gabung teman-teman yang ada di sana!" ajaknya sambil menunjuk sekumpulan murid perempuan yang sedang bercengkrama di meja belakang. Mereka masih memakai seragam SMP yang sama dengan punya Elle. Ia tahu perempuan-perempuan itu satu sekolah dengannya dulu, ia pernah dekat dengan salah satu perempuan di sana yang berambut lurus panjang, namun hubungan mereka tidak dekat lagi. Elle sedang tidak ingin berbasa-basi dengan mereka. "Sepertinya anak-anak di kelas belum saling berkenalan. Hei! Bukankah perempuan itu memakai seragam yang sama denganmu. Apa kamu mengenalnya?"
Elle mengamati perempuan itu lagi dengan tidak tertarik. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya kepada Nency. Suasana kelas masih sepi, tidak ada keramaian seperti kelas-kelas pada umumnya karena mereka memang belum saling mengenal. Selain kelompok perempuan di belakang, murid baru yang tadi pagi baru mendapatkan kelas itu memilih menyibukkan diri dengan ponselnya seperti yang Elle lakukan saat ini.
"Aku Maharani Yunency," kata Nency sambil mengulurkan tangannya di depan Elle. "Panggil saja Nency atau Yunen, kamu bebas memilih. Teman lamaku lebih suka memanggilku Nency."
Elle menerima uluran tangan perempuan di sampingnya itu. "Aku Elektra Avichayil. Panggil saja Elle."
"Nama yang bagus tetapi aku tidak yakin bisa mengeja nama terakhirmu dengan lancar. Apa kau sejenis blasteran dari Eropa atau Australia, mungkin?"
Elle hanya melirik singkat Nency tanpa berniat menjawabnya. Perkataan Nency itu tidak begitu mengejutkan menilik wajah Elle yang sangat indo. Elle kembali mengangkat ponselnya yang tergeletak di meja.
"Sebentar. Aku sepertinya pernah melihatmu. Wajahmu tidak asing." Elle meliriknya tajam, mendesah pelan, menyadari ia akan duduk sebangku dengan perempuan cerewet seperti Nency. "Aku ingat, kau kemarin yang menyanyi lagu untuk kakak kelas di depan kelas itu, kan? Kau di regu 5, kan? Di kelas 12 IPA 1? Aku tidak menyangka bisa sekelas denganmu. Suaramu sangat bagus. Aku sampai tidak bisa berkedip melihat penampilan singkatmu kemarin."
Elle mengingat kejadian paling memalukan dalam hidupnya yang baru saja terjadi kemarin. Karena terlalu lama mengagumi wajah Revan, Elle hanya mendapatkan lima tanda tangan ketika murid-murid baru di regu MOS-nya mendapatkan dua puluh tanda tangan para kakak kelas. Sebenarnya hanya empat jika saja ia tidak mengemis pada Abra - kakaknya yang sudah kelas dua belas - untuk menemuinya dan memberikan tanda tangannya secara cuma-cuma. Hal itu membuat para senior galak itu membentak dan memarahinya habis-habisan. Dan Elle juga tidak membela diri karena ia tidak mau memberikan alasan bodoh seperti terpesona dengan ketampanan kakak kelasnya yang diam-diam dia sukai sejak lama itu.
"Mungkin kau salah orang, aku ada di regu 3 kemarin," elak Elle. Mencoba keberuntungannya agar pembicaraan itu tidak berlanjut.
"Tidak mungkin, bahkan aku ingat jam tangan yang kau pakai," kata Nency sambil melirik jam tangan hijau muda yang ia pakai, Elle secara otomatis menyembunyikan tangan kanannya di bawah meja. "Serius suaramu bagus. Kamu les vokal? Atau kamu memang vokalis? Kamu ada rencana ikut paduan suara sekolah tidak? Aku ingin ikut, tetapi tidak berani kalau sendirian. Kalau kamu mau ikut pasti akan seru."
"Aku tidak tertarik ."
"Ayolah. Kamu tahu kan kalau siswa kelas sepuluh harus ikut minimal satu ekstrakulikuler?"
"Aku akan ikut karya ilmiah remaja," kata Elle berharap perempuan di sebelahnya itu menyerah.
"Mengikuti dua-duanya bisa, kan? Ayolah, El. Aku tidak berani kalau sendiri. Suaramu itu sayang kalau tidak dimanfaatkan. Aku akan membayar makananmu di kantin selama seminggu kalau kamu mau."
Akhirnya, setelah tiga hari Nency membahas topik yang sama di depannya, Elle pun menuruti permintaan teman barunya itu dengan terpaksa. Satu ekstrakuliker dengan Abra, kakak laki-laki Elle yang menyebalkan adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan di masa SMA-nya. Namun, menurut Elle, mendengar kicauan Nency setiap hari lebih mengerikan daripada apapun di dunia ini.
Seperti sekarang, saat Nency tak juga berhenti kebodohannya kemarin karena mengira Langit adalah Abra.
"El, aku benar-benar tidak mengira kamu bisa separah ini. Aku melihatmu memandang Bu Reni dengan serius ketika wanita itu menjelaskan tentang manusia sebagai makhluk sosial di depan kelas. Kemana mereka hilang selama ini?" ucap Nency masih dengan tawanya yang membuat telinga Elle gatal. "Aku hanya tidak menduga akan ada penghuni sekolah yang tidak mengenal Langit. Ayolah, dia adalah laki-laki paling tampan, tinggi, keren, dan seksi di sekolah."
"Sekali lagi kamu membicarakan laki-laki itu, aku tidak akan ragu untuk membuangmu ke sungai di bawah sana," kata Elle sambil menunjuk sungai yang tampak seperti kolam matcha ketika ia melewati jembatan yang lumayan tinggi.
Nency bergidik ngeri lalu kembali diam, ia memainkan ponselnya sebentar sebelum tertawa terbahak-bahak di sampingnya. Elle tidak tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu tetapi reaksi aneh Nency tidak pernah membuatnya kaget ataupun meragukan kewarasan perempuan itu. Dua tahun bersama sudah cukup untuk mengetahui segala keabnormalan sahabatnya, meskipun kadang hal itu cukup menghiburnya.
"Sebentar," ucap Nency sambil berusaha menahan tawanya. "Baiklah. Kamu serius tidak mengenal Langit?"
"Kenapa aku harus mengenalnya? Apa dia anak presiden atau sebangsanya?"
Nency menghembuskan napasnya pelan sebelum menjawab, "Semalam aku sempat berpikir bahwa kemarin hanyalah sandiwara murahan agar kamu bisa mengenal Langit, aku lupa bahwa kamu memang tidak peduli dengan hal lain selain Revan," kata Nency dengan raut wajah serius.
Elle tidak menanggapi perkataan Nency, ia melihat Pak Juri, satpam sekolah sedang menutup gerbang di depannya. Pria paruh baya yang berkulit hitam kecoklatan itu berhenti bergerak ketika melihat sebuah mobil mendekatinya. Matanya menyipit, tangannya mengayunkan tongkat kecilnya ke atas seperti memberi peringatan bahwa mereka tidak boleh masuk. Elle sudah berniat berputar balik dan merelakan hari seninnya yang malang, mungkin ia akan menghabiskan waktunya untuk mengelilingi kota bersama Nency setelah ini. Ibunya tidak akan tahu jika Sonia tidak memberitahunya. Namun, rencana di kepala cantik Elle langsung lenyap ketika sebuah motor hitam yang berisik lewat di sebelahnya.
Seorang laki-laki berjaket hitam dengan motor besar itu berbicara pada Pak Juri lumayan lama. Ia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena tertutup helm hitam yang dipakainya. Elle tersenyum kecil, laki-laki itu sungguh bodoh karena berani menghasut Pak Juri. Semua orang di sekolahan ini tahu bagaimana Pak Juri sangat tidak menyukai murid yang telat. Ia tidak akan pernah membukakan gerbang untuk siapapun yang datang setelah pukul tujuh. Elle melihat sendiri pria tua itu hanya menatap datar Nency yang sudah memasang muka sedih andalannya satu bulan yang lalu. Nency bahkan pernah membawakan makanan untuk Pak Juri, namun pria itu tidak bergeming sedikitpun.
"Apa yang laki-laki itu lakukan?"
Suara Nency di sebelahnya meneriakkan apa yang kini Elle tidak pahami. Pak Juri kembali membuka gerbang yang sudah hampir tertutup sempurna itu dengan lebar. Wajahnya tidak menandakan perasaan marah dan kesal seperti yang sering ia berikan pada murid lainnya. Ia menganggukkan kepalanya pada laki-laki yang kini sudah masuk ke dalam sekolah. Tanpa berpikir panjang lagi, Elle segera melajukan mobilnya dengan cepat ke depan, melewati Pak Juri yang terlihat memaki mereka dengan garang. Motor hitam laki-laki sudah terparkir bersama motor-motor lain di parkiran luar yang sebenarnya adalah lapangan yang tidak digunakan lagi.
"Siapa laki-laki tadi? Apa dia anak pemilik sekolahan ini?"
Elle bersusah payah memakirkan mobilnya, membiarkan Nency terus mengoceh di sebelahnya tentang laki-laki yang berhasil melewati Pak Juri tadi. Elle mendengar sahabatnya itu mengatakan tidak mungkin laki-laki itu anak pemilik sekolah ini. Nency pernah mendengar dari pihak yang katanya tepercaya bahwa anak pemilik sekolah swata ini hanya satu dan seorang perempuan yang sudah menikah. Nency tak puas dengan jawaban Elle, membuat Elle kesal karena dirinya harus berjuang memarkir mobil yang menjadi momok tersendiri bagi perempuan kecil seperti Elle - yang baru diijinkan naik mobil sendiri tiga bulan yang lalu. Mendengar Nency tetap heboh dengan semua asumsi bodohnya adalah hal terakhir yang ia inginkan.
Salah satu alasan yang membuat Elle malas berangkat siang adalah raibnya bangku belakang yang mengharuskannya duduk di depan. Elle sangat tidak menyukai itu. Tak bisa dipungkiri, pelajaran kimia dan biologi terdengar seperti dongeng sebelum tidur di kepalanya. Ia harus menahan kepalanya selama enam jam jika ia duduk di depan. Guru-guru di sekolahnya lebih suka menjelaskan materinya di kursi yang keras. Ia tidak suka berjalan-jalan memutari kelas, alasan Pak Bowo, guru sejarah - pria tua itu mengatakan berjalan di kelas hanya akan membuat kepalanya pusing karena ia punya penyakit vertigo yang sering kambuh ketika berdiri terlalu lama. Sepertinya semua guru di sekolahnya memiliki penyakit vertigo, entahlah, Elle tidak pernah memusingkan itu.
"Jadi bagaimana?" tanya Nency tiba-tiba, tangannya dengan lincah menyalin tugas fisika yang ia pinjam dari Helena, ketua kelas sekaligus anak terpintar di kelas mereka.
"Apa?"
"Aku menanyakan perasaanmu. Kemarin kamu tidak merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di hatimu? Kamu tidak merasakan apa-apa di dekat Langit?"
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Ya ampun, Elle. Ini langit. Sudah berapa kali aku bilang bahwa dia laki-laki paling digilai di sekolah ini?"
"Sudah berapa kali aku bilang bahwa aku tidak peduli?"
Nency menatap Elle tidak percaya, perempuan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan mulut yang mengerucut aneh. Setelah beberapa detik memandangi Elle yang hanya fokus pada bukunya, Nency kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Sekarang aku benar-benar yakin akan mengenalkanmu dengan Julio," kata Nency tanpa melihat Elle, ia menyalin dengan cepat tanpa memedulikan tulisannya yang seperti rumput bergoyang.
"Siapa lagi?"
"Kakakku."
"Apa? Kamu benar-benar gila. Kamu ingin aku mendekati kakakmu?"
"Enak saja. Aku tidak akan membiarkan kakakku mempunyai kekasih dari jaman prasejarah sepertimu, " balas Nency dengan lirikan tajam. Ia sudah membalik halaman bukunya untuk kelima kalinya. "Kakakku seorang psikolog. Meskipun dia baru lulus tahun lalu, tetapi aku yakin dia bisa membantumu."
"Kamu pikir aku gila?" ujar Elle penuh penekanan. Ia melihat Nency seperti seorang alien yang datang ke bumi untuk meminta benih bunga matahari.
"Tidak perlu menatapku seperti itu. Aku sudah memikirkan ini dari dulu. Ini semua demi kebaikan kamu, El. Aku tidak mau orientasi seksualmu berubah karena memendam perasaan kepada kak Revan terlalu lama."
Elle menggelengkan kepalanya pelan dan berusaha tidak menanggapi perkataan Nency lebih lanjut. Nency membawa kembali topik yang sangat ia hindari selama ini. Revan, Laki-laki yang pernah mengisi hatinya dulu, laki-laki yang hampir sempurna di mata Elle. Revan sering membantu Elle mengerjakan soal matematika yang sangat rumit, satu-satunya orang yang mau menemani Elle menonton film horor tengah malam, dan satu-satunya laki-laki yang membuatnya tidak bisa melirik laki-laki lain hingga sering. Satu-satunya lelaki di hidupnya yang tersenyum dengan tulus kepadanya dan terus berada di sampingnya ketika laki-laki lain melarikan diri tanpa jejak, bahkan sebelum berani mendekatinya.
Namun, sayangnya, Revan adalah teman Abra - kakak Elle. Dan tanpa bisa dibantah, itu menjadi alasan satu-satunya kenapa Elle tidak pernah menyatakan cintanya pada Revan dan hanya mengaguminya dari kejauhan.
"Aku tidak akan membiarkanmu mendekati teman-temanku karena aku tahu seberapa berengseknya mereka," kata Abra satu tahun yang lalu ketika Elle mengaku menyukai temannya, membuat Elle bungkam hingga sekarang.
Nyatanya, hingga sekarang ia belum bisa melupakan laki-laki berdarah campuran itu. Ia belum bisa melupakan cinta pertamanya, pangeran berkuda putih yang selalu ia mimpi-mimpikan setiap malam.
Sebuah bayangan hitam melekat di buku putihnya, Elle mendongak dan mendapati perempuan berambut panjang menatapnya datar. "Kamu di panggil Pak Junet," kata Ferna, teman sekelasnya.
Perempuan itu sudah melangkah pergi bahkan ketika Elle belum sempat mengucapkan terima kasih. Semua orang memperlakukan Elle seperti orang asing. Ia tidak mau memikirkan itu, tetapi kadang kenyataan itu membuat hatinya menangis perih. Dulu, ia adalah peri yang bercahaya di tengah peri lain yang mengelilinginya. Kini semua cahayanya redup, ia hanya menerima cahaya dari perempuan di sampingnya, mungkin itulah yang membuat teman-temannya kadang tersenyum singkat padanya, karena ada Nency di sampingnya.
Elle mengangguk mengerti untuk dirinya sendiri dan mengambil rapot SMA-nya yang selalu ia bawa akhir-akhir ini lalu melangkah dengan mantap ke ruang bimbingan konseling. Menjelang kelulusan, guru BK di sekolahnya membuat program konsultasi pribadi antara murid dan guru mengenai minat dan bakat siswa dalam menentukan jurusan yang akan di ambil nanti. Selain itu, konsultasi ini dapat juga sebagai pertimbangan bagi siswa yang memiliki nilai rapot yang diatas rata-rata untuk mengikuti jalur masuk perguruan tinggi lewat nilai rapot hingga semester lima nanti, semester terakhir Elle untuk memperjuangankan nilainya agar ia dapat lolos di perguruan tinggi yang ia inginkan.
"Kamu serius menginginkan jurusan itu, Elektra?" reaksi pertama Pak Junet, guru BK kelasnya ketika mendengar Elle ingin masuk fakultas teknik.
Ruangan itu lebih kecil dari ruang kelasnya, di dalamnya ada tiga meja kecil yang berisi beberapa tumpuk kertas yang sebagian berserakan di sofa. Meja Pak Junet berada di pojok, dekat dengan jendela, angin yang bertiup melalui jendela itu membuat rambut Elle menutupi matanya dan sekilas Elle melihat Pak Junet dengan cepat menangkap kertas di pangkuannya yang hampir jatuh. Meja di sebelah Pak Junet kosong, sedangkan meja yang satu lagi terletak di dekat pintu masuk, seorang guru yang Elle tebak akan pensiun sebentar lagi terlihat membersihkan kacamatanya sambil melihat mereka berdua dengan mata menyipit. Sedangkan suara berisik terdengar dari ruangan sebelah yang hanya dibatasi oleh sebuah papan kayu tipis yang mengkilap. Elle dapat mendengar seorang guru menceramahi anak-anak yang ketahuan merokok di bangunan belakang sekolah. Hal yang cukup sering dilakukan murid laki-laki tanpa jera sama sekali.
"Iya, Pak. Saya yakin sekarang sudah banyak insinyur-insinyur perempuan yang membanggakan. Saya yakin bapak tidak mengatakan itu karena saya perempuan, bukan? Diskriminasi gender tidak bisa saya terima, Pak." Elle dengan santai mengakhiri perkataannya dengan tawa kecil.
"Bukan begitu, Elektra. Nilai kamu yang bagus adalah biologi, nilai fisika kamu tidak bisa dibilang membanggakan. Kamu sudah diskusi dengan orang tuamu?"
"Sudah, Pak. Orang tua saya tidak begitu membatasi pilihan anaknya, asalkan bukan teknik perkapalan atau teknik mesin, katanya," Jelas Elle nada bergurau, tetapi raut mukanya tidak lagi berbinar seperti tadi.
Pak Junet tersenyum kecil, "Kamu punya dua pilihan. Kamu persiapkan dengan maksimal ujian masuk ke perguruan tinggi nanti karena saya tidak yakin kamu lolos lewat jalur rapot atau kamu perbaiki nilai fisika kamu. Setidaknya semester ini kamu harus mendapatkan nilai 90 agar saya berani membiarkan kamu memilih jurusan yang kamu inginkan itu," kata Pak Junet sambil mengembalikan rapot milik Elle. "Sebaiknya kamu diskusikan lagi masalah ini dengan keluargamu. Kalau bisa menyuruh orang tuamu datang menemui bapak."
"Iya, Pak. Akan saya usahakan." Elle menatap sampul rapot yang bewarna hitam di tangannya itu sebelum berdiri dan memberi hormat pada Pak Junet. "Terima kasih."
Elle-pun keluar dari ruangan itu dengan perasaan tidak tenang. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan nilai fisika setinggi itu jika selama ini ia selalu menyontek pekerjaan Helena?